Minggu, 20 April 2014

Untaian Cerita dari Remban



Selamat Pagi!

Ketika saya menulis ini, suasana begitu hening. Suara tetesan hujan dan jangkrik bercampur menjadi satu. Di luar gelap. Jikalau saya memberanikan diri turun dari rumah dan berjalan beberapa puluh meter, maka saya akan mendapatkan suara tambahan. Suara apakah itu? Adalah suara arus air yang tanpa disadari menggerus dataran daerah ini, yang boleh jadi ketika beberapa tahun lagi saya datang kemari, mungkin saya tidak bisa lagi duduk disini. Iya, duduk tepat disini di tempat yang sama, berteman dengan laptop sekedar untuk menguntai kata-kata. Jikalau ini disebut nikmat, maka saya ingin sekali mensyukuri nikmat ini dengan menuliskan bait-bait cerita. Tentang tempat di mana saya mendapatkan kenikmatan suasana desa yang begitu indah.

Nama saya Andwi Putri Lika. Saya sering mendapat pertanyaan perihal arti nama ini. Baiklah, saya tidak akan bosan menjelaskan ini, hehe. Andwi adalah tiada duanya (yang benernya anak kedua), Putri adalah anak perempuan sedangkan Lika adalah singkatan dari Linggau dan Karang Agung (asal daerah ayah dan ibu saya). Jadi dapat disimpulkan, seorang anak perempuan yang tiada duanya (anak kedua) dan berasal dari Linggau dan Karang Agung. Apakah kalian percaya? Tolong jangan percaya 100% tapiii…..hmm…percayalah 1000%! HUAHAHAHA. Sehubungan dengan arti Lika, maka dalam tulisan ini saya akan bercerita tentang sebagian dari nama ini, yaitu Linggau. Iya, tentang sebuah desa yang berada di kawasan Linggau (yang saat ini masuk kawasan Musi rawas).

Di sela-sela waktu kosong (yang saya nikmati sebagai pengangguran menjelang penempatan internship beberapa bulan mendatang). Saya berkunjung ke rumah nenek saya. Nenek yang merupakan ibunda ayah saya. Saya berkunjung ke sebuah desa yang bernama Remban, kecamatan Rawas Ulu dan termasuk kawasan kabupaten Musi Rawas. Kedatangan saya kali ini tentu bukan sekedar liburan semata, akan tetapi ada misi tertentu, yakni ingin mengajak nenek saya yang menderita katarak untuk berobat dan operasi.

Seolah tidak mau kehilangan arti dari sebuah kunjungan. Saya ingin menikmati kunjungan ini. Menikmati setiap waktu yang saya lewati. Menikmati setiap potongan tempat yang saya lihat. Menikmati setiap orang yang saya temui. Hey, untuk kalian yang banyak menghabiskan rutinitas yang mematikan, menghirup polusi yang tak bersahabat dan masih dengan nafas yang tercekat entah karena apa. Kemarilah, cerita dari Silika mungkin bisa menemani.

Desa Remban adalah sebuah desa kecil yang kawasannya dibelah oleh aliran sungai Rawas. Kehidupan masyarakatnya sangatlah bergantung dengan sungai Rawas. Termasuk pendatang yang hendak menghabiskan waktu barang sehari dua hari di desa ini. Aktivitas harian banyak dihabiskan di sungai ini. Diantaranya, mandi, mencuci baju, mencuci pakaian, buang air kecil, buang air besar, mencuci kendaraan, mandiin kerbau, menjadi kawasan tempat tinggal, hingga sarana transportasi.

Hari pertama saya tiba di desa ini. Saya beserta ibu dan ayah saya dengan semangatnya langsung turun ke sungai. Kami hendak mandi sore. Saya ter-Waw Waw Waw sambil koprol di atas air (ini boong!) mendapati sekitar jarak lima puluh meter dari kami ada orang lagi boker. Jadi jangan heran kalau kita lagi enak-enak main air atau cuci muka, eh tiba-tiba si kuning lewat #tiba-tiba #tersenyum #kecut. Namun hal ini tidak lantas membuat saya ingin cepat pergi dari sungai Rawas. Saya justru menikmati fenomena ini. Tapi tetap, buat cuci muka dan gosok gigi saya memilih untuk melakukannya di sumur dekat rumah,hehe.

Fenomena lain yang saya nikmati adalah aktivitas masyarakat desa ini yang menghabiskan hari-hari mereka dengan aktivitas bertani. Adapun hasil komoditi utama desa ini adalah karet dan kelapa sawit. Untuk mendatangi perkebunan mereka, mereka harus menyeberangi sungai Rawas. Seolah ingin berjelajah sedikit saja dari potongan sungai Rawas, maka ayah saya meminta seorang “sopir biduk” (istilah yang digunakan warga setempat) agar mengantar kami untuk menyeberangi sungai Rawas.

Sesampainya di seberang, saya mendapati rumah-rumah sederhana yang berdiri di bibir sungai. Yang tidak kalah menarik adalah berdirinya rumah-rumah panggung kecil di tengah sungai. Lalu saya merapat ke sebuah warung kecil di pinggir sungai, saya mendapati beberapa orang penduduk setempat yang berprofesi sebagai “sopir biduk”, mengisi waktu kosong mereka dengan bermain kartu sembari menunggu penumpang menyebrang sungai Rawas, memanfaatkan jasa mereka untuk menyebrang. 

Nah, selain bertani, aktivitas harian warga desa ini adalah mengolah buah pinang. Saya menyempatkan diri untuk ikut aktivitas mereka membelah buah pinang. Pinang-pingan yang dipanen akan dibelah, diambil isinya lalu dikeringkan. Selanjutnya akan dijual dengan harga tujuh ribuan perkilo gram.

Saya juga menyempatkan diri berjalan-jalan sendirian, keliling desa (setidaknya sekitaran dari rumah nenek saya menuju sungai). Saya mendapati bangunan rumah yang sangat sederhana dan tradisional. Tak lupa saya menyapa nenek-nenek dan kakek-kakek para tetua di desa ini. Mereka tidak kenal saya. Jelas saja. Selain itu, komunikasi di antara kami juga tidak berjalan mulus, sebab saya tidak bisa mengucapkan bahasa daerah ini dan juga tidak bisa mengartikan apa yang mereka ucapkan. Secara umum bahasanya berbeda dengan bahasa seperti di desa-desa daerah sumsel lainnya yang banyak modifikasi dari bahas Melayu. Namun, bukan berarti membuat saya ciut. Dengan senyum terhangat dan kemampuan berkomunikasi berbekal dari ayah saya, saya meminta izin kepada beliau-beliau untuk mengabadikan mereka lewat foto. Terimakasih ya nek..kek…silahkan eksis di blog saya,hehe. Berikut dokumentasi hasil perjalanan singkat saya.

ini adalah jalan setapak yang saya lalui untuk menuju sungai Rawas


 Saya bertemu dengan kedua nenek ini. Mereka begitu ramah dan sangat antusias ketika hendak difoto :))



Rumah tradisional yang amat sederhana :')


Seorang kakek tersenyum lembut, beliau banyak menghabiskan harinya duduk di depan pintu karena sudah lumpuh :'( 


Berjalan melewati beberapa rumah, saya berjumpa lagi dengan kakek yang lain. Si kakek memunculkan dirinya, juga tersenyum hangat :')


 Ketika mengisi waktu santai mereka...


Buah Pinang yang sudah dikupas dan akan dikeringkan dibawah terik matahari


 Aktivitas ibu-ibu, bersama-sama mengupas buah Pinang


Domba-domba yang merupakan ternak warga setempat
(FYI menurut cerita semasa kecil ayah saya juga penggembala domba ^^) 


Jalanan menuju sungai Rawas, beberapa ada pohon duku, semasa kecil saya sering diajak bapak melihat pohon duku nenek saya yang ada disini lho,hehe


Yaak, inilah pemandangan sungai Rawas. Di seberang sana ada lapangan hijau, pepohonan dan kerbau-kerbau. 


Nah, ini perkebunan kelapa sawit yang berada tepat di pinggir sungai Rawas.
Saya menyeberang ke arah sana 


 Rumah-rumah panggung kecil yang berdiri di atas sungai Rawas


 Sisi yang berlawanan dari perkebunan kelapa sawit tadi, banyak pohon-pohon kelapa, di belakangnya rumah-rumah penduduk


Sisi lain yang pinggiran sungainya bebatuan, jadi mirip pantai, sayangnya tidak ada ombak. Ya iyalah! namanya juga sungai :P


Biduk, yang setiap hari bertugas menyebrangkan penduduk yang hendak menyebrang


Nih, si biduk mendekat, saya naik ini lho..awalnya takut-takut tapi lama-lama keenakan dan tidak mau turun, haha..dasar!


Lebih dekat dengan rumah di atas sungai Rawas :)


Sedangkan ini adalah rumah sederhana yang bertengger manis di pinggiran sungai Rawas
Lucu ya, penghuninya keluarga kecil gitu (maksudnya yang baru berumah tangga,hihi) 


Kalo yang ini apa ya, hmm..saya juga tidak tahu, tapi tampaknya ini pondok yang biasa digunakan untuk istirahat para sopir biduk tapi sayangnya sudah lapuk


Selain Biduk ada juga si Ketek, ini digunakan untuk menyebrang kalau jumlah penumpangnya tidak lebih dari 3 orang


Tuh, mereka sudah hampir sampai di seberang
(FYI yang mengendalikan papan pengayuhnya itu ibu-ibu, hmm...zuperrr zekaleee..) 


 Si sopir Biduk lagi main kartu sembari nungguin saya mau nyebrang lagi, uppss..maksudnya penumpang-penumpang lain juga,hehe


Nah, ini dia calon penumpang. Penduduk yang baru pulang dari "motong" (istilah penduduk setempat yang artinya mendamar)


 Baiklah, salah satu penumpang membantu mendorong si Biduk

 
Okeh, sopir Biduk siap menarik mesinnya. TAREEEKKKK MASSSS!


Lalu saya ikut merapat ke biduk, mau nyebrang juga. Inilah para penumpang yang siap-siap mau menyebrang.


Tidak terasa, hari mulai senja. Matahari sudah mulai bersembunyi, saya pun menutup hari ini dengan alhamdulillah...


 ****
Seolah tak ingin terlewat begitu saja. Keesokan harinya saya ingin menambah keindahan yang saya rasakan disini diwarnai oleh tawa anak-anak. Iya, tentu saja tawa anak-anak Remban. Ketika di luar sana hangat berita tentang pelecehan seksual terhadap anak-anak yang kabarnya sekolah di sekolah bertaraf internasional. Dengan berbagai modus, kecanggihan berpikir orang-orang jahat. Mengakibatkan anak-anak yang seharusnya mengisi hari-hari mereka bermain sambil belajar, terpaksa mengemban trauma. Namun, disini , di desa Remban, saya masih bisa melihat anak-anak tertawa riang. Bermain sambil belajar dengan cara mereka. Tentu, dengan cara bersahabat dengan alam. Jadilah di hari terakhir saya berada di desa Remban, saya menculik beberapa bocah. Bukan untuk dibuat trauma ya, tapi untuk menikmati bersama betapa indahnya alam yang kami punya, desa Remban. Inilah perjalanan singkat kami, aksi kami si anak-anak Remban.

Hai, kami anak-anak Remban, siap melakukan permainan kecil, permainan di alam kami, desa Remban ^__^
(Dwi, Lia, Citra, Angel, Gesta, Delia)


Sebelum memulai aksi kami, kami rapat kecil dulu


Kami pun sepakat untuk melakukan perjalanan. Mau tahu kemana? Hayoookk ikuti kami


Dengan semangat empat lima, kami berjalan menuju sutau tempat. Semangat nih melewati hutan-hutan..


Gesta berada di depan sekali lalu disusul oleh Delia, pantang menyerah walau jalanan becek


Daaaaaan kami sempat ketakutan, kami pada nangis....kami takut melewati jalanan yang becek, nanti ada ojek. *lho? bukaaan maksudnya nanti ada babi hutan,huhuhuhu


Tapi..kami kembali bangkit setelah disemangati oleh Ayuk Putri


 SEMANGKAAAA...SEMANGAT KAKAAAAA...


Kami melanjutkan perjalanan kami..


Wah semangattt, sudah hampir sampai ke tempat tujuan ^^


Daaan tibalah kami di sungai Rawas, kami langsung turun ke air, disini kami bertemu Kak Kelvin yang lagi mandi. 
Gangguin yuuukkk...


Wah, ternyata kami diserang balik oleh Kak Kelvin. Lariiiii.....


HAHAHA, Kak Kelvin beneran mengejar kami, mana cuma pake celana dalam doang, hhiihh..pasti larinya jadi lebih kenceng. lho? apa hubungannya? :D


Kali ini kami lari terbirit-birit, hingga berderaian air mata.
Kok bisa? apa karena Kak Kelvin tadi ya?
 


Ayuk Putri berusaha mendiamkan kami. 
"Ayuk....tolong pelorotin Kak Kelvin..."
Lho, jadi yang salah celana Kak Kelvin ya? HAHAHA 


 Ternyata ini dia yang membuat anak-anak menangis. Takut dikejar sama mobil pengeruk tanah, hahaha


Kami pun bersatu kembali, merapatkan barisan. Berjanji akan jadi anak yang pemberani.
Tidak akan takut sama mobil pengeruk tanah itu!
Ciayooooo


 Sepakat untuk melanjutkan perjalanan!
Kali ini Kak Kelvin sudah pakai baju dan siap bergabung bersama kami


Mulai berjalan lagi. 
Eitss..  si Angel gaya dulu dong..


Foto dulu yukk..
Delia itu ngapain coba?? 


Horeee....!


Delia main apaaaaa?


Tiba-tiba buka celana


Terus buka baju
Mau ngapain Deliaaaaa? 


Akhirnya beberapa di antara mereka turun ke air tanpa busana. Ngapain? ya mandilah.. 


Duileeee..dua bocah ini berendem, asikk bener. Ayuk Putri mau mandi juga? Hayoo kesini...


Ketika Angel, Delia dan Gesta mandi, Citra dan Lia malah main siram-siraman.


Lalu dapat serangan balik, hahaha


Wah, asiikknyaaaa....


HAHAHAHA, itu si Delia penting banget yaakk berendem gayanya kayak gitu plus sandalnya nggak dilepas lagi


 Selfie dulu ahh...


 Daaan kami berfoto bersama, momen ini captured by Kak Kelvin lho..


Daaaan ini yang capture si Citra.
Ceritanya mereka pada rebutan mau pegang kamera 


:))))



 Smile Smile Smile :)))


Kami kompak!


Giliran Ayuk Putri yang selfie yaaaa :P


Citra dan Lia :")


HAHAHAHA, sungguh Ayuk Putri merasa bersalah atas adanya foto ini :D


Daaan kami bermain di pasir. Kami mau membuat sesuatu lho..


Tapi sebelumnya lompat lompat dulu aahh...


Hap Hap Hap
Ceritanya kami yang nggak mandi mau buat sesuatu di atas pasir 


Ngapain ya?


LIA :)


Ngapain juga nih?


KELPIN
(Pakai 'P' yaaa bukan 'V') 
 

Waduh si Citra, semangat banget yaa..


CITRA :)



Lalu Ayuk Putri buat juga?


Ternyata Ayuk Putri banyak mendapat bala bantuan dari bocah-bocah


Buat apa sih? tuh, sampai si Delia semangat banget..


Kami semua membantu Ayuk Putri mengumpulkan batu-batu kerikil


Daaan inilah hasil karya kami bersama Ayuk Putri :)


Apa perasaan yang punya nama ya? Tulisan namanya dikelilingi gadis-gadis kecil :))


 It's about someone special, that his name always in my mind. Indeed, he never come here, but Remban and all its beauty pick him up to come here, someday!
FATHUR :)



****
Sebuah kabar baik bahwa setiap berkunjung ke desa Remban maka sempatkan diri bermain air di sungai Rawas. Tengoklah, hijaunya rumput, sepoinya angin yang berhembusan melewati sela-sela ranting pepohonan. Begitu membuat kita ingin bermanja-manja dengan keindahan alamnya. Namun kabar buruknya, seolah tak bersahabat, dataran desa Remban justru kian hari kian berkurang. Hal ini diakibatkan terkikisnya daratan pinggir sungai oleh arus air sungai Rawas. Kini, rumah nenek hanya sekitar lima rumah saja berjarak dari bibir sungai. Padahal dahulu ada puluhan rumah yang berdiri kokoh di sekitar sungai Rawas. Maka hal yang saya takutkan adalah, beberapa waktu mendatang entah cepat atau lambat, saya tidak lagi bisa duduk disini, iya disini, di tempat yang sama, di rumah nenek saya, sekedar menuangkan untaian cerita tentang desa ini, tentang apa saja yang saya dapati disini dan bisa saya bagi.


Ini bukan sekedar tempat, cerita, atau proses menghabiskan waktu. Namun ada yang lebih mendalam dari sekedar itu. Bukankah kita semua yang hadir di bumi ini mewakili tanah-tanah dari mana kita berasal. Tanah-tanah yang hasil buminya menghidupi kita, orang tua kita, nenek moyang kita. Bahagia memang bercerita tentang kota, keramaian, bangunan megah dan lain sebagainya. Tapi, sadarkah bahwa ada tanah-tanah yang tidak sekedar ingin dirindukan tapi justru senantiasa merindukan kita. Senantiasa merindukan kita. Yang ketika kita pulang akan menghadiahkan segala keindahannya. Keindahan itu akan selalu kita raih, dengan cara pulang….


Andwilika
Desa Remban, Musi Rawas, 18 April 2014