Rabu, 20 Februari 2013

KOMUNIKASI ALA PASIEN

Ini ceritanya ketika saya di stase Gigi dan Mulut. Saya dan Sisca mendapat tugas untuk memeriksa pasien konsul dari Penyakit Dalam. Sekedar mencari fokal infeksi. Pasien ini seorang ibu usianya 50an tahun pake jilbab dan suaranya super duper nyaring. Ketika dipanggil, anggap saja namanya Siti,
“Ibu Siti...ibu Siti..”
lalu si ibu menjawab, “IYAAAAA...”, nyaring menusuk telinga.
Saya dan Sisca mengernyitkan setengah jidat dan saling pandang, pasti ada yang ga beres sama si ibu. Okeh si ibu kami ajak masuk ke ruang periksa, duduk di kursi periksa dan kami pun mulai beraksi. Kami awali dengan anamnesis.
 “Ibu..keluhannya apa bu?” suara kami dengan nada do dasar
lalu si ibu menjawab dengan nada sol, “Hhaa...APAAA?” matanya setengah melotot dan kepalanya naik.
Kami panik, kompak kepala kami beradu mundur.
“Tuh kan Sis..ada yang ga beres sama ibu ini” saya semakin cemas serasa pengen sembunyi didalam rok Sisca, Ahh..ga mau ahh..banyak kecoa.
“Ibu..”panggil Sisca lagi
 “HHAA..APAAA”, tiba-tiba mencopot jilbabnya.
Waduh semakin aneh nih, kali ini saya berasa pengen sembunyi dibalik keteknya Sisca, aahh..ga mau ahh..hutan rimba,hihihi.
Seolah ga putus asa Sisca mencoba lagi, “Ibu..!!!!!”.
Si ibu spontan melepas gigi palsunya,”HHAA..APAAA..”, pedes deh kuping kami, suaranya semakin nyaring. Kami terkejut , CLONG..senyum ibu malu-malu, gigi depannya pada ilang, sudah pada ompong. Sebenernya ada aposehh sama si ibu. Tiba-tiba adiknya datang mendekat dan memberi tahu kalo pasien ini TULI, spontan kami saling pandang dan bilang, “OOHH...TUUUULLLLIIIII..”.
Maaf bu, kami sudah bersuuzan sama ibu. Ini ceritanya kami bingung gimana cara komunikasinya, tetapi adiknya menjelaskan bahwa kalo ngomong sama ibu ini mesti teriak-teriak depan kupingnya atau hadap-hadapan langsung sama mukanya. Dengan segala kerendahan hati saya undur diri teman, SEKIAN. Oh..kalo begini ceritanya bisa ditepok jidat saya sama Sisca sampe koma tujuh hari tujuh malam.
Kami berbagi tugas Sisca yang anamnesis plus periksa-periksa dan saya yang nyatet hasilnya (Alhamdulillah...).
Idealnya dalam melakukan pemeriksaan kita harus pake masker sebagai pelindung diri, tetapi supaya lebih jelas komunikasinya Sisca pake aksi buka masker, jadi kalo ngomongnya depan muka si ibu otomatis mulut Sisca sama mulut si ibu beradu kasih.
“Bu..giginya mana yang Sakeeettt...?” tanya Sisca dengan nada do tinggi.
Spontan pasien-pasien yang juga lagi diperiksa di kursi kanan kiri menoleh ke arah kami, dan mbak perawatnya juga komentar, “Ya..ampun keras sekali?”. Yaa..bodo amatlah yang penting anamnesisnya dapet.  
“Kagak sakeettt cuma OMPONG...OMPONG!”, jelas si ibu. Jiaaah..sebenernya tanpa dia kasih tahu kami sudah tahu kalo si ibu ompong, jelas-jelas waktu dia lepas gigi palsunya ruang kosong membahana dibalik senyumnya. Sisca senyum sambil mingkem dan saya manggut-manggut saja.
“Ibu..kalo makan atau minum yang dingin-dingin giginya ngilu tidaaaaaak?” Kali ini Sisca nanyanya pake toa.
“TIDAAAAKKK.....”. suara si ibu semakin menjadi-jadi membuat suasana menjadi hening.
Baiklah saudara-saudara jikalau kita menemukan pasien seperti ini, berarti dapat disebut sebagai hambatan komunikasi oleh karena itu ada anamnesis yang disebut alloanamnesis yang informasinya bisa kita dapatkan dari orang terdekat si pasien. Dengan catatan yang memiliki hubungan keluarga terdekat atau yang tahu persis perihal sakitnya si pasien. Kembali lagi ke pasien tadi, hasil anamnesis sudah kami dapatkan, lanjut pemeriksaan yang harus didampingi oleh supervisor kami. Okesip, kesimpulannya beberapa gigi si ibu yang berlubang harus dicabut dengan catatan tekanan darahnya terkontrol dulu karena si ibu memiliki riwayat penyakit hipertensi.
Ketika si ibu hendak pulang saya dan Sisca mengantar hingga ke pintu depan. Seperti biasa ga puas kalo masih ada ini itu yang belum disampaikan ke pasien. Kali ini aksi teriak-teriaknya kolaborasi antara saya dan Sisca.
“Ibuuuu....” Panggil Sisca, mulutnya mencucut tajam, mungkin kalau ada belut bisa keisep.
“Jangan lupa makan obat darah tingginya yaaaaa...” jelas saya dengan mulut menganga. Kalo Sisca bisa ngisep belut, mungkin saya bisa lebih heboh, kepala si ibu tiba-tiba kesedot ke dalam mulut saya, ahaa...boong!.
“HHAA...IYAA..IYAA...” si ibu riang tapi suaranya masih nyaring, tajem nusuk kuping.
“Nanti....kalo sudah turun tekanan darahnya....baru kita cabut yaaaaa....” Jelas Sisca dengan ekspresi mukanya yang iya banget, membuat si ibu liat mukanya aja walau ga denger mudah-mudahan ngerti.
“HHAA...IYAAA...IYAA.... Terimakasih yaa...”Jawab si ibu dan berlalu pulang.
***
“SISCAAAAA....” Suara saya menggelegar..
“IYA..APAA??” Suara Sisca lebih menggelegar.
“KITAA JAJAN YUKK...” Saya mengajak mencari hiburan perut diluar sana.
Ya..entah kenapa sepanjang hari,  kami ngobrolnya jadi agak setengah teriak dan mesti mulutnya ngarah ke kuping. Kalo saya manggil Sisca, ya mulut saya ke arah kuping Sisca dan sebaliknya. Jadi kesimpulannya, hati-hati sama pasien, salah-salah bisa ikutan komunikasi gaya pasiennya. Tapi ini hanya sehari, keesokannya gaya komunikasi kami normal lagi. Mungkin akan berubah lagi sesuai pasien apa yang akan kami temui besok...yuhuyyy..bahagianya jadi koas :D.

Feb '13, Poli Gigi dan Mulut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar