Kamis, 31 Oktober 2013

Foto Iseng, hehe

Beberapa waktu lalu, saya membuka folder foto-foto lama. Saya menemukan foto-foto di bawah ini. Tampaknya biasa saja, namun bagi saya semua foto, apapun itu, selalu spesial. Bukan masalah di mana dan siapa yang mengambil foto itu, tetapi setiap gambar yang tertangkap oleh sebuah kamera merupakan rahasia Allah, akan terekam pada jam menit detik yang sudah ditentukan. Hanya saja kita tidak begitu menyadari itu. 

Data menunjukkan ada 63 juta penduduk Indonesia yang tidak memiliki fasilitas toilet dan air bersih. Mungkin beberapa orang yang terdapat dalam foto ini, pelengkap menuju angka 63 juta. Bisa jadi. Hmm, saya tidak tahu pasti sebab bukan saya yang hitung, hehe. Ternyata kita masih beruntung ya, mau BAB ya tinggal BAB. Beruntung, mau mandi tinggal jebar jebur. Fenomena seperti gambar di bawah tidak jauh dari kita lho. Kalau teman-teman melakukan perjalanan dari Palembang menuju Inderalaya, teman-teman akan menemui fenomena ini di sepanjang perjalanan. 


Mandi sambil nyuci baju

Eh ini gelombang airnya mirip racun nyamuk lingkaran yaa, hehe.
Ada tumpukan sampah juga :'(

Susunan rumahnya rapat-rapat ya. Aku lagi mikir, gimana caranya mereka saling mengunjungi ya? nyemplung ke air dulu apa yaa..

Nah, kok ada foto mobil. Ih, aku masukin karena lucu aja. Jepretnya juga waktu bus yang aku tumpangi melaju kencang. Lucu aja, mobil tua parkir di pinggir jalan. 

Nah, ini juga rumah pinggiran jalan sepanjang jalan raya. 




Minggu, 27 Oktober 2013

Pertemuan dan Perpisahan


Jika ada pertemuan selama lima puluh detik, maka boleh jadi sepuluh detik pertama adalah waktu yang digunakan untuk beradaptasi dan sepuluh detik terakhir waktu untuk menyadari bahwa pertemuan akan berakhir. Lalu tiga puluh detik diantaranya? Tiga puluh detik itu adalah proses yang merupakan isi dari pertemuan itu sendiri. Mungkin sebagian orang akan benar-benar menikmati tiga puluh detik tersebut namun sebagian lain boleh jadi tidak menghiraukannya. Menganggap tidak ada yang spesial. 


Jika kita amati, isi dari kehidupan ini adalah proses pertemuan dan perpisahan, pertemuan dan perpisahan, pertemuan dan perpisahan yang tiada habisnya. Hanya berpindah dari satu fase ke fase lainnya. Berbeda dari tokoh satu ke tokoh lainnya. Melompat dari potongan waktu ke potongan waktu berikutnya. Rentetan ini akan habis ketika kita tutup usia.


Kalau boleh meminjam istilah ilmu kedokteran jiwa, skala diferensiasi yang maksudnya kemampuan manusia untuk menangkap, menafsirkan dan menghargai setiap peristiwa yang menunjukkan tingkat pembedaan reaksi emosionil setiap individu. Dengan skala diferensiasi masing-masing kita dianugerahkan kemampuan untuk memaknai setiap kejadian dan meresponnya dalam bentuk reaksi emosionil. Kejadian ini boleh jadi yang kita lewati dalam tiga puluh detik tadi.


Dulu, definisi manusia yang kuat adalah manusia yang kuat secara fisik. Namun saya dengar sekarang telah bergeser, manusia kuat yakni manusia yang mampu beradaptasi dengan baik di setiap perubahan. Berarti semakin kuat semakin cepat pula adaptasinya. Kembali ke contoh di atas, apabila seseorang itu kuat, cerdas dan pandai membawa dan menempatkan diri waktu adaptasi bisa jadi kurang dari sepuluh detik. Bisa Sembilan, delapan, tujuh atau bahkan satu detik. Ketika di detik ke dua seseorang tersebut sudah memasuki tahap proses dan menikmatinya dengan baik. Karena paham setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan maka seseorang tersebut hanya butuh waktu satu detik terakhir untuk melepaskan. Sadar bahwa pertemuan akan berakhir.


Dapat kita simpulkan, ada isi pertemuan yang meningkat atau menjadi lebih lama yaitu empat puluh delapan detik. Berarti akan ada lebih banyak pula peristiwa, kejadian yang bisa ditafsirkan, dimaknai dan diambil pelajarannya.  


Sama halnya seperti hidup, jikalau kita dianugerahkan umur enam puluh lima tahun. Jika kita menjadi manusia yang kuat atas definisi tadi maka akan banyak waktu, akan ada banyak kisah yang bisa kita tangkap, tafsir dan maknai. Lalu kita ambil pelajaran dan manfaatnya. Sehingga waktu yang kita lewati, tidak berlalu begitu saja. Everything happen for a reason, isn't it? Pasti ada alasan mengapa begini mengapa begitu.


Sebenernya tulisan ini spesial buat koas yang setiap 5 minggu rotasi stase. Berarti kalau kita cepat adaptasi dan menikmati stase itu dengan baik, akan ada banyak ilmu yang kita peroleh. Hehe, maaf hanya sotoy, jangan percaya 100% iya jangan percaya 100%, beneran! Percayalah 1000% hahaha, yowess selamat rotasi hari Senin besok ya teman-teman… semangat!
 

Sabtu, 26 Oktober 2013

Ada Ocin di Ambulans


Bismillah..
Sudah lama ya saya tidak menulis cerita, hehe. Blog ini sampe debuan fuh..fuh..*niupin debuu*. Oke.. Ocin datang lagi dengan sebuah pengalaman menarik. Mau tahu ceritanya? Beneran? Okedeh, cekibroot ^^
Dua minggu lalu, Ocin tengah bertugas jaga di Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Jiwa. Ketika baru usai dari visite pasien ke beberapa bangsal bersama dokter jaga dan tiga rekan koas jaga lainnya, hujan deras mewarnai suasana rumah sakit yang dipenuhi pasien sehat fisik namun sakit jiwa (sayang sekali T,T), kami dikejutkan oleh panggilan bahwa ada pasien dengan kecelakaan lalu lintas. Berhubung dokter jaga yaitu mbak Vini masih harus menyelesaikan visite dua bangsal lagi jadilah Ocin dan Vera berinisiatif duluan pergi ke UGD untuk menangani pasien tersebut. Sesampainya di UGD kami mendapati tiga remaja lelaki yang tengah tergolek lemah. Dua diantaranya baik-baik saja alias masih bisa ditanya-tanya. Sedangkan yang satu lagi mengalami penurunan kesadaran, tampak gelisah dan ngigau gitu (baca: delirium), wajah dipenuhi darah dan terlihat tampak sesak. Dari inspeksi terlihat adanya jejas di dada depan. Aduhai, Ocin takut sekali kalau ada trauma thoraks yang megakibatkan trauma organ vital di dalamnya. Trauma yang paling berbahaya dibanding jenis trauma lainnya. Beberapa menit kemudian datanglah mbak Vini, sebagai dokter jaga yang bertanggung jawab memberi pertolongan terhadap pasien ini. 
     Setelah dilakukan pemeriksaan lalu diberikan tatalaksana awal. Pasien ini dianjurkan untuk dirujuk ke rumah sakit yang dapat memberikan pertolongan lebih. Sedangkan dua pasien yang tadi cukup ditangani di UGD rumah sakit jiwa ini. Berangkatlah pasien, keluarga pasien dengan didampingi perawat dan sopir ambulans. Terdengar suara sayup-sayup, “Koas satu orang ikut yukk..”, spontan Ocin melompat memasuki ruang belakang mobil ambulans. Ocin teriak, “ambubaaaaggg..” (maksudnya minta dibawain ambubag) namun apa daya mobil ambulans sudah melaju dengan kencang. 
     Ya Allah.. sungguh lahir dan matinya seorang manusia hanya Engkaulah yang maha tahu. Untuk pengalaman pertama mendampingi pasien dalam kondisi kritis. Tangan Ocin gemetar namun tetap berpegang pada pergelangan tangan kanan pasien. Memastikan denyut nadi tetap ada, teratur dan kuat. Kondisi mobil ambulans yang melaju dengan kencang ditambah remang-remang lampu dalam mobil ambulans, membuat Ocin harus mengandalkan insting. Gerakan dada pasien tidak terlihat amat jelas, apakah bergerak secara simetris, irama nafasnya apakah teratur. Hanya nadi, iya hanya nadi yang bisa terpantau lewat indra peraba Ocin. Baru beberapa menit meninggalkan rumah sakit jiwa, Ocin merasakan tidak ada lagi aliran halus dari bawah kulit pasien. Lalu Ocin teriak, “Mbaaaakkkk… apa kita disini ada ambubaaggg???” suster yang mendampingi duduk di sebelah sopir menoleh ke belakang dari balik jendela kecil, “Tidaakk..”. Seharusnya ambulans sudah dilengkapi perlengkapan yang dibutuhkan dalam situasi gawat darurat sehingga kalau ada apa-apa pasiennya selama diperjalanan dapat dilakukan tindakan. “Nadi lemaahh…” Ocin panik, seolah memberi kode kepada bapak sopir, ambulans tiba-tiba berhenti, pak sopir nanya, “apakah sebaiknya kita bawa pasien balik lagi??”. Wuah, sungguh itu ide konyol, tapi lebih konyol lagi kalau sampai pasien meninggal di perjalanan. “Bapak..kita cari rumah sakit terdekat, rumah sakit swasta tidak apa-apa”. Keluarga setuju mau dirujuk kemanapun yang penting pertolongan tercepat. Ambulans melaju semakin kencang. Tetesan infus Ocin naikkan. Nadi mulai kembali teraba. Alhamdulillah…
     Setengah perjalanan menuju rumah sakit swasta terdekat tersebut pasien muntah menyemprot. Keluarlah darah beserta isi lambung. Muntah ini pas banget muncrat nyaris membuyar di wajah Ocin. Ocin dan perawat magang memposisikan miring si pasien agar muntahan tersebut tidak masuk ke jalan nafas. Daaannnnn muntah sekali lagi. Kali ini mengenai baju Ocin. Hmm…masem khas sekali bau asam lambung. Setelah muntah dua kali pasien kembali gelisah, kaki tangannya bergerak kemana-mana. Pasien mengalami trauma kepala juga. Terbukti adanya muntah menyemprot. 
     Ocin memanggil mbak perawat lagi, memberitahu kalau sebaiknya langsung saja ke rumah sakit tipe A. Ocin memperkirakan kemungkinan pasien bisa bertahan sampai ke rumah sakit tipe A tersebut, tapi mbak perawat masih mengajak ke rumah sakit swasta tersebut. Pengalaman sih, kalau kondisi pasien yang seperti ini biasanya langsung dirujuk ke RS tipe A. jadi mending langsung aja. Daaaannn beneran sesampainya di RS swasta tersebut, pasien belum boleh diturunkan dari ambulans, dokter jaganya masih mau lihat kondisi pasien. Keputusannya pasien langsung aja dibawa ke RS stipe A. okedeehh….dada dada dada beneran mending nggak usah mampir tadi, luamayan hitungan detik ke rs tadi bisa bermanfaat kalau dipakai ambulans waktunya buat melaju kencang guna cepat sampat di RS tipe A. :P
     Mobil ambulans melaju kenceeenng banget. Sama kencengnya dengan irama detak jantung Ocin. Sesekali Ocin teriak, “Edoooo…bertahanlah..kalau nanti sampai di rs kamu pasti ditolong secepatnya..” (sebut saja nama pasiennya EDO, hehe). Entah refleks atau apa, paniknya Ocin melebihi bapak sama temen-temennya si pasien. Harusnya Ocin tetap tenang ya. Maklum kondisi darurat dan ini pengalaman pertama. 
     Sesampainya di RS tipe A, pasien diturunkan dan langsung diserbu tenaga medis yang ada disana. Dari perawat, koas, sampai residen bedah. Well, kalau sudah sampai disini Ocin, mbak perawat dan petugas lainnya sudah bisa narik nafas dalem-dalem. Hehe.
     Ambulans kembali pulang ke RS jiwa. Ocin diajak duduk di depan, tapi Ocin milih di belakang duduk bareng sama adek perawat magang dan pak satpam. Tak terasa keringet Ocin meleleh. Kaki tangan masih lemes bahkan nggak sanggup ngelap keringet (lebay!). Ocin juga sebenernya jadi mual-mual akibat posisi duduk di mobil ambulans yang miring. Selain itu aroma asam lambung pasien tadi mewarnai ujung-ujung lubang hidung Ocin. Ocin melihat adek perawat magang yang duduk berhadapan sama Ocin terkulai lemas. Dia nanya, “kakak sudah makan?”, Ocin mengangguk dan balik tanya, “adek sudah makan?” dia menggeleng. Sabar ya dek, nanti kalau sudah sampai kita bisa makan. 
     --Sabar ya dek, inilah pekerjaan kita..--
      Sesampai di RS jiwa, Ocin cepat-cepat ke kamar jaga koas, langsung mandi jebar jebur dan ganti pakaian yang tadi kena muntah. Alhasil, malam itu Ocin tidak bisa makan bahkan sampai keesokan paginya. Kenapa? Aroma asam lambung muntahan pasien itu masih teringet terus. Hiks..
    
    Pesan buat bocah-bocah: Aduh dek, janganlah bawa motor dulu kalo belum waktunya secara legal. Kalau begini kan kasian sama orang tua. Kasian sama kamunya, jadi terbaring di rumah sakit, mesti dirawat dan nggak bisa sekolah.
     Pesan buat ambulans: hey..alat-alatnya mohon dilengkapi, mungkin bisa secara bertahap. Fasilitas yang cukup ini demi kebaikan pasien.
     Pesan buat Ocin: Cin, siapa suruh ikutan, koas jiwa mana boleh ikutan merujuk pasien umum. Tapi dengan ikut, jadi tahu kan sensasinya bagaimana berkutat dengan waktu ketika nyawa diujung tanduk. Ocin, inilah profesimu kelak, kehidupan realita seorang dokter akan kamu hadapi. Dokter itu harus kejam, harus tetap bisa makan walau dimuntahin pasien, tetep bisa makan walau dieekin pasien sekalipun. Sebab esok hari harus nyiapin energi lagi buat ngadepin pasien lain lagi. Semangat Ocin!
     Pesan buat kamu yang nggak sengaja baca: kalo pas di jalan ada ambulans lewat bunyi TUING TUING TUING (anggap aja bunyinya kayak itu yaa..), ya monggo dikasih jalan. Mereka mengejar waktu, berjuang mempertahankan hidup seseorang, hehe. Terimakasih mbakbro dan masbro sekalian :)
    




Jumat, 18 Oktober 2013

Kuota Listrik VS Kuota Umur

Suatu malam, ketika saya mengerjakan tugas, saya mendengar suara “tuit..tuit..tuit..” yang samar-samar datang dari depan kosan. Saya mengabaikan suara itu. saya tetap asik bercengkerama dengan laptop ditambah hiburan dari sebuah acara di salah satu stasiun televisi swasta. Tak lupa hembusan angin sepoy-sepoy dari kipas angin. Lampu-lampu semua ruangan dalam keadaan hidup. Hari semakin malam, mata saya tak mampu kompromi lagi. Alhasil, dalam keadaan semua alat elektronik hidup sayapun tertidur.

Keesokan harinya, nenek kos mendatangi saya untuk memberitahukan bahwa kuota listrik saya sudah hampir habis. Ini diperingatkan lewat bunyi “tuit..tuit..tuit..” yang aktif banget sejak malam tadi. Agar bisa tetap menikmati fasilitas listrik, saya harus isi ulang kuota. Haha, lucu sekali bukan? Sebelum pindah ke kosan ini, saya dan kedua teman saya termasuk suka-suka pakai listrik. Pakai aja sesuka hati, nanti penghujung bulan ya tinggal bayar. Besar kecil bayarannya ya risiko. Yang jelas kami tidak pernah merasakan gelap karena diputus sama PLN. Tapi sekarang berbeda, sistem penggunaan listrik terbaru ternyata pakai kuota. Iya, setelah dikasih tahu nenek jadilah saya mematikan beberapa alat elektronik yang tidak terlalu penting. Akhirnya bunyi yang sejak malam tadi memperingatkan reda juga.

Sistem seperti ini ada positif dan negatifnya. Tapi sebagai konsumen saya akan menganggap ini banyak positifnya. (1) Mengingatkan agar kita tidak boros listrik. (2) Kita bisa memperkirakan pengeluaran untuk biaya listrik secara konsisten setiap bulan, ga bakal ada edisi bayaran listrik meledak. (3) Semoga sistem seperti ini terhindar dari pencurian arus listrik. Lagipula, dalam islam kita tidak dianjurkan untuk boros atau berlebih-lebihan. Dengan sistem ini jadi enak, kita jadi diingetin. Kata nenek, kalau kita baru beli kuota setelah kuota lama habis malah lebih susah, bisa-bisa kita gelap-gelapan untuk beberapa malam. Makanya sebelum bener-bener habis ya isi ulang lagi.

Nah, ngomong-ngomong kuota listrik, itu kok di atas judulnya ada kuota umur juga. Nggak..saya cuma berimajinasi, gimana kalau kita hidup juga pakai sistem beli kuota umur. Kalau umurnya sudah sekarat, langsung ada peringatan. Kita diingatkan agar jangan boros-boros pakai waktu selama di dunia. Terus, memangnya kuota umur bisa dibeli? Dibelinya pakai apa? Uang? Enak banget bagi yang kaya raya ya.. eits..mari putar imajinasinya. Gimana kalau membelinya dengan tabungan pahala atau kadar iman dan taqwa. Bayangkan masing-masing kita mampu beli nggak?hehe. Maaf maaf. Ini cuma imajinasi konyol si penulis. Nyatanya kita tidak pernah tahu dengan kuota umur kita masing-masing kan. Kita juga nggak tahu peringatan seperti apa tanda bahwa kuota umur kita sudah hampir habis. Baiklah, hidup bukan tentang seberapa panjang umur kita, tapi seberapa besar manfaat umur itu digunakan selama hidup. :)

Pesan ini disponsori oleh layanan masyarakat agar hemat listrik,hehe. Pesan ini juga patut kita renungkan, kebetulan dituliskan lewat jemari saya. Semoga bermanfaat..