Selasa, 05 Januari 2016

Kisah Bebek (Tanpa) Nasi





Aku ingin punya hati. Seluas hati ayah dan ibu.
Aku ingin selalu pulang. Pulang ke hati ayah dan ibu.

Kisah ini terjadi beberapa hari silam. Ketika saya bertugas jaga malam di sebuah klinik. Seperti biasa kalau ada jadwal jaga malam di klinik, saya selalu mempersiapkan keperluan jaga malam seperti alat-alat pemeriksaan, jas dokter, baju untuk jaga malam, baju seragam kerja (besok paginya saya langsung ke kantor) dan perlengkapan mandi, sholat, dll. Selain mempersiapkan perlengakapan jaga, di waktu makan siang, saya selalu pulang. Saya selalu ingin makan masakan ibu saya sekalipun hanya tumis kangkung dan telor ceplok, hehe. Bagi saya quality time sama ibu saya ya pas makan siang itu. 

Namun, berbeda dengan edisi kali ini. Ketika jam makan siang saya ga bisa makan di rumah. Selain memang ada tugas dadakan. Ayah ibu saya lagi nganterin nanan dan neno umroh. Di kantor, pimpinan mengintruksikan kami buat razia gabungan di sebuah lapas bersama puluhan personil dari polres, dll. Selesai dari razia gabungan tersebut, waktu menunjukkan pukul empat sore dan sudah waktunya jaga klinik. Kalo saya telat dikit aja, pasien pasti sudah banyak yang menunggu. 

Akhirnya masih dengan seragam kantor. Masih dengan sisa-sisa keringat aksi razia tadi. Masih dengan perut keroncongan saya menuju klinik. Seperti biasa pasiennya ramai. Praktis, ketika waktu agak senggang perut saya nyanyi-nyanyi. Keroncongan. Minta diisi nasi, hehe.
Saya nelpon ayah dan ibu ternyata mereka baru sampai rumah dan membawa pesanan saya. Apa? bebek selamet! Yipppyyyy

“Put, tapi Cuma beli bebek…lupa beli nasi”
“Yaaa….masak makan bebek tanpa nasi…”
“tapi ayah ibu baru pulang, belum sempet masak nasi..”

Saya bersungut-sungut kecewa. Membayangkan makan bebek tanpa nasi. Selain minta diantarkan bebek selamet, saya juga minta bawain baju, perlengkapan mandi, sholat, dll. Hingga pukul Sembilan malam ayah saya tak kunjung datang. Badan saya lemes. Perut saya ga keroncongan lagi. Sudah loyo. Lebih kepingin nyanyi melayu, wkwkwk. Lalu saya mencoba nelpon orang rumah…

“Hallo…..aku kelaperaaaaaannn…”
“Astaga…maaf Putri, ayah ketiduran…”

Saya terdiam. Antara laper sama sedih. Eh, tepatnya kombinasi antara laper dan sedih.

……….

Lima belas menit kemudian.

Tok Tok Tok
Ayah masuk ruangan saya, dengan baju setangah basah.
Ayah menerobos hujan (walau sebenernya pake mobil).
Ayah membawakan tas kecil berisi perlengkapan saya dan sekotak makanan berisi bebek.
Ayah ga lama-lama dan langsung pulang.
Muka ayah letih. Tampak sekali.
Dan saya belum sempet mengucapkan terimakasih.
Hati saya masih fokus sama bebek tanpa nasi.

……

Lima menit kemudian saya minta temenin sama bidan klinik buat beli nasi putih.
Di luar hujan.
Kami menerobos hujan dengan payung pelangi. Payung warna warni.
Sepulangnya dari beli nasi putih.
Saya makan malam bersama bidan klinik. Hati saya sudah mulai lumer karna kebayang makan bebek sama nasi. Tapi dalam hati menyesalkan kenapa ayah cuma beli bebek.

Dan…
Ketika saya membuka kotak bungkusan bebek itu.
Mengejutkan.
Saya melihat nasi putih.
Bebek tidak tanpa nasi.
Bebek ditemani nasi.

Dan…
Ayah dan ibu ternyata berusaha mencari nasi.
Jelas itu bukan nasi yang baru dimasak.
Ayah dan ibu pasti telah mencarikan nasi untuk menemani bebek saya.

Dan…
Betapa saya tidak bersyukur.
Dalam hati saya menangis.
Dari hal kecilpun ayah dan ibu megusahakan yang terbaik yang mereka bisa.
Ayah dan ibu hatinya terlalu luas.
Ayah dan ibu membuat saya ingin selalu dan selalu pulang ke hati mereka.

***
Kutipan dari seorang atasan,

“Begitulah orang tua Putri, mereka akan selalu mengusahakan yang terbaik walau dalam hal terkecilpun. Anak-anak boleh jadi melakukan penolakan, rejection untuk apa yang orang tua berikan, tapi sesungguhnya di lubuk hati yang terdalam setiap manusia menginginkan disayang…diperhatikan…oleh orang yang juga mereka sayang…”

“paham?”

Aku manggut-manggut. Tertunduk.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar