Jumat, 12 September 2014

Catatan Kaki Dokter Putri




“Wah ternyata di telapak kaki kiri si Putri ada tahi lalat”
“Emang apa maksudnya?”
“Tahi lalat di telapak kaki menandakan kalo yang punya kaki, suatu saat akan melangkahkan kakinya sendiri, dengan langkahnya sendiri dan tujuan atas dasar pilihannya sendiri.”
“……….”

***

            Hari ini tepat satu bulan saya berada jauh dari rumah. Berbekal kepercayaan dari kedua orang tua dan semangat luar biasa, saya mencoba berpetualang sambil menunggu jadwal penempatan internsip. Mungkin beberapa teman ada yang bertanya-tanya, bagaimana saya bisa berada disini. Saya bawa baju berapa banyak. Saya tinggal dimana. Bagaimana saya bisa kesana kemari dan apa yang saya dapat. Hal ini terbukti ada beberapa teman yang sengaja bertanya via line, bbm, dll. Baiklah, akan saya bagi pengalaman saya lewat tulisan ini.

            Adalah kebosanan yang kian lama terhitung sejak selesai kepaniteraan Januari lalu. Ditambah lagi berbagai rangkaian ujian kompetensi yang membuat galau. Selain itu proses administrasi yang menyusahkan, tentu membuat isi kepala ingin pecah. Hari-hari kosong tanpa produktifitas. Diusia dan kecukupan ilmu yang seharusnya sudah bisa bermanfaat untuk orang banyak, terasa hampa jika diisi dengan kediaman belaka. Oleh karena itu, saya mengambil sebuah langkah. Apakah itu? Yap, berpetualang!


Izin Orang Tua

            Sebagai seorang anak perempuan, pastilah sangat dikhawatirkan oleh kedua orang tuanya jika bepergian jauh dari rumah untuk jangka waktu yang lama. Sendirian. Tanpa kejelasan. Hal ini yang saya perjuangkan. Saya meminta izin dengan ayah dan ibu saya, dengan meyakinkan mereka bahwa saya akan baik-baik saja. Saya hanya butuh kepercayaan dan sedikit bekal uang jajan,hehe. Tapi ayah saya sempat menyangsikan. Oleh karena itu saya membuat perjanjian tak tertulis dengan beliau. Pertama, cukup bekali saya dengan uang 1 juta (500.000 untuk ongkos pesawat + 500.000 untuk bertahan hidup entah bagaimanapun bentuknya), saya berjanji ayah tak akan mendengar rintihan saya dari sini karena kelaparan ataupun tersesat. Kedua, bukankah proses terbitnya STR dan penempatan internsip masih lama dan banyak berurusan di Jakarta, tentu akan memudahkan saya dalam menyelesaikan ini semua. Ketiga, saya menjanjikan bahwa sepulangnya saya nanti dari petualangan ini, akan banyak hal yang saya dapatkan, saya selalu yakin itu. Tentang pengalaman hidup, mengenal banyak orang, dan mengunjungi tempat-tempat yang asing bagi saya. Atas tiga alasan inilah bapak mengizinkan saya.


Hidup dengan Satu Ransel 

            Sebelum berangkat ke Jakarta saya bertanya kepada Kiki teman saya yang kebetulan sudah di Jakarta, mengabdikan ilmunya di sebuah klinik di Tanggerang. Kiki menyarankan agar saya cukup membawa satu ransel dengan 5 pasang baju kerja dan baju tidur. Perlengkapan secukupnya. Serta buku yang bisa saya baca. Dengan semangat empat lima saya menyiapkan perbekalan menuju ibukota. Sayangnya, ransel kesayangan saya sudah tiada sejak musibah penghujung Mei lalu (hiks, ransel saya yang isinya kamera dslr harus saya robek karena dijahilin orang di bus menuju Pekanbaru, dan kamera dslr saya diganti dengan 2 botol air mineral 600cc). Jadilah saya menggunakan tas jaga jaman masih koas. Tas baju gede warna biru dengan aksen Mickey Mouse. Setibanya saya di Bandara Soekarno Hatta, saya dijemput oleh sahabat saya Fathur dan Indra. Merekalah yang menghantarkan saya ke tempat Kiki. Well, thank you so much. Ketika tiba di Jakarta, kiki menyarankan saya untuk menukar tas Mickey Mouse saya yang gede itu dengan tas ranselnya. Agar lebih mudah kesana kemari katanya. Okesip, perjalananpun dimulai.

             Senin, 11 Agustus 2014 pukul 09.00 pagi, setelah perut saya terisi bubur ayam yang dibeliin Kiki, saya berangkat menuju Cigombong (Kab. Bogor). Cigombong adalah tempat saya mengadu nasib dan mengaplikasikan ilmu saya. Awalnya untuk menuju Bogor saya disarankan untuk naik kereta. Namun kenyataannya beda, di jalan bersama mamang ojek rekomendasi Kiki, saya diantar ke terminal bus jurusan Serpong-Bogor. Akhirnya dengan sebuah bus butut yang isinya lumayan padat, saya berangkat menuju Bogor. Ongkosnya 20.000 rupiah. Di Bogor saya turun di terminal Baranangsiang dan lanjut menumpang sebuah travel jurusan Bogor-Sukabumi. Dengan travel inilah saya menuju tempat yang asing bagi saya, Cigombong. Cigombong adalah sebuah kecamatan di Kab. Bogor yang arahnya sudah menuju Sukabumi. Tempat yang saya tuju tepatnya Kampung Pasir Jaya Desa Pasir Menjul di kaki Gunung Salak, sebuah klinik sosial dibawah naungan yayasan Al-Azhar. Saya turun depan Stasiun Cigombong dan dijemput oleh Kang Walid, pegawai klinik.

            Hari pertama di Klinik Al-Azhar, saya sudah menerima beberapa pasien. Sungguh mengesankan, karena saya harus memahami bahasa sunda. Beberapa kosa kata yang menjadi keluhan utama harus saya ingat benar, seperti “engap” artinya sesak, “atey” artinya gatel, hehe. Di klinik ini berdasarkan kesepakatan saya mendapat kesempatan 3 hari kerja yaitu Rabu, Kamis dan Jumat. Maka dari hari Sabtu, Minggu, Senin dan Selasa saya kemana? Inilah tantangannya. Saya melompat lompat antar klinik mengisi hari-hari tersebut.

            Untuk hari Sabtu dan Minggu saya dapat kesempatan untuk jaga di sebuah klinik di daerah Bekasi Utara. Jam jaga mulai pukul 09.00 pagi. Saya yang belum pernah ke kawasan Bekasi, mau naik apa, sama siapa dan bagaimana. Dari Cigombong menuju Bekasi, baiknya berangkat jam berapa agar tiba di Bekasi Utara kurang dari pukul 09.00. Alhamdulillah, seolah sudah diatur oleh gusti Allah. Hari Jumat sore saya menerima pasien seorang bapak tua, yang kerjanya dagang roti di daerah Bekasi. Waw..Waw..Waw…jadilah saya minta ajarin sama si bapak gimana angkot dari Cigombong menuju Bekasi. Gimana caranya: 1. Naik Bus jurusan Sukabumi-Bekasi (ongkos 16.000), 2. Naik Bus jurusan Sukabumi-Kp. Rambutan (ongkos 10.000), nyambung lagi bus Kp. Rambutan-Bekasi (ongkos 6.000), 3. Naik angkot Cicurug-Sukasari (ongkos 7.000) terus nyambung angkot ke stasiun Bogor ( ongkos 2.500), lanjut naik kereta dengan beli e-tiket. Baiklah diatas adalah 3 pilihan cara menuju Bekasi. Hari Sabtu dini hari saya bangun pukul 04.00 subuh. Merebus air buat mandi, sholat subuh dan lain-lain. Pukul 05.00 lewat dianter sama Mped (OB klinik) menuju simpang Cigombong buat nunggu beberapa angkutan yang diajarkan pasien saya kemaren. Ternyata, teori tak sesuai realisasi. Beberapa angkutan rekomendasi itu tidak ada yang lewat, sedangkan saya harus tiba di Bekasi pukul 09.00. Filosofi yang selalu saya pegang adalah, bergeraklah walau semili, itu lebih baik daripada menanti pergerakan yang kencang namun tak kunjung datang. Akhirnya saya naik angkot apa aja deh yang penting searah. Jadilah saya naik angkot Cicurug yang turun di Ciawi (ongkos 6.000), lalu saya nyambung naik bus jurusan Sukabumi-Kp. Rambutan (ongkos 10.000), nyambung lagi bus Kp. Rambutan-Bekasi (ongkos 6.000). Ternyata saya bergerak dengan opsi angkutan kedua, tapi dengan perantara angkot Cicurug-Ciawi, haha, never mind. Setibanya di terminal Bekasi saya naik ojek untuk menuju klinik tempat saya jaga di Jl. perjuangan. Alhamdulillah, saya tiba pukul 08.35, jauh lebih cepat dari harapan. Apa kata pegawai klinik disana, “Dok, cepet banget tiba disini. Baru kali ini ada dokter yang datang lebih cepat dari jadwal jam jaga…”. Huahahaha..yaiyalah..kamu ga tahu kan kalo buat berangkat kesini saya bangun dari jam empat ((EEMMPAATTT)) *pake toa*.

            Disini saya jaga untuk 2 x 24 jam. Jadi kalo mulai jaga pukul 09.00 hari Sabtu, maka selesainya pukul 09.00 hari Senin. Nah, bukankah hari Rabu saya baru jaga di Cigombong. Lalu bagaimana Senin malam Selasa, kemanakah saya. Sebenernya sih saya bisa ke tempat Kiki atau sodara di Tanggerang. Tapi jauh banget dari Bekasi. Okelah, saya menganggap seolah saya ga tahu harus kemana lagi. Akhirnya saya membuka lowongan kerja dokter, ternyata ada sebuah klinik yang membutuhkan dokter pengganti untuk hari Senin. Klinik itu berada di daerah Cikarang. Tepat sekali, sesuai pencarian saya. Tempat menyambung nyawa satu malam dan ga jauh dari Bekasi. Tapi saya keluar dari klinik di Bekasi jam 09.00 pagi, sedangkan klinik di Cikarang meminta saya untuk mulai jaga jam 09.00 pagi juga. Duh, gimana coba. Akhirnya saya komunikasiin sama dokter yang minta gantiin jaga, dan si TS kasih kompensasi saya telat (jam berapa aja yang penting gantiin dia, haha) dan si TS juga ngajarin saya rute angkotnya.

            Petualangan ke Cikarang kali ini ditemani sebuah tas ransel di pundak dan amplop berisi honor dua hari jaga kemaren *muka sumringah*. Dari klinik Bekasi saya naik angkot dengan kode 09 menuju Mega Mall Bekasi (ongkos 4.000), lalu nyambung naik angkot elef ke Cikarang (ongkos 7.000). Turun depan Mall Lippo Cikarang. Nah, pas disini saya ga tahu lagi naik angkot apa. Dan saya bingung mau nanya siapa. Tahukah kalian apa langkah yang saya ambil?? Yaakk saya refreshing ke Mall Lippo Cikarang. Saya baru inget kalo baju saya tinggal satu setel dan ga ada baju lagi buat besok.  Masuklah saya ke dalam mall. Krik krik..pegawai mall masih nyapu-nyapu, haha..yaiyalah orang mallnya baru buka. Setelah muter muter ga jelas, saya baru nyadar saya kan mau lanjut cari klinik Cikarang buat jaga. Akhirnya saya bertanya kepada Pak Satpam mall, dan naiklah saya angkot 17 Turki menuju klinik itu. Ternyata jauuuuuuuuuhhhh banget. Hingga saya turun di depan Mega Regency, pundak saya rasanya mau lepas. Oh ya disini kayaknya saya dibegoin mamang angkot, saya kasih 10.000 ga dikasih kembalian. Pas saya pelototi, dikasih kembalian 2.000, jadi ongkosnya 8.000, lebih mahal dari ongkos Kp. Rambutan-Bekasi. Haha, ga apa-apa deh, emang saya yang salah ga survey harga dulu sebelum naik angkot. Dan saya dijemput oleh Robi (OB klinik di Cikarang). 

