Selasa, 04 Agustus 2015

Cerpen: Nasihat Kakek Aruy





Pagi ini aku harus segera berangkat. Semua keperluan telah disusun rapi oleh ibu dalam sebuah tas ransel. Tak lupa pula ibu menyisipkan sebungkus sambal tempe kering andalannya. Kata ibu, sambal tempe itu selalu bisa menjadi obat, kalau tidak obat rindu ya jadi obat lapar. Oh ya satu lagi, bisa juga menjadi obat kantong kering kalau aku dalam keadaan lapar tapi tak punya uang. 

“Syahdan…sebelum berangkat, jangan lupa mampir ke rumah Kakek Aruy. Orang tua itu jangan kau lupakan, mungkin ada hal-hal yang bisa kau jadikan bekal…”, ujar ibu sambil menyerahkan tas ransel dan jaket kepadaku, lalu mencium dahiku. Wajah ibu masih sembab, setelah semalaman menangis karena keberatan atas keputusanku dan akhirnya berani melepaskan aku untuk pergi merantau. Aku memeluk ibu, erat. Pelukan hangat inilah yang pasti sangat aku rindukan, selain sambal tempe kering andalannya. Aku membalas kecupan ibu. Ku balas berkali-kali malah. 

“Anak keras kepala, jaga diri baik-baik…”

Itulah pesan dari ibu. Usai pamitan dengan ibu, aku segera melangkahkan kaki. Aku tahu hingga jarak puluhan meter, sejauh mata ibu masih bisa memandangku, ibu pasti masih berdiri di bibir pintu. Aku sama sekali tidak menoleh. Ibu terlalu aku sayangi, mana mungkin aku kuat melihat wanita yang paling aku sayangi menangis. 

Lalu aku singgah di sebuah rumah tua sederhana. Aku disambut oleh rerumputan yang hijau, pohon mangga dan jambu air yang secara kompak tengah berbuah. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara dari atas pohon.

“Hey anak muda!”

Aku terkejut, ternyata kakek Aruy yang lagi bertengger di salah satu cabang pohon mangga. 

“Sambut ini!” seraya melempar tiga buah mangga secara bertubi-tubi. Dengan sigap aku menyambutnya. Orang tua itu turun dengan lincah, seolah usianya tak lagi tua. 

Baiklah, akan aku ceritakan sekilas tentang sosok Kakek Aruy. Saat aku baru lahir, Kakek Aruy berusia enam puluh. Kakek Aruy baru pulang naik haji. Ketika orang sibuk menyambut beliau, di rumahku sedang ramai menyambut kelahiranku. Jadilah kampung kami berbahagia, menyambut yang pulang haji dan yang baru lahir. Kakek Aruy yang memberikan nama untukku, Syahdan. Sejak naik haji Kakek Aruy menetap di kampung dan menghabiskan masa tuanya disini. Jadi, kalau ditanya sudah berapa lama Kakek Aruy menghabiskan masa tuanya disini, ya kurang lebih seusiaku, tujuh belas. Bahkan hingga beliau menutup mata. Itu janji beliau. 

Kakek Aruy meletakkan pisau di meja, menyiapkan sebuah piring. Jadilah aku dan Kakek Aruy menyantap mangga segar yang baru Ia petik tadi. Kakek Aruy tersenyum lebar melihatku dengan membawa tas dan jaket. Kakek Aruy pasti tahu sekali aku akan kemana. 

“Ibumu pasti tahu, kakek tua ini yang meracunimu kan anak muda?” Tanya beliau sambil terkekeh. Aku tesenyum, mengangguk. 

“Tapi ibumu tetap akan menurut kalau racun itu datangnya dari kakek tua ini…haha”

Aku mengupas mangga dan mengirisnya menjadi bagian kecil. Manis. Mangga ini yang katanya ditanam tepat waktu aku lahir, jadi usianya sama dengan usiaku. 

“Anak muda, bagaimana tadi waktu ibumu melepasmu?”

“Aku masih dibilang anak keras kepala, tapi ibu masih memelukku dan membekaliku sambal tempe kering andalannya.” Aku menjawab lugas

“Haha..ya begitulah seorang ibu, terkadang kita bingung mana marahnya dan mana kasih sayangnya. Tapi tenanglah Syahdan, wanita itulah yang akan memudahkan langkahmu kelak. Kau baik-baik saja disana, doa ibumulah yang nanti akan memberikan kejutan-kejutan. Kau bisa disebutnya anak keras kepala, tapi setelah itu bibirnya tak henti mengucap semua kebaikanmu dan untuk kebaikanmu.”

