Minggu, 28 Juni 2015

Cerpen Surat (2): Surat Ayah untuk Naila



Dear Naila

Naila, puteri kecil Ayah yang dulu suka menangis ketika Ayah tinggal kerja, yang dulu membuat catatan permintaan kalau Ayah sudah gajian, tidak terasa sekarang kamu sudah tumbuh dewasa. Kehadiranmu adalah pelengkap kebahagiaan Ayah. Senyum manismu yang membuat luntur rasa lelah Ayah.

Naila, maafkan Ayah semasa kamu kecil Ayah jarang berada di dekatmu. Ayah lebih banyak menghabiskan waktu dengan pekerjaan Ayah. Tapi, ketika pulang kerja senyum manismu Nai yang Ayah cari duluan. Ketika Ayah melihatmu sudah tertidur pulas, disitu Ayah bisa dengan lega menutup hari dengan istirahat.

Ketika kamu kecil, kamu senang sekali bermain dengan Ayah. Celotehmu banyak sekali, makanmu lamban dan kamu selalu minta dibuatkan rambut panjang palsu dari kain untuk dilekatkan di kepalamu. Namun, seiring bertambah usiamu, kamu semakin jarang menghabiskan waktu dengan Ayah. Waktumu banyak dihabiskan dengan teman seusiamu. Ayah tidak sedih Nai, justru Ayah bahagia. Ayah selalu mencari cara agar kamu merasa nyaman. Ayah belajar bagaimana menjadi temanmu. Dengan cara itu ayah bisa mendalami isi pikiranmu.

Naila, Ayah pernah mengajakmu masuk hutan, turun ke sungai, mengenal suku kubu, mengendarai truck di jalanan berlumpur dan aktivitas aneh lainnya, semua itu  bertujuan agar kamu terlatih mengenal dunia Naila. Ayah tahu,  Ayah tidak akan selalu ada disampingmu tapi Ayah ingin memastikanmu selalu dalam keadaan aman.

Ayah tidak melatihmu hidup bermewah-mewah. Bukanlah hadiah-hadiah yang Ayah berikan untuk membuatmu bahagia. Tapi ada banyak hal sederhana di dunia ini yang bisa membuat kita bahagia, caranya tentu dengan bersyukur.

Kalau ditanya siapa Ayah yang beruntung di dunia ini? Ayah tak ragu menjawab. Ayah orang beruntung itu. Ayah beruntung melihatmu tumbuh menjadi anak yang ceria. Ayah beruntung melihatmu mengenakan hijab dan rajin membaca Al-quran, ketika Ayah tanya untuk apa? Maka Kamu tak ragu menjawab untuk menjadi anak soleha biar Ayah masuk surga. Subhanallah. Ayah beruntung memiliki anak perempuan sepertimu, bisa nyaman naik pesawat namun tahan berdesakan di kereta ekonomi, bisa anggun memakai high heels namun terbiasa dengan sandal jepit.


Kelak, ketika ada seseorang yang dengan berani menemui Ayah untuk mengambilmu dari Ayah, ayah akan penuhi permintaanmu. Namun ada satu tambahan, Ayah akan meminta Ia untuk menemanimu dan menjagamu selama di perjalanan kemanapun kamu pergi, karena selama kamu jadi anak Ayah, tidak pernah Ayah punya waktu untuk menemanimu. Kamu terbiasa sendiri, menyebrang pulau sendiri, angkat ransel sendiri.

Naila, akan ada seseorang yang mengambil alih posisi Ayah. Jagalah kehormatannya seperti kamu menjaga kehormatan Ayah. Banggakanlah Ia seperti kamu selalu membanggakan Ayah. Temani Ia sebagaimana kamu tahan menemani Ayah ketika kamu masih kecil dulu. Jadilah perempuan yang cerdas. Ingat kata ayah, cerdas bukan semata-mata diatas kertas tapi cerdaslah membaca keadaan, karena kamu tidak akan pernah tahu bagaimana kehidupanmu kelak dengan teman hidupmu. Terakhir, kalau kamu rindu Ayah, silahkan pulang temui Ayah tetapi atas izin suamimu. Begitu pula Ayah, walau kamu sudah menjadi seorang istri dan seorang ibu, kamu tetaplah puteri kecil Ayah. Namamu akan selalu ada dalam doa Ayah.

Ayah, yang rasa sayangnya begitu besar untuk Naila.

With love
Ayah





Cerpen Surat (1): Surat Naila untuk Ayah




Dear Ayah,

Kalau ditanya siapa perempuan yang merasa beruntung di dunia? Maka Naila akan angkat tangan. Bukan hanya itu, kalau memang harus berbaris dan mengantri dalam sebuah barisan di bawah terik matahari, maka Naila akan ambil posisi. Paling depan bisa jadi. Tidak peduli terik matahari akan menyelinap dari pori-pori jilbab Naila dan menembus ke isi kepala Naila. Tidak peduli kaki menjadi letih. Tidak peduli keringat akan bercucuran.

Adalah seorang Naila, anak Ayah yang dulu mengucap atam-tiyam-tuyu untuk delapan-sembilan-sepuluh. Anak Ayah yang dulu minta dibuatkan rambut panjang dari kain yang dibalutkan di kepala. Anak Ayah yang dulu takut naik gajah tapi tetap Ayah dudukkan di atas gajah. Anak Ayah yang ditarik kerah bajunya, lalu Ayah giring dengan sedikit berlari ketika Naila belajar bersepeda. Anak Ayah yang diajak masuk hutan, turun ke sungai, berkenalan dengan suku kubu, mengendarai truck, mengangkat dongkrak, menjual ikan, dan makan lotek di persimpangan kebun. Anak Ayah yang Ayah sebut kalkulator Ayah ketika menghitung barang dagangan Ayah. Ya, inilah Naila anak Ayah.

Ayah, dulu Naila bertanya-tanya mengapa begitu pelik kehidupan kita. Begitu randomnya apasaja yang Ayah ajak lakukan bersama Naila. Tapi sekarang Naila sadar, semuanya bermakna Ayah. Sungguh bermakna. Naila bangga sekaligus bahagia pernah mengendarai truck bersama Ayah di tengah hutan, melewati puluhan meter jalanan berlumpur. Kata Ayah, untuk bisa melampaui jalanan berlumpur itu Naila harus marah, dengan marah Naila akan berani, dengan berani Naila menjadi yakin. Keren sekali bukan. Anak perempuan mana yang punya pengalaman begini. Naila bangga sekaligus bahagia semasa kecil pernah dimarah oleh Ayah, waktu di kereta Naila meminta tisu dengan penumpang sebelah. Kata Ayah, apa yang Naila butuhkan bilang sama Ayah. Sebisa mungkin tidak meminta, kalau bisa memberi lebih baik. Tentang menjadi tegar, mandiri, kuat, tegas, santun dan tulus, semuanya sudah Ayah contohkan. Ayah selalu bilang, anak perempuan Ayah bukan anak cengeng apalagi manja. Anak perempuan Ayah adalah bintang.

Ayah sama sekali tidak pernah berkata kasar namun tak pula berlemah lembut. Ayah selalu apa adanya, Naila suka semua tentang Ayah. Ayah yang tidak pernah menuntut. Ayah hanya selalu bertanya, Naila ada masalah apa dan bantuan apa yang Naila butuh dari Ayah. Ayah yang tidak pernah mengekang. Ayah hanya membebaskan namun memantau. Ayah menjaga Naila sekaligus memberi ruang Naila belajar dengan cara yang Naila suka. Dari sini Naila belajar arti demokrasi dan bertanggung jawab.

Ayah, Naila anak perempuan yang beruntung. Naila paham, Ayah menaruh harapan besar pada Naila. Tentang arti kerja keras, hidup sederhana dan apa adanya. Bab itu sudah Ayah ajarkan semua. Mungkin nanti ketika Naila akan memulai hidup baru dengan teman hidup Naila, hanya sebuah koper, beberapa buku dan karakter yang melekat pada diri Naila yang Naila bawa. Maafkan Naila jika nyatanya apa yang menjadi harapan Ayah tidak sepenuhnya bisa Naila berikan dan tunjukkan pada Ayah. Namun satu hal, Naila akan selalu menjaga kehormatan Naila, karena itu sama halnya dengan menjaga kehormatan Ayah.

Ayah, entah mengapa Naila merasakan sebuah kekhawatiran. Apakah kelak teman hidup Naila bisa sesabar Ayah menemani Naila makan yang amat lamban ini. Bisa setia mendengar semua impian-impian dan rencana masa depan Naila. Bisa tulus menerima kekonyolan Naila. Bisa tahan berjam-jam berdiskusi apasaja di meja makan bersama Naila. Bisa selalu membuat Naila tersenyum. Bisa menghibur Naila dikala sedih. Bisa membuat Naila merasa aman dan nyaman. Satu hal yang paling penting, bisa mengajarkan merasa cukup dan selalu bersyukur kepada Naila, seperti yang Ayah lakukan.

Ayah, bila nanti ada seseorang yang dengan berani menemui Ayah untuk mengambil Naila dari Ayah, tolong jelaskan, hal yang paling mendasar dibutuhkan Naila adalah perlakuan baik, sebagaimana Ayah memperlakukan Naila. Sesederhana itu. Cinta Naila mungkin akan terbagi, kepada Ia yang menjadi teman hidup Naila. Tapi yakinlah, Ayah akan selalu ada dalam doa Naila.

Ayah, kelak Naila akan menjadi seorang istri juga seorang ibu. Tapi di hadapan Ayah, Naila akan selalu seperti puteri kecil Ayah yang rindu disayang dan dipeluk Ayah.

Naila sayang Ayah.


With love,
Naila

Puisi Sapardi Djoko Damono



Hujan Bulan Juni, Sapardi Djoko Damono

Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan juni
Dihapusnya jejak jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebi arif
Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu

Aku ingin, Sapardi Djoko Damono

Aku ingin mencintaimu
Dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat
Diucapkan kayu kepada api
Yang menjadikannya abu…

Aku ingin mencintaimu
Dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat
Disampaikan awan kepada hujan
Yang menjadikannya tiada