            Saya tiba di klinik Cikarang pukul 11.00. Dua jam ngaretnya, hehe. Saya langsung mengeluarkan jas putih dan stetoskop. Mumpung belum ada pasien saya merebahkan badan terlebih dahulu. Huu….saya terharu, ga nyangka saya udah sampe Cikarang aja. Dan tiba-tiba pintu kamar berbunyi…”tok..tok… dokter ada pasien”. Hap hap hap dengan semangat saya menerima pasien tersebut. Tentang kedua klinik Bekasi dan Cikarang akan saya ceritain lagi di bab khusus. Selanjutnya saya akan cerita tentang perjalanan pulang. 

            Selasa, pukul 09.00 saya sudah dipersilahkan selesai jaga. Tak lupa menerima amplop hasil jaga 24 jam, hehe *senyum sumringah lagi*. Kali ini ga kagok lagi, saya hanya mengulangi rute angkot pergi kemaren. Namun pas sampe Bekasi, saya baru celingukan nyari angkot ke stasiun dan mau naik kereta untuk pertama kalinya. Bersama siapa saya naik kereta? Tentu dengan tas ransel di pundak saya dong!

            Saya ada urusan ke Konsil Kedokteran Indonesia untuk urusan STR. Saya beli tiket kereta jurusan Jakarta Kota dan turun di Cikini (ongkos 8.000, kalo ga salah lupa juga,hehe). Iya itu awalnya. Entah kenapa, saya bengong dan yang pasti ga ngerti. Saya turun di stasiun Gondangdia. Ketika keluar dari stasiun, e-tiket saya ditolak. Saya ga bisa keluar. Terus saya panik dan bingung. Lalu saya digiring oleh Pak Satpam ke posnya. Sedih amat yaakk, disana e-tiket saya dibaca, harusnya turun di Cikini tapi saya turun di Gondangdia. Saya bilang aja saya pertama kali dan saya ga ngerti. Pak Satpam ketawa dan tetap ngikutin prosedur untuk menarik e-tiket saya dan saya kena pinalti 5.000. Hahaha, ada-ada saja. Tapi saya bahagia, dengan itu saya jadi tahu. Untuk pulangnya, saya sudah paham dong. Jadi ga ada aksi diajak ke pos satpam segala. Saya pulang dengan kereta jurusan Gondangdia-Bogor. Beneran turun di Bogor, ga kemana-mana lagi. Yaiyalah, kan stasiun Bogor itu ujungnya stasiun,hahaha. Lalu saya balik lagi ke Cigombong, ke kaki Gunung Salak lagi dengan rute angkot yang sudah saya lewati. Ahh..bahagianya balik ke kaki gunung lagi setelah 3 hari berpanas ria di Bekasi-Cikarang.

           
Single Fighter in Cigombong

            Awal kesepakatan saya hanya dapat 3 hari kerja, namun bertambah menjadi 5 hari kerja. Ternyata dokter lain selain saya yang jaga disini belum bisa datang, alhasil saya jadi pemain tunggal. Jaga klinik 7x24 jam, terus dan terus sampe saya internsip, hehe. Baiklah akan saya utarakan betapa saya nyaman disini. Klinik sosial ini bukanlah klinik komersial yang mencari keuntungan lewat pelayanan medis. Klinik ini murni menyalurkan donasi para dermawan untuk para dhuafa yang telah memenuhi kriteria mereka. Jadi pasien disini gratis. Beberapa ada yang pasien umum, namun dikenakan biaya yang amat murah. Sistem seperti ini ada untung ruginya. Untungnya adalah, kita sebagai dokter kerja ga ada beban. Waktu ngeresepin obat ya ngeresep aja, karena gratis, ga perlu mikirin kantong pasien. Selain itu kita ga akan kena syndrome kejar target yang pengennya pasien banyak datang supaya pendapatan besar. Selain itu pasien-pasien disini ramah dan bersahabat. Kerugiannya ya kalo jumlah pasien terlalu ramai, sedangkan honor kita dibayar flat. Tapi itu bukan jadi masalah, karena niatkan hanya karena Allah. Bekerja akan lebih ringan dan menyenangkan, hehe. Gaji tambahannya ridho Allah. 

            Klinik ini tepat di kaki Gunung Salak. Hanya melangkahkan kaki dari muka klinik, saya bisa memandangi puncak Gunung Salak. Di halaman depan terdapat lapangan hijau tempat anak-anak bermain bola. Di halaman belakang terdapat pekarangan nan hijau tempat saya menjemur pakaian. Dari sisi kiri klinik, ini sudut kesukaan saya, sudut dimana membuat hati orang yang memandang menjadi tenang. Setiap pagi saya membuka jendela kamar, barisan hijau pohon jati selalu menjadi pemandanga. I do really love it.
  
            Disini juga tersedia dapur dengan peralatan masak yang lengkap dan juga mesin cuci. Suasana disini membuat saya semakin nyaman karena pegawainya baik dan bersahabat banget. Kang Walid (pegawai TU) yang berbaik hati menerima saya disini dan ngizinin kalo saya lagi ada urusan keluar, hehe. Kang Dayat dan Mped (OB klinik) yang berbaik hati mengantar saya kesana kemari dan ga bosan nanyain saya, “dok mau sarapan apa? Mau makan siang apa? Makan malam apa?”, selain itu bersedia saya repotin setiap pagi buat angkatin air anget yang saya rebus buat saya mandi, hehe. Teh Yully, mitra kerja yang bersahabat, suka ngajarin kosa kata sunda dan setia nemenin di dapur kalo lagi mau masak bareng. 

            Disini suasananya sepi dan amat tenang. Baik untuk beristirahat dan menenangkan pikiran. Tapi kalo buat hidup jangka panjang, mungkin bisa bosan. Lalu bagaimana untuk saya yang setiap hari disini? Saya mengisi hari-hari saya dengan memasak, berbelanja ke pasar tradisional Cigombong, mencuci, mengunjungi kebun jambu, membaca dan menulis (iya termasuk menulis cerita ini,hehe). 

            Dan rasa sepi juga bekurang, karena sesekali Kak Fathur datang mengunjungi saya, tak lupa membawakan buku-buku bacaan untuk saya. Menikmati indahnya Cigombong bersama saya. Meniti jalan menuju Gunung Salak yang lebih tinggi, namun nyatanya kami tersasar, haha. Meniti jalanan Batutulis yang disana sini terdapat hamparan sawah yang menghijau. Berbelanja ke pasar, lalu pulang lewat jalanan curam hanya karena penasaran pengen memandang jarak dekat barisan sawah yang indah, yang kebetulan kami lihat dari pasar Cigombong. Masak sama-sama dan ditutup makan sama-sama. It’s very wonderful day

             Dan begitulah hari-hari indah di Cigombong ini akan saya nikmati hingga akhir September ini. Yap, karena awal Oktober saya sudah berstatus sebagai dokter internsip.


Cicurug VS Cibedug

            Ini kisah ketika saya minta izin untuk keluar dulu dari klinik menuju Jakarta, tepatnya kawasan Pasar Minggu untuk membuat rekening BRI yang merupakan salah satu syarat internsip. Sepulang dari Pasar Minggu, ketika turun di stasiun Bogor saya ingin mencoba naik angkot kecil bukan naik travel untuk ke Cigombong. Jadilah saya naik angkot biru (ongkos 2.500) menuju Sukasari, lalu lanjut naik angkot Cicurug (ongkos 7.500) yang kebetulan juga berwarna biru. “Punten a’, kalo mau kearah Cigombong abdi naik angkot mana a’?” Tanya saya, “Naik angkot depan aja teh, angkot Cicurug”. Da sayapun bergegas, “Nuhun a’..”.

            Yap, saya naik angkot biru, tapi bukan yang berada tepat didepan angkot yang saya naikin tadi. Abisnya ngetem, pasti lama, jadi saya memilih untuk naik angkot yang berada di depannya dan langsung jalan. Saya kebagian kursi di depan, berdampingan ama aa sopirnya. Kaki saya lurusin, dan saya bersandar sambil memeluk tas. Sesekali mata saya terpejam dan kepala mengangguk-angguk. Ketika di Ciawi, saya agak heran karena arah angkot yang saya tumpangin ini malah menjauh dari arah Sukabumi, justru kearah Cisarua. Saya ga ambil pusing karena bisa jadi ini jalan alternatif saya pikir. Hingga diujung perjalanan angkot ini, saya baru sadar, ini daerah asing. Lalu saya nanya sama aa sopirnya, “a’, kalo saya mau ke Cigombong ntar turun dimana ya?”. Apa jawab sopir angkotnya, “wahh..teteh salah naik angkot, harusnya angkot Cicurug, kalo ini angkot Cibedug”. Jeng Jeng Jeng….dan angkot sudah menuju Tapos aja. Memang sih tempatnya indah, kayak bukit-bukit gitu. Beberapa terdapat resort tempat orang-orang berlibur. Namun saya tak cukup bisa menikmati pemandangan itu dengan baik, sebab saya teringat dengan pasien di klinik Al-Azhar pasti lama nunggu kalo saya pulang kesorean. Lalu saya kirim sms untuk kang Walid, buat kasih tahu kalo saya salah naik angkot. Apa coba jawabnya, “Ga apa-apa dok, anggap aja jalan-jalan..”. Dan senada banget dengan guyonan sopir angkot yang saya tumpangin, “Ga apa-apa teh, anggap aja teteh lagi jalan-jalan ke Tapos”. Haha, it’s unforgettable experience.


Perjalanan ke Baduy

            Setelah beberapa minggu jadi pemain tunggal di klinik Al-Azhar, ada rasa bosan mendera. Kebetulan saya mendapat tawaran dari temen buat ikut trip Bakrie Amanah ke Baduy hari Sabtu Minggu. Lalu saya minta izin buat ga jaga di Al-Azhar dua hari karena pengen banget ikut ke Baduy. Alhamdulillah, Kang Walid mengizinkan. Dan yaakk… kaki dokter Putri beneran sampe ke Baduy. Ulasan tentang Baduy saya tulis disini. Perjalanan singkat itu membuat saya mengenal orang-orang baru. Pak Wawan, Pak Har, Pak Didi, Pak Jufri, Asep, Mba Ria, Mba Tuti, Mba Ida, Mba Riani, Mba Eko dan Mba Tri. How lucky I am to know them, and stay in Baduy for two days with them. Alhamdulillah, silaturahmi ini berlanjut. Pak Wawan mengajak kembali ke Baduy akhir September ini, dan saya senang sekali karena saya ingin menindaklanjuti satu pasien kemaren yang kakinya mengalami multiple abses. Selain itu, Pak Wawan juga mengajak trip ke Garut untuk bakti sosial di desa tertinggal awal Oktober mendatang. Aah, namun sayang sekali itu jadwal saya internsip.


Demikianlah Catatan Kaki Dokter Putri.
Petualangan ini terjadi karena galau menanti jadwal internsip yang seolah tak kunjung datang. Ternyata dengan bergerak dinamis sesuatu hal yang ditunggu menjadi seolah tak ditunggu, justru saya merasa…oh..saya sudah harus internsip ya, padahal sebelumnya, kapaaaaan saya internsip, haha. Seperti yang saya tulis diawal bahwa,

“Bergeraklah walau semili, itu lebih baik daripada menanti pergerakan yang kencang namun tak kunjung datang”.
Andwilika Putri

Rabu, 10 September 2014

Golden Ticket to Heaven



            Di suatu malam, ketika jarum jam menunjukkan pukul 23.00, saya mulai merebahkan badan dan menarik selimut. Memanjakan sekujur tubuh yang seharian beraktivitas. Selimut berwarna merah jambu di kamar jaga cukup menghangatkan di kala desa Pasar Menjul di kaki Gunung Salak mempersembahkan suhu andalannya, delapan belas derajat. Mata saya mulai terpejam, suasana semakin hening dan saya seolah terhantar ke tidur yang damai nan dalam. Seperti jatuh di alam mimpi, tiba-tiba keheningan itu pecah. Terdengar suara panggilan adanya pasien. Seketika saya beranjak. Hanya dengan pakaian tidur tanpa jas putih dan keadaan setengah sadar.

            Di ruang pemeriksaan saya dapati seorang ibu yang tengah menggendong anaknya. Adalah seorang anak perempuan mungil yang didekap hangat oleh ibunya. Dari kedua tangan si ibu saya melihat terdapat simbahan darah yang mengering. Lalu saya meminta si ibu untuk membaringkan anaknya sembari menanyakan apa yang telah terjadi.

            Anak perempuan itu mengalami perdarahan dari hidung (epistaksis). Namun ketika tiba di klinik, perdarahan itu telah berhenti. Yang tersisa adalah bekas darah yang telah mengering di kedua pipi hingga lehernya. Saya memastikan beberapa hal, pertama perdarahannya memang benar benar telah berhenti, kedua itu merupakan epistaksis anterior, dan ketiga memikirkan beberapa kemungkinan penyebab perdarahan itu, seperti demam, tekanan darah, kelainan darah, trauma ataupun memang si anak memiliki pembuluh darah yang tipis.

            Setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan, saya simpulkan bahwa si anak memilik faktor risiko perdarahan dari hidung dikarenakan oleh bisa jadi dasar pembuluh darahnya yang tipis ataupun kelainan darah. Mengingat ini kasus berulang pada anak itu tanpa disertai demam dan juga tidak ada riwayat trauma. Lalu saya membersihkan bekas perdarahan di wajah anak itu.

            Wajahnya cantik, kulitnya putih, matanya bulat. Anak matanya yang berwarna coklat, sesekali berputar memandangi saya dan sekitar. Rambutnya yang lurus hitam sebahu saya rapikan ketika membersihkan darah di bagian lehernya. Anak itu tersenyum. Ketika saya pandangi, Ia tersenyum lagi. Senyum sederhana tanpa satu kata. Dalam hati saya bergumam, “kamu masih bisa tersenyum sayang….ibumu menangis lho..”.

            Setelah yakin perdarahan memang tidak ada lagi, saya meresepkan beberapa obat yang membantu proses pembekuan darah. Setelah itu, pandangan saya pindah ke titik lain. Saya mulai fokus ke kaki dan bagian tubuh lainnya. Anak itu terlalu mungil, perkiraan saya usianya kisaran 2-3 tahun. Si ibu menjelaskan bahwa anaknya kini berusia lima tahun, dengan berat sebelas kilogram, belum bisa mengucapkan kata-kata, dan baru bisa menapakkan kaki di usia empat tahun. Saya tersontak. Anak perempuan yang berada di depan saya ternyata tidak bisa berkomunikasi. Mungkin karena itulah hanya senyum yang terpancar dari wajahnya, sebab cara itulah Ia berkomunikasi. Si ibu meraih anaknya lagi. Menggendong dan mendekapnya. Si ibu berkata, “beginilah dok kondisi anak saya, ketika lahir dulu beratnya hanya 1,5 kilogram. Pertumbuhannya sangat lambat, jadi saya harus sabar”. Saya terdiam beberapa detik. Memandangi wajah perempuan paruh bayah itu. Perempuan itu terlalu kuat untuk menguatkan dirinya. Lalu saya menguatkan beliau. Si ibu mengambil obat dan berpamitan pulang dengan suara yang samar-samar terdengar ketika si ibu sudah berada di muka pintu klinik.

            Saya kembali ke kamar jaga, lama mengingat wajah anak perempuan mungil itu. Senyumnya yang sederhana ketika dibelai, mungkin itulah yang menguatkan ibunya. Aah, ini seakan mimpi yang hadir di tengah-tengah tidur saya.

            Keesokan harinya saya bercerita kepada seseorang tempat saya menceritakan banyak hal tentang kisah pasien semalam. Ada satu hal yang selalu terngiang di kepala saya hingga akhirnya saya torehkan disini.

“Sebenarnya setiap ibu diberikan Allah kesempatan untuk menabung membeli tiket ke surga. Medianya adalah anak-anak mereka. Namun, untuk ibu-ibu pilihan, mereka dibekali -Golden ticket to heaven-, yang apabila senantiasa dijaga akan menghantarkan mereka ke surga-Nya”
M. Fathur Rohim
(dengan kemasan bahasa yang telah saya daur ulang)