Jumat, 02 November 2012

Stase Anak, lucu dan mengharukan !



Stase kedua yang saya jalani adalah Ilmu Kesehatan Anak. Panjang ceritanya bisa terdampar di stase anak. Hari pertama kami (Saya, Sisca, Haris, Kiki, dan Kak Karin) datang terlambat ke ruang konferensi di Departemen Ilmu Kesehatan Anak di lantai empat karena baru tahu dapet stase anak sekitar pukul tiga siang. Pembekalan untuk hari pertama tidak banyak kami dapatkan, tidak masalah karena masih ada satu minggu ke depan :).

Banyak komentar atas rotasi stase kami yang aneh ini, jarang sekali dari stase mayor ke mayor lagi, apalagi Penyakit Dalam dan Anak dikenal dua stase mayor yang paling menguras energi. Lagi-lagi atas nasehat Dokter Budi, dari Penyakit Dalam ke Anak berarti 50% sudah jadi dokter. Mungkin karena sudah melewati stase PDL kami lebih percaya diri dan bisa dibilang lebih siap karena tugas dan gambaran kedua stase ini beda-beda tipis. Okey kami siap berjuang!

Untuk saya pribadi, awalnya saya agak aneh dari PDL ke Anak, dari yang pasiennya besar-besar, eh sekarang kecil-kecil, dari awalnya stetoskopnya gede, eh sekarang stetoskopnya kecil banget apalagi stetoskop untuk neonatus, dan masih banyak lagi ke-jet-lag-an saya. Selain itu ketika melakukan pemeriksaan terhadap pasien dewasa kita bisa bernegosiasi sedangkan dengan anak kecil kita harus menggunakan jurus jitu supaya mereka mau diperiksa (ini yang awalnya buat saya stres). Misalnya untuk mengukur suhu, anak kecil akan teriak sekuat-kuatnya ketika termometer hendak diselipkan diketiak mereka padahal tidak sakit sama sekali. Beruntung Kak Ervien menukar termometer saya dengan termometer berkepala anjing apa kucing (entahlah), terimakasih ya lumayan membantu,hehe pasiennya malah mau makan termometer saya.ahh...

Secara umum tugas dokter muda di stase ini sama dengan stase PDL. Setiap dokter muda akan dibagi pasien dan wajib di follow-up setiap pagi. Pasien-pasien tersebut tergantung dengan boks yang sedang dilewati sesuai jadwal, menulis resep dan tetek bengek ini itu sesuai apa yang direncanakan untuk pasien tersebut. Di stase ini juga dokter muda bertugas jaga malam di bangsal dan IRD. Ada empat bangsal yaitu:
  • Sayap A yaitu bangsal kelas dengan jenis semua penyakit, pasiennya ga banyak, jaga disini enak, ada sofa empuk di counter perawatnya, koas bisa molor (hmm..maunya), hehe.
  • Sayap B yaitu bangsal yang terdiri atas lima kamar, empat ruang ISO, dan satu ruang high care. Disini pasien yang dirawat adalah pasien gastro, neuro, respiro, gizi, dan infeksi imunologi. Jumlah pasien super duper banyak, kalo lagi banyak kabarnya bisa sampe koridor, kalo jaga disini jangan berharap bisa tidur sampai pagi, siapin kopi lima gelas, siapin juga balsem karena besoknya jadi ga enak badan, dan bawa sepatu roda buat mondar-mandir guna menghindari kaki kamu patah seribu :D.
  • Sayap C yaitu bangsal yang terdiri atas lima kamar. Pasien yang dirawat adalah pasien Hemato, Nefro, dan Kardio. Pasien disini biasanya sudah lama dirawat (karena rata-rata penyakit yang diderita seumur hidup atau untuk menyembuhkannya butuh waktu yang lama) jadi keluarga pasien bahkan sudah hafal terapi yang biasa diberikan. Jaga disini agak lebih baik dibanding sayap B, kalau lagi sepi koas bisa tidur (tetep) hehe.
  • Kamar Neonatus yaitu kamar yang isinya bayi semua, didalam kamar tersebuat ada lima ruangan, pengalaman saya pernah jaga sendirian, jumlah bayi bisa lebih dari tiga puluh, disini jangan harap bisa tidur nyenyak karena suara tangis bayi-bayi ini seperti orkestra saling bersaut-sautan satu sama lain. 
  • IRD yaitu Instalasi Rawat Darurat (ya iyalah, ini kepanjangannya) yang posisinya di IRD, punya ruang tersendiri, dingin dan tenang kalau lagi tidak ada pasien datang. Kalau lagi beruntung bisa tidur, ada sofa di sudut ruangan ini, tapi kalau lagi rame bisa lebih rempong dibanding jaga sayap-sayap di atas.
Untuk kegiatan Ilmiah setiap dokter muda wajib mempresentasikan satu kasus di RSMH dan satu kasus di rumah sakit jejaring, di daerah. Selain itu ada yang disebut Journal Reading yang akan dikaji dan dipresentasikan sesuai di boks mana kita dapat jadwalnya.   Keuntungan dari adanya Journal Reading ini kita bisa melatih critical thinking kita dan kembali mengulang pelajaran blok tiga dulu.

