Senin, 27 Juli 2015

Enjoy this life, why so serious?



   
Sore itu, ketika saya, Sindy dan si Bungsu Dela tengah asik guling-guling di kamar mami sambil  foto-foto selfie, tiba tiba si Dela melompat dari tempat tidur. Posisi tubuhnya berdiri tepat di hadapan hidung saya.
“Yuk Uti…..”
“Iya….naon?”
“Yuk Utiiiiiii……..”
“WHAATTTTTT????”
Mohon maklum, adek saya yang bungsu ini orangnya agak atraktif. Di kepalanya penuh berbagai macam ide dan kekonyolan. Bisa sewaktu-waktu diam dan bisa sewaktu-waktu bertingkah aneh. Kali ini ada sesuatu yang ingin Ia ceritakan.
“Yuk Uti…kemarin siang kami berantem dan dipanggil kepala sekolah”
“BAGUS….KEREEEEEENNNN….!!!!” ujar saya dengan antusias. “Terus?”
“Ya, kami berantem dengan temen kami yang namanya Ayu” jawabnya.
“Kok bisa?” Tanya saya penasaran.
“Iyalah, dia bilang kepala aku kepala batu, ish…waktu dia nonjok jidat aku, bukan jidat aku dong yang lecet, yang ada malah tangannya yang berdarah. Ya iyalah, udah tahu aku kepala batu masih berani dia nonjok.”, jelas Dela sambil mukanya agak sinis menahan kesal.
“HAHAHA…terus?”, saya semakin semangat mendengar kelanjutan cerita Dela.
“Lalu kami disidang di ruang kepala sekolah, guru-guru memarahi kami. Ibunya Ayu juga datang ke ruangan dan marah sama kami. Kata Ibu Ayu kami jangan berantem-beranteman, kan nanti mau pisah-pisah juga. Nanti Ayu mau pindah yuk, lulus SD ini Ayu akan melanjutkan sekolahnya ke Jakarta. Terus kami disuruh salam-salaman tanda perdamaian. Ga sadar aja, kami udah nangis-nangisan, sedih.” Dela mulai melankolis.
“Jadi sekarang udah damai nih? Apa masih ada dongkol di hati?”
Dela menggeleng.
“Jadi beneran damai?”
Dela mengangguk.
“Yaudah, TOSS dulu sama Yuk Uti..”, saya menyodorkan telapak tangan kanan ke hadapan Dela. Dela bingung, tapi tetap membalas telapak tangan saya dengan tepukan ringan dari telapak tangannya.
“Ayuk dulu juga waktu SD pernah berantem dan dipanggil ke ruang guru. Ayuk dan temen-temen ayuk juga disidang. Bandelnya, setelah disidang kami bukan berdamai tapi malah semakin hangat, pengen berantem jilid 2. Lulus dari SD kami pisah-pisah, ketemu hanya sesekali. Bahkan ada yang ga ketemu lagi sampe sekarang. Apa yang kami rasain? Nyesel udah berantem? Ga sama sekali. Ayuk malah bangga pernah berantem waktu SD. Setidaknya menunjukkan eksistensi ayuk jadi bocah keren angkatan 90an, haha. Lalu gimana pas ketemu temen-temen yang dulu beranteman? Sama sekali ga nyisa dendam, ga ada edisi pengen berantem jilid 3,4,5,6 dan seterusnyaaaaaa, yang ada malah jadi bahan lucu-lucuan. Kadang ayuk kangen dengan temen-temen SD. Mikir, apakabar mereka sekarang. Udah nikah belum, udah punya anak belum, anaknya berapa, dan lain-lain” saya bercerita sambil memandangi langit-langit kamar mami. Terbayang masa SD yang sudah lama itu. Membayangkan betapa dongkolnya saya dulu waktu lawan berantem saya menaruh sepatunya di rok merah saya yang otomatis ngecap telapak sepatu dia. Dan saya seperti kompor keluar bara api naga, pengen bales dengan menaruh dua cap telapak sepatu saya. Tapi itu dulu, sekarang cuma jadi kenangan manis. Saya tertawa sendiri…
“HOIYYYY…..kok jadi melamun dan ketawa sendiri sih” Dela mengejutkan saya.
“Iya..iya…jadi cerita Dela tadi sampe mana?” Saya balik nanya.
“Yaudah sampe yang tadi aja, intinya kami sekarang berdamai”
“BAGUS! Del, bahkan nanti kamu akan sangat merindukan temen kamu yang namanya Ayu itu. Dua puluh tahun lagi ketika kalian bertemu bisa jadi penampilannya sudah berubah, dan kalian akan saling mengenang betapa konyolnya kalian dulu”
Dela tersenyum. Mengangguk. Memahami apa yang saya sampaikan.
“Eh, ngemeng-ngemeng Yuk Uti boleh nyoba nonjok jidat kamu Del? Sekeras apa sih?” Saya mencoba meraih kepalanya yang berjidat lebar.
“EITTSSS….” Dela menghindar. Melompat menjauhi saya sambil tertawa terbahak-bahak. Dan saya masih mencoba meraih jidatnya yang konon sekeras batu.
***
Dan begitulah obrolan singkat antara duo Lika. Ga nyangka pengalaman Lika gede sama kayak pengalaman Lika kecil. Kami berjarak tiga belas tahun. Kami berdua sama-sama anak bapak yang diselipkan ‘Lika’ di akhir nama kami. Percaya atau tidak, suatu kejadian bisa kita pahami maknanya setelah belasan atau puluhan tahun setelahnya. Kali ini kisah Dela yang sudah saya rasakan tiga belas tahun silam. Jadi, jikalau kita merasakan suatu kejadian apapun itu bentuknya. Kejadian yang membuat emosi meluap-luap, nangis nangis banjir air mata, atau apapun bentuk ekspresi emosi khususnya yang berhubungan sama temen. Yakinlah, nikmatin aja. Bayangin dua puluh-tiga puluha tahun yang akan datang, ini hanya akan jadi bahan lelucon. Iya, bahan lucu-lucuan ketika kumpul. So, enjoy this life, why so serious?

Lubuk Linggau, 11 Mei 2015
Si Lika (gede)