Ini ceritanya ketika saya di
stase Gigi dan Mulut. Saya dan Sisca mendapat tugas untuk memeriksa pasien
konsul dari Penyakit Dalam. Sekedar mencari fokal infeksi. Pasien ini seorang
ibu usianya 50an tahun pake jilbab dan suaranya super duper nyaring. Ketika
dipanggil, anggap saja namanya Siti,
“Ibu Siti...ibu Siti..”
lalu si ibu menjawab,
“IYAAAAA...”, nyaring menusuk telinga.
Saya dan Sisca mengernyitkan
setengah jidat dan saling pandang, pasti ada yang ga beres sama si ibu. Okeh si
ibu kami ajak masuk ke ruang periksa, duduk di kursi periksa dan kami pun mulai
beraksi. Kami awali dengan anamnesis.
“Ibu..keluhannya apa bu?” suara kami dengan
nada do dasar
lalu si ibu menjawab dengan nada
sol, “Hhaa...APAAA?” matanya setengah melotot dan kepalanya naik.
Kami panik, kompak kepala kami
beradu mundur.
“Tuh kan Sis..ada yang ga beres
sama ibu ini” saya semakin cemas serasa pengen sembunyi didalam rok Sisca,
Ahh..ga mau ahh..banyak kecoa.
“Ibu..”panggil Sisca lagi
“HHAA..APAAA”, tiba-tiba mencopot jilbabnya.
Waduh semakin aneh nih, kali ini
saya berasa pengen sembunyi dibalik keteknya Sisca, aahh..ga mau ahh..hutan
rimba,hihihi.
Seolah ga putus asa Sisca mencoba
lagi, “Ibu..!!!!!”.
Si ibu spontan melepas gigi
palsunya,”HHAA..APAAA..”, pedes deh kuping kami, suaranya semakin nyaring. Kami
terkejut , CLONG..senyum ibu malu-malu, gigi depannya pada ilang, sudah pada
ompong. Sebenernya ada aposehh sama si ibu. Tiba-tiba adiknya datang mendekat dan
memberi tahu kalo pasien ini TULI, spontan kami saling pandang dan bilang,
“OOHH...TUUUULLLLIIIII..”.
Maaf bu, kami sudah bersuuzan
sama ibu. Ini ceritanya kami bingung gimana cara komunikasinya, tetapi adiknya
menjelaskan bahwa kalo ngomong sama ibu ini mesti teriak-teriak depan kupingnya
atau hadap-hadapan langsung sama mukanya. Dengan segala kerendahan hati saya
undur diri teman, SEKIAN. Oh..kalo begini ceritanya bisa ditepok jidat saya
sama Sisca sampe koma tujuh hari tujuh malam.
Kami berbagi tugas Sisca yang
anamnesis plus periksa-periksa dan saya yang nyatet hasilnya
(Alhamdulillah...).
Idealnya dalam melakukan
pemeriksaan kita harus pake masker sebagai pelindung diri, tetapi supaya lebih
jelas komunikasinya Sisca pake aksi buka masker, jadi kalo ngomongnya depan muka
si ibu otomatis mulut Sisca sama mulut si ibu beradu kasih.
“Bu..giginya mana yang
Sakeeettt...?” tanya Sisca dengan nada do tinggi.
Spontan pasien-pasien yang juga lagi
diperiksa di kursi kanan kiri menoleh ke arah kami, dan mbak perawatnya juga
komentar, “Ya..ampun keras sekali?”. Yaa..bodo amatlah yang penting
anamnesisnya dapet.
“Kagak sakeettt cuma
OMPONG...OMPONG!”, jelas si ibu. Jiaaah..sebenernya tanpa dia kasih tahu kami
sudah tahu kalo si ibu ompong, jelas-jelas waktu dia lepas gigi palsunya ruang
kosong membahana dibalik senyumnya. Sisca senyum sambil mingkem dan saya
manggut-manggut saja.
“Ibu..kalo makan atau minum yang
dingin-dingin giginya ngilu tidaaaaaak?” Kali ini Sisca nanyanya pake toa.
“TIDAAAAKKK.....”. suara si ibu
semakin menjadi-jadi membuat suasana menjadi hening.
Baiklah saudara-saudara jikalau
kita menemukan pasien seperti ini, berarti dapat disebut sebagai hambatan
komunikasi oleh karena itu ada anamnesis yang disebut alloanamnesis yang
informasinya bisa kita dapatkan dari orang terdekat si pasien. Dengan catatan
yang memiliki hubungan keluarga terdekat atau yang tahu persis perihal sakitnya
si pasien. Kembali lagi ke pasien tadi, hasil anamnesis sudah kami dapatkan,
lanjut pemeriksaan yang harus didampingi oleh supervisor kami. Okesip,
kesimpulannya beberapa gigi si ibu yang berlubang harus dicabut dengan catatan
tekanan darahnya terkontrol dulu karena si ibu memiliki riwayat penyakit
hipertensi.
Ketika si ibu hendak pulang saya
dan Sisca mengantar hingga ke pintu depan. Seperti biasa ga puas kalo masih ada
ini itu yang belum disampaikan ke pasien. Kali ini aksi teriak-teriaknya
kolaborasi antara saya dan Sisca.
“Ibuuuu....” Panggil Sisca,
mulutnya mencucut tajam, mungkin kalau ada belut bisa keisep.
“Jangan lupa makan obat darah
tingginya yaaaaa...” jelas saya dengan mulut menganga. Kalo Sisca bisa ngisep
belut, mungkin saya bisa lebih heboh, kepala si ibu tiba-tiba kesedot ke dalam
mulut saya, ahaa...boong!.
“HHAA...IYAA..IYAA...” si ibu
riang tapi suaranya masih nyaring, tajem nusuk kuping.
“Nanti....kalo sudah turun
tekanan darahnya....baru kita cabut yaaaaa....” Jelas Sisca dengan ekspresi
mukanya yang iya banget, membuat si ibu liat mukanya aja walau ga denger
mudah-mudahan ngerti.
“HHAA...IYAAA...IYAA....
Terimakasih yaa...”Jawab si ibu dan berlalu pulang.
***
“SISCAAAAA....” Suara saya
menggelegar..
“IYA..APAA??” Suara Sisca lebih
menggelegar.
“KITAA JAJAN YUKK...” Saya
mengajak mencari hiburan perut diluar sana.
Ya..entah kenapa sepanjang hari, kami ngobrolnya jadi agak setengah teriak dan
mesti mulutnya ngarah ke kuping. Kalo saya manggil Sisca, ya mulut saya ke arah
kuping Sisca dan sebaliknya. Jadi kesimpulannya, hati-hati sama pasien,
salah-salah bisa ikutan komunikasi gaya pasiennya. Tapi ini hanya sehari,
keesokannya gaya komunikasi kami normal lagi. Mungkin akan berubah lagi sesuai
pasien apa yang akan kami temui besok...yuhuyyy..bahagianya jadi koas :D.
Feb '13, Poli Gigi dan Mulut
Feb '13, Poli Gigi dan Mulut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar