Kamis, 22 Januari 2015

Kopi Impian

Aku selalu tertarik berdiskusi tentang impian. Lewat impian, seseorang akan merasa hidupnya butuh diperjuangkan. Lewat impian, seseorang akan merasa hidupnya akan lebih hidup.


Bagi ku ada banyak cara menanamkan impian-impian. Impian itu bisa kau pegang erat-erat. Bisa kau tulis di setiap lembar kertas kehidupan. Bisa kau utarakan kepada orang-orang tersayang. 


Aku akan merasa sedih jika seseorang telah meletakkan impiannya di garis tertinggi. Namun seseorang itu hanya berjalan di bawah garis-garis impiannya itu. 


Jika kau adalah seseorang yang memiliki impian dan aku termasuk orang tersayang, mari kesini duduk berdua dengan ku. Membincangkan impian sambil minum kopi. Aku rasa, ini lebih dari sekedar hal menarik.


Ajaibnya, kopi yang menemani kita ini mampu memberikan energi yang luar biasa. Kau akan menjadi lebih kuat. Garis impian itu tidak terlalu jauh, sayang. Tidak terlalu jauh. 


Tiga puluh tahun lagi, ketika kita duduk berdua lagi, berdiksusi lagi, sambil minum kopi lagi, kita akan tertawa. Iya, tertawa. Mimpi yang pernah kau utarakan sudah kau raih. Lalu, aku? Siapa aku? Aku hanyalah seseorang yang menjadi saksi hidup atas keberhasilanmu. 


Someday, you can go somewhere and get something that you really want, with someone you love the most :”)


Andwilika, 23 Januari 2014

Januari

Aku berjalan menyusuri lorong-lorong kecil. Lorong yang biasa aku lewati tak kurang dari delapan belas tahun silam. Perjalanan ku kali ini bukan tidak ada tujuan. Aku ingin bermain dengan memori. Memori masa kecil. 


Di lorong ini, dulu aku sering melihat seorang anak perempuan menggendong adiknya. Sesakali aku juga sering melihat dia memetik bunga di pekarangan rumahnya. Lucunya, untuk menuju ke sekolah ku, aku bisa menempuh jalan lain. Tapi, lorong ini selalu menjadi jalan pilihan ku. 


Ketika aku tidak mendapati anak perempuan itu, tanpa aku sadari aku tertegun sejenak di depan rumahnya. Lalu, ketika suara halusnya terdengar, aku berlari. Ini berlangsung bertahun-tahun hingga aku tidak punya alasan lagi melewati lorong ini. 


Suatu hari aku melewati lorong ini lagi. Aku melihat bangunan rumahnya sudah berubah. Aku menanyakan kepada tetangganya. Ternyata anak perempuan itu tidak lagi disini. Seolah semakin lengkap, aku benar-benar tidak punya alasan lagi untuk melewati lorong ini lagi.


Ah, kau tahu, anak perempuan itu kurang lebih seusia ku. Aku hanya membayangkan wajahnya kini pasti sudah menjelma menjadi perempuan dewasa muda. Jika saja aku punya kesempatan, aku ingin menyapanya. Sungguh ingin menyapanya.


Bodohnya, sebenarnya aku punya banyak kesempatan. Ternyata beberapa kesempatan, aku berada di tempat yang sama dengannya. Akhirnya aku tahu namanya. Perempuan itu bernama Januari. Beberapa kali aku bersanding dengannya. Aku pernah duduk berhadapan dengannya. Aku pernah melihatnya menangis. Aku juga pernah melihat pipinya belepotan sehabis makan es krim. Tapi, aku tidak pernah bisa menyapanya. Bibirku keluh.


Sekarang aku dengar, anak perempuan itu akan segera menikah. Tentu, aku tidak akan bisa bersahabat dengannya seperti yang aku impikan. Bersahabat sepanjang hidup dan mati.


Hari ini, aku melewati lorong ini lagi. Andai aku mendapati seorang anak perempuan itu, aku akan menyapanya. 


"Januari, bersahabatlah. Januari bersahabatlah dengan ku…."


Andwilika, 23 Januari 2014

Misteri Bapak Tukang Jahit




 Kisah ini bermula dari kebingungan saya yang mencari penjahit, yang murah, handal dan bisa selesai cepat. Saya hanya punya waktu kurang lebih satu minggu lagi menjelang pernikahan salah seorang sahabat saya. Akhirnya saya berkeliling kota dengan naik kuda sambil bernyanyi-nyanyi, *ngayal*. Beberapa penjahit yang terkenal dan posisinya mudah dikunjungin pada rame dan antrian pesanan banyak. Saya ga ngerti deh, segitu ramenya ya orang mau nikah, makanya yang jahit kebaya juga rame, loh emangnya urusan kita cin? Wkwk.

Kurang lebih sudah enam penjahit yang saya datangi, akhirnya saya setengah putus asa, maka saya putuskan untuk…… Pulang? Hah, bukan…saya putuskan untuk makan sate. Loh kok makan sate, iyah..abisnya saya kelaperan, hehe. Selesai makan sate, saya menghampiri seorang ibu penjual buah. Saya menanyakan dimana ada penjahit terdekat, dan ibu itu menunjukkan pohon pinang, “nah..di bawah pohon pinang itu ada penjahit..”. Hey, alangkah riangnya langkah saya menuju pohon pinang itu. Sesampainya disana ada dua bapak tua yang menawari jasa jahit. Saya bingung, tapi akhirnya saya memilih bapak tua yang posisinya sebelah kanan biar saya masuk surga. Haha, apa maksudnya? Iya, bukannya kalo yang baik-baik itu sebelah kanan yaakk, hehe. Dan bener, bapaknya baik. Menyambut saya dengan senyum hangatnya. Dan yang paling penting, bisa selesai dalam waktu satu minggu dan harganya murah meriah. Yippy….bahagia tingkat dewa ^^.

Di ujung transaksi ini, ada hal mengejutkan.

“Mba bukan orang sini kan, mba ini kalo bukan orang Palembang, orang Prabumulih..”
“Mba seorang dokter umum yang kerja di rumah sakit kan….”
“Mba pernah naik kereta sendirian kan, dengan memakai masker.”
“Mba duduk di antara anak-anak kecil….”
“Mba mengeluarkan cemilan..”
“Walau saat itu mba pakai masker, tapi detail wajah mba, bapak ingat lho…”

Saya terhenyak…segitu detailnya bapak penjahit ini mengingat saya. Saya membuka lembaran file di memori saya. Ya, memang ada, saya pernah naik kereta pagi sendirian, kereta ekonomi yang duduknya berhadap-hadapan dari Lubuk Linggau menuju Prabumulih. Ya, memang benar ada saya pakai masker dan membawa cemilan. Ya, memang benar ada saya duduk diantara anak-anak kecil yang waktu itu dibawa neneknya untuk liburan. Tapi seingat saya, tidak ada seorang bapak tua yang duduk di dekat saya saat itu. Dan tidak ada saya memperkenalkan diri kepada siapapun, apalagi menyebutkan profesi dan tempat saya bekerja. Tapi si bapak menegaskan, saat itu beliau ada duduk tak jauh dari saya. Dan saya hanya  bisa tersenyum dalam rangka bingung, mikir dan mikir lagi.

Dari kisah ini ada beberapa hal yang kegaringannya bisa jadi catatan dan pelajaran, hehe: (1) Itulah pengaturan Allah, ternyata saya harus berkeliling dan melewati enam penjahit terlebih dahulu baru dipertemukan dengan bapak penjahit ini yang tempatnya tidak terpikirkan, dan ternyata telah mengenal saya sebelumnya. Alhasil, si bapak terlihat segitunya ingin membantu saya. (2) Usia kadang-kadang bikin malu ya, kok si bapak yang jelas jauh lebih tua bisa segitu detailnya mengingat saya, sedangkan saya, hehe. (3) Ini saran sih, kalo cari penjahit ya, kadang kita ikutan yang rame kemana, kita ga pernah tahu kan terkadang ada penjahit lain di pinggiran tapi bagus kerjanya, jadi lebih telaten kerjanya karena orderan ga terlalu banyak dan selesai lebih cepat. Bagi-bagi rezeki lah ya, hehe. (4) Jadi sebenernya bapak ini beneran ada ga sih di kereta waktu itu…… ????