Dari sepuluh minggu yang dijadwalkan satu minggu pertama pembekalan jadi bebas jaga dan bebas follow up (surga banget,ahhh..), dari minggu kedua hingga minggu ke enam mengikuti rotasi boks A,B,C,D,E dan setiap sabtu ujian boks. Minggu ke tujuh berangkat ke rumah sakit jejaring yaitu RSUD Kayu Agung, Rumah Sakit Bari Palembang, dan RSUD Baturaja. 


SAYANG ANAK! SAYANG ANAK!

Kesan yang saya dapatkan dari stase ini adalah "tidak ada ibu yang tidak sayang kepada anaknya", mengapa demikian? jelas karena begitulah yang saya temui. Di stase ini saya lebih banyak main perasaan (hapaahh..). Oke, ini cerita ketika saya jaga sayap B.

Suatu malam sekitar pukul satu, seorang anak dibawa ibunya datang dengan diare akut derajat dehidrasi ringan sedang. Anaknya rewel tapi masih mau minum. Selain dianjurkan banyak minum, teruskan ASI kalo masih ASI, dan yang pasti oralit. Karena ditakutkan anak itu ga bisa minum maka akan dilakukan rehidrasi via infus otomatis anak tersebut dirawat. Akhirnya dua mbak perawat dan satu kakak perawat yang malam itu jaga bergegas membawa anak itu ke ruang tindakan untuk dipasang infus. Disini anaknya teriak-teriak, ya iyalah setiap anak yang saya temuin pasti nagis kalo mau dipasang infus, belum pernah ada yang ketawa sambil nari-nari minta ditusuk. Sudah lebih dari sepuluh kali mencoba, mbak perawatnya gagal mendapatkan pembuluh darah yang tepat, padahal sudah ngubek-ngubek pembuluh darah disemua ekstrimitas. Mungkin karena sudah terlalu dehidrasi alias jatuh ke dehidrasi derajat berat makanya pembuluh darah kolaps, anaknya juga kali ini ga teriak lagi, nangis juga ga keluar air mata (buaya) lagi ketika ditusuk-tusuk, lemas dan pasrah sambil bilang tusuk aja tusuk aja aku rela (oh..ga yang ini boong). Waktu menunjukkan pukul tiga, anak itu semakin lemah karena dehidrasinya, satu-satunya jalan rehidrasi adalah via oral, ya..anak itu diberi ASI dulu oleh ibunya dan diberi oralit juga. Jangan bilang ibunya ngeluh haus terus bilang susu saya kering, kalau sampe demikian tentu dengan jiwa heroik saya akan membawakan ibu tersebut satu gentong air dan saya letakkan gentong itu disamping si ibu sambil berkata “mari bu kita sama-sama berjuang, ibu nyusuin si anak, saya nyentongin air ke mulut ibu, jangan ketuker saya nyusuin, ibu nyentongin air kemulut saya, itu tidak mungkin”, ini lebay. Oke kembali lagi ke cerita, si anak mau nyusu tapi dengan tampilan letoy-letoy (letargi.red) gitu, kebayang kan betapa sedihnya si ibu melihat anaknya yang demikian, dan kisah ini latar tempatnya adalah koridor depan kamar-kamar sayap B, sumpah saya pengen nangis dan menghibur ibu itu dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, eh salah maksud saya lagu Bunda-Melly Goeslow. ASI sudah diberikan tapi produksinya ga maksimal dan anak itu harus dikasih oralit. Drama dimulai lagi karena ternyata oralit di ruang tindakan habis atau sayanya aja yang ga ketemu nyari diseluruh kotak-kotak persediaan. Saya lapor sama kakak residen yang jaga, alhasil saya disuruh nanya sama semua emak-emak di kamar gastro yang anaknya diare, pastilah mereka punya persediaan, minta satu atau dua bungkus dulu. Baiklah saya akan berjuang sambil berlari menuju kamar gastro dan teriak, ”Auwwoooo....” (ups ini bukan hutan andwi!!! let back to normal).

“ibu-ibu.. di depan ada yang sakit diare juga, anaknya belum bisa diinfus, sekarang butuh oralit, tolong bagi dulu bu, sebungkus atau dua bungkus, kasian anaknya.” Tampang saya memelas berharap mereka akan memberi oralit. Satu dua ada yang cuek aja, malah nerusin molornya, bahkan ada juga yang malah nyumputin oralitnya, astagaaaa.. Tapi ada seorang ibu-ibu nyerahin dua bungkus oralit, alhamdulillah terimakasih bu semoga dimudahkan rezeki dan enteng jodoh, oh tidak mungkin, si ibu sudah bersuami.

Akhirnya anak itu dikasih oralit, sedikit-sedikit tapi sering. Sudah habis oralit nyambung lagi ASI. Dilihat agak baikan, segera mbak perawat memasang infus dan alhamdulillah kali ini berhasil. Si anak sudah bisa dibawa ketempat tidurnya, infus jalan, nyusu juga jalan. Waktu menunjukkan pukul lima subuh, si anak tidur pulas, tanda-tanda dehidrasi sudah berkurang, perbaikan, alhamdulillah. Si ibu ga tidur sampe pagi, saya? Masih sempet tidur dong sekitar dua puluh menitan, hehe lumayan. Terimakasih ya tante dokter, kata si ibu. :) :) :)


PIPIS DIKANTONG KRESEK

Masih ada pengalaman lain yang ga kalah serunya, masih juga ketika jaga sayap B. Suatu malam datang seorang anak perempuan usia lima tahun dibawa ibunya dengan TDBD grade III, anaknya letoy, nadinya lemah tapi si anak masih sempet ngomel-ngomel gara-gara kedua tangannya diinfus. Ya iya dong dek, kamu itu memang harus diinfus, infusnya harus dua, kalo ga diinfus ntar pembuluh darahnya makin bocor, isinya habis, nadinya ga bisa diraba lagi. Gawat kan! Nanti adek jadi hantu, mau? Mau? Mau? Mata saya melotot. Oh tidak, saya ga sekejam itu kok sama anak kecil.

