Selasa, 05 Januari 2016

Khayalan Unyul: Filosofi Secangkir Kopi




Sore di kota kecil.

Naila dan Amiq sedang duduk santai di teras kosan sambil memandangi kendaraan yang lalu lalang.

Tiba-tiba terdengar suara sirine.

Bukan sirine ambulans tapi sirine dari dapur.

“Hey…air hangat. Aku ke belakang dulu ya..”

Amiq manggut. Sambil senyum. Sambil kembali menikmati riuhnya jalanan.

Sepuluh menit kemudian.

Dua cangkir kopi. Satu untuk Naila. Satu untuk Amiq.

Cangkir kopi untuk Amiq. Kopinya sama dengan kopi Naila tapi cangkirnya beda. Cangkir Amiq lebih bagus. Lebih lucu. Lebih aneh. Lebih tidak biasa. Tergantung yang menilai.

Cangkir kopi untuk Naila. Cangkir plastik. Warnanya hijau. Cangkir Naila biasa saja. Bisa jadi luar biasa. Tergantung yang menilai.

Mereka mulai menyeruput kopi.

“ada yang aneh” Amiq memandangi cangkirnya dan cangkir Naila

“Pinter! Pasti ada yang bertanya-tanya”

Amiq senyum.

“Tentang cangkir kopi kan?”

Amiq manggut.

“ayooo jelasin…” tangan Amiq meminta (tanda meminta tangan dibawah)

“Aku jelasin..” tangan Naila menepuk tangan yang menengadah.

“Setiap orang punya kopi. Setiap orang punya cangkir. Intinya setiap orang akan minum kopi dan setiap orang butuh cangkir sebagai medianya. Kalo cangkir orang lain lebih bagus so what? Kalo cangkir orang lebih lucu so what? Kalo cangkir orang lebih mahal so what? Lalu waktu minum kopi kita ga sempet nikmatin kopi kita karena terlalu sibuk ngeliatin cangkir orang lain. Kopi itu kehidupan. Kopi itu kebahagiaan. Ga peduli cangkirnya apa. Yang kita nikmatin kan kopinya bukan cangkirnya. Emang beda ya rasa kopi yang dicangkir kamu sama yang di cangkir aku?”

“kalo begitu sini aku cicip kopi kamu…” Amiq menyambar

“Udah sih….samaaaaa tauk!”

“hahahahaaa…”

“Jadi maksud kamu beda-bedain cangkir ini buat apa?”

“Ga ada sih, maksudnya kalo aku pakai cangkir plastik aku ga takut kalo pecah, kan aku ceroboh, hehe”

“sudah aku kira..”

“Kamu pinter miq, udah ngerti sebelum aku jelasin. Kamu makannya apa sih?”

“gado-gado!”

“hahahaa..Indonesia banget”

“bukannya kamu Nai yang lebih ngindonesia”

“apaaa?”

“Makannya kelepon sama nangka”

“yeeeyy…kurang satu lagi”

“apa?”

“pete goreng!”

“HAHAHAHAHAHAHAA…”

***

kopi itu kehidupan. Kopi itu kebahagiaan. Cangkir itu medianya. Inti dari hidup itu adalah bahagia. Yang diluar itu hanyalah aksesoris. Jangan silau sama aksesoris. Jangan bangga juga sama aksesoris. Kalo aksesorisnya dilepas, yakin masih bisa bahagia?

Khayalan Unyul: Matahari




Jalan-jalan sore. Naila bersama Amiq. 

Mencari sisi terindah sudut kota. Senja.

“mataharinya bagus…” Naila membuka kaca mobil.

Amiq mengeluarkan kameranya. Menghidupkan dan mengatur pembukaan lensa, pencahayaan dan apasaja. 

Amiq lebih paham semuanya.

Naila hanya bisa memotret alakadarnya. Tapi cintanya dengan fotografi, cinta cinta sekali.

Amiq mengambil foto matahari tenggelam.

“mataharinya bagus..” Amiq.

“iya mataharinya bagus..” Naila.

“matahari ga hanya bagus tapi baik. Baik sekali..”

“oh ya?”

Amiq menarik nafas. Matanya menatap jauh ke arah matahari yang mulai tenggelam. “matahari selalu tepat janji. Sore ini Ia pergi, besok pasti datang lagi. Pasti”

“Matahari ga pernah ngambek ya sama bumi. Seburuk apapun bumi. Makhluk-makhluk bumi maksudnya, matahari ga pernah pergi”

Amiq mengangguk.

Amiq menoleh ke arah Naila, “kalo ada soal pilihan ganda ditanya kamu mau jadi apa? a. bulan b. bumi c. matahari”

“MATAHARI”

“yakin mau jadi matahari?”

Naila mengangguk.

“Aku ingin punya hati yang luas, bisa tepat janji, selalu memaafkan dan selalu datang lagi lagi dan lagi. Ga pernah pergi”

“yakin mau jadi matahari?” Amiq bertanya lagi.

“ehh..tapi lebih ingin lagi dicintai oleh matahari. Selalu ditepati janji, selalu dimaafkan, dan selalu didatangi lagi lagi dan lagi. Ga pernah ditinggal pergi”

“Mataharinya sudah hilang. Mari kita pulang. Besok matahari pasti datang lagi. Kita juga datang lagi, mengambil foto matahari lagi. Kita sama-sama belajar jadi matahari. Hmm.. besok mau nemenin aku ngambil foto matahari lagi?”

Naila mengangguk. Setuju.

“janji mau nemenin aku lagi?”

“Janji. Janji matahari..” Naila mengikat dua kelingkingnya tanda berjanji.

Khayalan Unyul: Dunia Lain




Sore setelah hujan. Naila dan Amiq menatap pelangi. 

“nanti kalo cari kerja mau kerja apa dan dimana?” Amiq nanya

“yang enak dan nyaman”

“ada gitu?”

“Ya cari..”

“yang enak dan nyaman itu yang gimana?”

“yang karir sama passion tergabung jadi satu, ga berasa kerja, berasa main tiap hari”

“oohhhh…..”

“panjang….”

“tapi kan ga setiap orang beruntung, bisa kerja di tempat yang dia suka, dengan kerjaan yang dia suka juga. Banyak loh yang kerja hanya untuk menuhin identitas diri dan ngisi perut, tanpa bisa nikmatin yang dia kerjain” Amiq berceloteh

“berarti dia butuh dunia lain…”

“dunia antah berantah maksudnya?”

“bisa bisa jadi”

“dunia lain yang bisa bikin dia hidup dan semangat. Ya, bisa dibilang hobi lah ya. Misal nih, si Bedul kerja di bank sebagai frontliner. Kerjaan yang sama sekali ga dia suka. Hanya saja terkondisikan karna dia butuh kerjaan. Tapi si Bedul suka nyanyi, yaudah pas weekend Bedul ngamen deh. Bukan karna uangnya ya, karna dia butuh dunia lain. Dunia di luar aktivitasnya” Naila menjelaskan. Tangannya naik turun kanan kiri, gaya khas ketika bicara dan menepuk ketika selesai.

“bisa bisa jadi”

“rezeki kan tidak selalu materi, punya lingkungan kerja yang baik. Temen-temen yang baik juga rezeki. Ya mungkin kebahagiaan si Bedul dengan ngamen itu” tambah Naila lagi

“wah berarti aku juga punya dunia lain, dunia yang bisa bikin aku hidup dan semangat”

“apa itu? Coba aja”

“kamu!”

krik krik. Krik krik. Lalat lalat beterbangan. Jangkrik mondar mandir.

“wah ini namanya gombal tingkat raja guguk”

“HAHAHAHAHAHAAAA”