Malam itu saya harus sering-sering memantau (follow up.red) adek ini setiap lima belas menit sekali untuk menilai keadaan umum dan ngecek infusnya, memastikan jumlah tetesannya pas, jalan terus dan harus diganti kalau sudah habis, dan satu lagi yang bikin saya repot ngitung pipis, minum, dan infus yang masuk (diuresis.red). Sebenernya ga repot kalau si adek bisa diajak negosiasi tapi yang terjadi adalah si adek nahan pipisnya. Entah dia yang nahan pipis atau memang ga bakal pipis-pipis. Kalo memang ga pipis, gawat kan, gagal ginjal akut pula ni adek, kamu juga kan dek yang susah, kecil-kecil ginjalnya sudah rusak, saya bisa apa coba? Bisa apa dek? Saya nangis sesunggukan, hiks..hiks..(saya boong!). Saya lapor sama kakak residen yang jaga, instruksinya adalah pasang kateter. Eng..Ing..Eng..saya yakin dan percaya pasti si adek meronta kagak mau, jelas! Dipasang infus aja dia ngomel apalagi dipasang kateter. Lalu saya didampingi mbak perawat memasang kateter si adek. Benar perkiraan saya si adek meronta-ronta, jempalitan, salto-salto sampe kami ga bisa menghalau lagi (ahh..boong lagi!). Tapi beneran si adek meronta-ronta. Lalu kakak residen datang, ikut mendampingi. Karena si adek meronta-ronta,  justru itu lebih bahaya, yang pertama vaginanya ga bisa dibuka, yang kedua bisa ketuker kan mana lubang vagina mana lubang uretra (danger.red), dan yang ketiga kalo dalam keadaan tegang gitu mana bisa masuk kateternya, yang ada malah melukai. Okeh pasang kateter dibatalkan sebagai gantinya si adek disuruh pake pampes. Si adek boleh kencing sesuka hati deh, nanti kalo pampesnya udah penuh dengan senang hati akan saya lepas lalu saya timbang, berapa jumlah urin yang dikeluarkan. Dengan sigap saya ke lantai empat menuju ruang neonatus buat minjem timbangan. Dan dan dan..lagi-lagi si adek ga mau pipis di pampes. Aduh dek..kamu maunya apa? Mau saya mati gitu terus jadi hantu?iya, terus ngantuin kamu? Mau?mau?mau?. “Mau” jawabnya, Nah lho saya bisa apa?.

Si adek mau pipis kayak biasa tapi ga mau turun ke WC. Jadi apa? Ide cemerlang saya adalah gimana kalo pipis di kantong kresek, adek ga perlu turun dari tempat tidur nanti biar saya yang nampung. Waw.. si adek dengan senang hati mau pipis di kantong kresek. Waw juga, saya lega akhirnya si adek mau pipis, sepertinya perjuangan saya berbuah manis, alhamdulillah. Keliling lah saya mencari kantong kresek sampe ke kamar ventri ujung sayap B.

Saya datang lagi membawa kantong kresek. Ayo dek pipis, saya tampung nih pipisnya (menyiapkan kresek yang menganga tepat dibawa vagina si adek). Tes..Tes..Tes..si adek pipis,huaa..senangnya. Ibunya senang saya pun riang. Hmm..tapi itu hanya sekejap, keriangan itu sirna ketika si adek tiba-tiba berdiri. Hahh..kebayang kan anak perempuan yang ga punya titit (ya..iyalah) pipis sambil berdiri, pipisnya meleber-leber tapi saya tetap harus menampungnya. Otomatis kalo pipisnya meleber ke kaki kiri tangan saya dan kresek ikut kekiri juga dan kalo pipisnya meleber ke kaki kanan tangan saya dan kresek ikut ke kanan juga. Pipis tertampung dan tangan saya kena pipisnya dan dengan manisnya si adek ketawa, dia terhibur, hhe terimakasih dek (nyengir kuda).

Diuresis bagus, infus jalan terus, nadi teraba reguler isi dan tegangan cukup, tensi bagus, si adek tidur pulas, ibunya bahagia, dan saya merana :(.


NYOSOR!

Selain jaga bangsal seperti saya jelaskan diatas, dokter muda juga bertugas menjaga kamar neonatus yang isinya hasil perbuatan lelaki. Kalau jaga disini tugas dokter muda mnghitung cairan, memantau keadaan umum, nimbang BB bayi, fototerapi, dan lain-lain sesuai order. Nah kalo udah selesai tugas, kita santai-santai dan waktunya bermain dengan adek bayi. Kembali lagi ke eek, disini dokter muda sangat bersahabat dengan eek dan pipis juga. Ketika bayinya nangis ada tiga kemungkinan, yang pertama mungkin bayinya laper, yang kedua mungkin popoknya basah karena abis eek atau pipis, dan yang ketiga mungkin si bayi kangen sama mamanya makanya nangis merintih sambil nyanyi, “mama..oh mama..aku ingin pulang”. Nah kalo bayinya nangis karena popoknya basah ga tega kan kalo dibiarin aja. Sebenernya ini tugas perawat, tapi ga salah juga kita yang gantiin popoknya, itung-itung belajar pasang popok, kan mau jadi ibu :D. Tapi kalo bayinya nangis karena mau nyusu, dokter muda ga berdaya karena dokter muda belum produktif untuk yang satu ini...weew. Nah ini cerita saya tentang susu menyusui. Di ruangan ini setiap tiga jam ibu-ibu si bayi dipanggil buat nyusuin bayi mereka, kasian kalo yang ibunya ga dateng, jadilah si bayi disuapin susu formula sama mbak perawat. Nah ada satu bayi, namanya bayi Iqbal, kasian si Iqbal mamanya ga pernah datang jadi Iqbal nyusunya pake susu formula. Pernah ketika saya gendong, ya ampun..entah kanji atau kelaperan atau kangen sama mamanya, si Iqbal nyosor-nyosor ke ketek saya geser dikit ke dada. Matanya berkaca-kaca, Kasian si Iqbal, saya sampaikan permohonan maaf saya kepada bayi Iqbal karena saya belum waktunya menyusui :D.

Mungkin disinilah saya latihan jadi seorang ibu. Saya jadi sering gantiin popok. Kalo ada bayi yang popoknya basah cepet-cepet saya ganti. Karena sudah terlatih saya jadi lihai dan berhasil menciptakan beberapa gaya popok bayi, misalnya popok gaya anak bebek, popok gaya orang utan, popok gaya pocong, popok gaya obama dan masih banyak gaya-gaya lain (semuanya boong!). Suatu ketika ada ibu bayi yang lain melihat saya pasang popok lalu bertanya, “dokter sudah menikah?”, ahh..saya senyum-senyum,”belum bu, kenapa?” si ibu terkagum-kasum sama saya,”iya, kirain dokter udah nikah, pinter banget pasang popoknya.” Saya agak menangakkan kepala, pundak saya mengembang, ya iyalaah..gue gitu. Lalu si ibu nanya lagi, “usia dokter berapa?” saya jawab dan nanya balik, “dua puluh dua, ibu berapa?”, si ibu menjawab, “tujuh belas”.JLEB.. saya galau segalaunya, bukan galau karena pengen nikah juga (hmm..padahal iya,wkwk) tapi usia saya yang segini mungkin udah cocok punya dua atau tiga anak, kalo nikah muda.

"Seneng di gendong dokter ini, abisnya cantik" :D :D :D (Tuing..Tuing..)

"Dokter..Iqbal galau, mama ga dateng-dateng padahal Iqbal laper, Iqbal mau nyucu, hiks.."






GAYA KEJANG

Di sayap B ada dua kamar yang isinya pasien neurologis semua. Paling banyak kasus kejang demam, ensefalitis, dan meningitis. Gejala klinis yang tampak juga kebanyakan kejang. Kadang-kadang anak-anak yang bukan pasien neurologis juga kalo demam hati-hati bisa kejang juga, karena memang anak-anak usia enam bulan sampai lima tahunan rentan kejang kalo suhunya naik. Nah, ada berbagai gaya kejang yang pernah saya temuin. Sedih banget, pernah suatu ketika, pengalaman saya jaga sayap B pertama kali masih kagok dengan ini itu. Tiba-tiba seorang ayah pasien memanggil saya agar dilihat dulu anaknya, ketika saya mendatangi anaknya, si ayah mengangkat anaknya yang lurus, kaku seperti mengangkat papan. Anak itu spastik, squele dari penyakitnya. Gaya kejang lain yang pernah saya temuin adalah ketika saya memeriksa pasien bayi usia enam hari. Ketika masuk ke dalam ruangan bayi itu saya bingung karena ruangani itu gelap. Lalu saya mulai memeriksa keadaan umum dimulai dari menilai suhu bayi, saya letakkan termometer di ketiak bayi (axilla.red). Dan..dan..dan..si bayi tiba-tiba kejang, mulut mencucut, dan sambil nangis. Nah yang satu ini memang jenis kejang yang diprovokasi oleh rangsangan, yaitu tetanus nonatorum. Sedih ya, hari gini masih ada tetanus neonatorum. Makanya sudah saya bilangin kan tempo hari, jangan melahirkan sama dukun beranak, puser si bayi di kasih arang lah, rumput lah, cabe lah, kunyit lah, tomat lah, jahe lah, daun singkong, bulu ketek domba, semua-mua..hheehh..geram geram geram (versi upin ipin). Kebayang kan betapa sedihnya si mama ga bisa memeluk, membelai, dan mencium si bayi karena ga bisa kena rangsangan takut si bayi kejang. Untung aja si papa bayi mencoba menenangkan si mama, “sabar ya ma, mungkin ini cobaan buat kita, kita jangan putus asa, kita usaha lagi, kita buat lagi” (hmm..maunyaa). Gaya kejang yang lain lagi, yaitu ketika ada seorang ibu (lagi-lagi) memanggil saya minta diliatin anaknya kejang, hhoo..secepatnya saya mendatangi pasien itu, adek kecil usia tujuh bulan demam dengan suhu tiga sembilan derajat, kakinya goyang-goyang, tangannya goyang-goyang, kepalanya peang-peang, dan sambil nangis tapi ga keluar air mata, keluar dikit-dikit aja. Pokoknya gayanya seperti lagi jaipongan tapi versi guling-guling. Lalu saya lapor kakak residen dan kami pun berdua mendatangi si adek.”Hmm..ini mah bukan kejang, semacam pengen nendang-nendang aja, ini ga keras, ga ada tahanan, adeknya nangis juga nih, kasih propiretik aja untuk menurunkan suhunya” kakak residennya menjelaskan dan berlalu pulang. Adeknya sekarang diem, santai kayak ga ada masalah, padahal tadi persis kayak kejang. Entah mungkin saya yang bego, yang pasti itu semua karena saya panik duluan. Lalu saya mendekati si adek, "dek..kamu ini mau bercanda ya? Mau jahilin saya ya? Kamu pikir ini lucu? Okeh, saya doakan besar nanti kamu jadi pelawak!!!"

Begitulah kejang, datang tak diundang pergi tak diantar. Kejang merupakan tampilan klinis dari suatu penyakit. Terkadang antara teori diatas kertas berbeda dengan klinis pasien yang kita temuin, makanya makin sering berinteraksi dengan pasien maka makin banyak bentuk kejang yang kita temuin. Mungkin kalo antar pasien bisa ngobrol mereka akan saling unjuk gaya kejang masing-masing. “coy, liat nih gaya kejang aku” sambil kejang-kejang ala inul lagi ngebor, lalu teman sebelahnya membalas seolah ga mau kalah, “ahh..cupu itu mah lokal, aku barusan ikut pelatihan kejang internasional dua ribu dua belas” sambil kejang-kejang ala Micheal Jackson. Maaf, maaf, maaf saya cuma bercanda. Ibu-ibu di rumah kalau mendapati anaknya kejang jangan sambil bercanda juga ya, ibu-ibu lancarkan jalan nafas, longgarkan apa saja yang sifatnya menekan, jangan dikasih makan atau minum nanti kesedak, jangan juga mulutnya diganjel pake sendok, saputangan apalagi pake batu gilingan karena bisa menghalangi jalan nafas, lalu secepatnya bawa anaknya ke instalasi rawat darurat terdekat. 


SEKOTAK ROTI

Kata orang, kalau jadi dokter dan kerjanya di pedalaman atau perkampungan yang jauh dari peradaban, ga akan aneh kalo nanti pasiennya bayar pake kelapa, pake beras, pake pete ataupun jengkol. Hhe, tapi saya bukan mau cerita tentang pete ataupun jengkol, ini kisah tentang sekotak roti.

Namanya Luvya, anak perempuan berusia tiga tahun, lagi lucu-lucunya. Adek ini bertempat tinggal di Lampung. Datang ke Palembang hanya untuk ikut mamanya berkunjung ke rumah sodara. Malang nasibnya, satu hari di Palembang masih bermain-main seperti biasa dan minta dibeliin es krim namun ketika malam harinya, JLEB..Luvya demam tinggi. Luvya dibawa ke rumah sakit, ternyata dijalan Luvya juga kejang. Sesampainya di rumah sakit Luvya mengalami penurunan kesadaran, keadaannya memburuk. Luvya dirawat di PICU (Pediatric Intensive Care Unit.red). Beberapa hari kemudian Luvya mengalami perbaikan dan dipindahkan ke bangsal sayap B. Di sini saya bertemu dengan Luvya. Keadaannya membaik tapi masih belum sadarkan diri. Saya harus memantau keadaan umum Luvya setiap tiga puluh menit. Setiap suhunya agak panas mama Luvya memanggil saya dan saya pun mendatangi Luvya. Karena keseringan saya jadi akrab dengan mamanya dan anggota keluarganya yang lain. Walau ga dipanggil, saya seneng aja ngunjungin Luvya, entah kenapa ada perasaan tersendiri untuk pasien yang satu ini. Sedih melihatnya terkulai lemas di tempat tidur, saya yakin dan percaya andai Luvya ga sakit kayak gini pasti Luvya anak yang lucu, pinter dan nyenengin mama papanya. Hmm.. suatu malam sekitar pukul satu dini hari saya datang ke kamar  Luvya sekedar ingin melihat keadaannya, mamanya tidur papanya tidur, Luvya juga tidur, takut malah mengganggu saya diam-diam keluar lagi dan saya dikejutkan dengan suara yang samar, “Dokter...!” saya menoleh dan ternyata papa Luvya bangun dan memberikan sekotak roti kepada saya, “ahh..ga usah pak” saya mundur dan berat menerima roti itu, “ga apa-apa dokter, dokter pasti bergadang kan, mungkin ini bisa jadi cemilan” papa Luvya masih menyodorkan sekotak roti itu, akhirnya saya terima sekotak roti itu, “ Terimakasih ya pak..”. Hhaahh..saya terhura dan sungguh terhura. Saya tidak mengikuti lagi perkembangan Luvya karena keesokan harinya saya harus berangkat ke Baturaja. Tiga minggu kemudian sepulangnya saya dari Baturaja, pasien pertama yang saya cari adalah Luvya. Apa Luvya masih dirawat? Apa sudah pulang dengan dinyatakan sembuh? Atau sebaliknya..ahhhh..saya sungguh penasaran, saya cari di bangsal sayap B, Luvya sudah ga ada lagi. Rasanya saya ingin mengubek-ubek rekam medis dan mencari rekam medisnya Luvya, gimana kisah Luvya, tapi untuk mencari rekam medis bisa rempong urusannya, akhirnya saya nanya-nanya sama salah satu ibu perawat yang sudah senior, berharap ibu perawat ingat sama pasien satu ini, dan Alhamdulillah ternyata Luvya sudah pulang sekitar dua minggu yang lalu dan sembuh. Ada rasa kangen yang luar biasa, padahal sebelum berangkat ke Baturaja saya niatnya mau beli buku cerita untuk Luvya dan minta alamat rumahnya karena mamanya Luvya berpesan nanti main ke rumah Luvya, tapi karena terlalu sibuk nyiapin ini itu buat ke Baturaja saya jadi lupa. Luvya oh Luvya semoga nanti kita bisa ketemu ya, entah kapan dan dimana, semoga kamu jadi anak yang solehah, sehat terus dan pinter :)



BATURAJA

Minggu ke tujuh para dokter muda berangkat ke daerah. Saya pilih RSUD Baturaja, ga punya alasan yang ilmiah, yang jelas bersama teman-teman sejawat yang luar biasa banyak ilmu dan pengalaman yang saya dapat. Berikut pengalaman yang saya dapat disana...

EEKNYA MUNCRAT..CRAT..CRAT..!

Namanya Haikal, usianya lima bulan, kulitnya putih, tubuhnya gendut, mukanya cakep (saya tunggu kamu dek dua puluh tahun lagi, nah lho) dan kalo tidur pantatnya nungging-nungging (posisiwuenak.red). Nah ada apa dengan Haikal? Biasa seperti anak-anak pada umumnya kalo baru ganti susu formula biasanya mencret-mencret bahkan sampe muntah-muntah, ini namanya alergi susu (intoleransi laktosa.red). Derajat dehidrasi biasanya ringan sampe sedang, ga perlu dirawat cukup ganti cairan yang hilang dengan (tetep) minum ASI, ganti susu formula yang rendah laktosa, minum oralit, dan suplemen zink selama sepuluh hari. Tapi kebanyakan si ibu cemas dan minta anaknya dirawat aja, padahal ini lebih berbahaya, anak kecil kan masih rendah tuh sistem imunnya, kalo berada di rumah sakit justru berpotensi terkena infeksi nosokomial. Kembali lagi ke Haikal tadi ya.. adek ini adalah pasien saya waktu saya ngoas di RSUD Baturaja. Setiap pagi saya semangat datang ke bangsal dan Haikal selalu jadi pasien yang pertama saya kunjungin. Selain Haikalnya lucu, gendut, cakep, koperatif mamanya Haikal juga ramah. Tapi pagi itu ketika saya datang Haikal lagi tidur pulas kayak kebo, seperti biasa pantatnya nungging-nungging. “loh, kok pagi-pagi tidur nih Haikal?” tanya saya sambil meraba nadi. “Iya tante dokter, Haikal semalam bergadang kan ada pertandingan bola”, jawab  si mama. Ah keren banget kan Haikal kecil-kecil suka bola, buat saya makin cinta. “Haikal nonton bola?” tanya saya penasaran. “Bukan, papanya yang nonton”, jawab  si mama santai. Ga nyambung kan? Iya ga nyambung.

Hasil anamnesis saya pagi ini adalah Haikal ga ada muntah lagi tapi masih eek encer tiga kali dari kemaren sore. Hasil pemeriksaan fisik bagus. Tapi saya tidak lantas begitu aja ninggalin Haikal, rasanya pengen lama-lama cubit-cubit pipinya, gigit-gigit pantatnya. PANTAAATTT, hhah..ngomong-ngomong tentang pantat, waktu saya nepuk-nepuk pantatnya yang indehoy, CRAATT..CRAATT..eek Haikal muncrat mengenai rok dan baju koas saya. Saya pengen nangis bukan karena sedih tapi terharu, konon katanya kalo anak kecil mau pipis atau eek deket kita berarti anak itu nyaman sama kita. Tapi tetep aja saya sedih karena harus balik ke kamar dan ganti baju. Hmm..yang namanya anak kecil ya, kita di-eek-in aja ga marah kan, malah seneng, coba kalo kita, jangankan eek, kentut aja orang-orang disekitar kita mau marah.

Eek..oh Eek. Ternyata ketika saya ujian akhir di stase anak, saya dapat kasus diare. Saya diuji oleh konsulen yang cantik, baik, pintar lagi tegas. Ketika ujian status ada beberapa pertanyaan seputar eek pasien diare, dari frekuensi, jumlah, konsistensi, warna, dan bau. Nah bau, dokternya nanya saya gimana aroma eek bayi yang diare. Huaaaww..mulailah saya mencari file memori yang pernah ditangkap oleh syaraf olfaktorius saya akan baunya eek Haikal waktu itu. Saya nyengir dengan bangga karena saya pernah di-eek-in oleh Haikal, otomatis saya tahu. Lalu dokternya nanya, “gimana aromanya?”. Saya menghayal aroma ayam gureng ala ipin sambil berkata,”ayam gureeng...ayam gureeng..” Ups ini menyimpang. Saya mencoba menjawab dengan percaya diri dan akhirnya saya nyegir aja (gaya mahasiswa kalo lagi ditanya konsulen dan ga tahu apa jawabannya), saya ga bisa mendeskripsikan aroma itu. Dokternya bilang ANYIR, ya anyir emang anyir. Ujian saya selesai nilainya alhamdulillah, dan saya ucapkan terimakasih Haikal. :) :)

"nama saya Haikal, kalo tidur saya suka nungging-nungging,hehehe"

"Haikal sempet digendong dokter sebelum pulang, Haikal sekarang SEHAT!"




ohooo..ini sekilas pengalaman saya selama di stase anak, postingan yang lain bakal saya aplot foto-foto yang lain ^^.