Aku terdiam. Masih terbayang wajah ibu yang tadi aku tinggalkan. Aku seperti egois, meninggalkan ibu sendirian di rumah, di kampung ini, sedangkan aku ingin pergi merantau. Menguji coba nyali. Mencari peraduan nasib di ibu kota. Tapi tak bisa dipungkiri, tentang kisah petualangan anak muda yang diceritakan Kakek Aruy minggu lalu begitu meracuni aku. Membecutku sehingga ingin melangkahkan kaki juga. 

“Anak muda, selain bekal sambal tempe kering andalan ibumu, kakek tua ini juga punya bekal untukmu. Hanya bekal berupa ocehan-ocehan yang semoga ada sisi yang dapat kau pikirkan, kau jadikan pemahaman hidup yang sederhana. Kau akan menemui banyak orang, menemui banyak hal. Itu yang akan membuatmu kaya. Hidup itu amat sederhana, kita manusialah yang kadang membuatnya rumit. Kau jalani saja baik-baik hidupmu, ini prinsip, jika kau tidak bisa memberi minimal tidak meminta. Jika tidak menjadi bagian terdepan untuk memperbaiki minimal tidak menjadi barisan yang merusak. Lebih banyaklah mendengar daripada berbicara. Menjawablah apa yang ditanyakan. Dan yang paling penting jangan pernah mengambil yang bukan porsi kehidupanmu. Beranilah berkata tidak untuk hal yang kau yakini benar. Selalu pahami, bahwa selalu ada alasan mengapa begini dan mengapa begitu. Mungkin nanti seiring bertambah usiamu, ada banyak hal yang sudah kau raih, Syahdan. Tapi tetaplah, pencapaian yang melekat erat dalam diri kamu yang terpenting. Yang tidak bisa direbut orang, yang tidak bisa disita negara, yang tidak habis dimakan waktu. Apa itu? Semua ada di kepala dan dalam hatimu, Syahdan. Tentang pemahaman hidup yang baik.”
Aku terdiam. Menyerap semua kalimat Kakek Aruy. Aku masih belum terbayang. Kakek Aruy sepertinya paham dengan melihat ekspresi wajahku.
“Ah, kau pasti masih bingung. Haha, tidak apa Syahdan. Mungkin bukan hari ini, tapi esok lusa kau pasti akan paham.”
Masih ada satu pertanyaan lagi yang masih ingin aku tanyakan, tapi aku ragu-ragu.
“Hmm..kakek, boleh aku bertanya?”
“Ya, silahkan…” Mata Kakek Aruy memicing. Menyelidik, seolah tahu arah pertanyaanku.
“Siapa anak muda yang berpetualang menemani kakek yang kakek maksud itu?”
Seolah aku membidik anak panah dan kali ini tepat sasaran. Kakek Aruy, mengusap rambutnya yang memutih. Lalu, jemarinya erat saling menggenggam satu sama lain.
“Aku sudah menunggu pertanyaan ini anak muda!”
Aku tersenyum. Memang sejak Kakek menceritakan kisah petualangan itu, sosok itu membuat aku penasaran. Aku sangat ingin mengetahui siapa sosok itu.
“Dialah ayah dari ibumu, Syahdan. Dialah yang menemani petualanganku, hingga akhirnya dia meninggal dunia. Benar adanya jasadnya tidak kami temukan, ah..bukan, tidak kami temukan tapi kami persembahkan untuk laut yang kami arungi. Orang-orang kampung mengira dia mati dimakan binatang buas di hutan. Bahkan ibumu saja tidak mengetahui ini. Ini janji ku dengannya dan dialah meminta kisah ini hanya boleh diceritakan kepada keturunannya. Oleh karena itulah, ketika kau lahir, sepulang haji aku langsung datang ke rumahmu. Syahdan itu titipan nama dari kakekmu.”
Aku terhenyak. Aku tidak menyangka sosok yang aku kagumi. Yang diceritakan Kakek Aruy minggu lalu adalah kakekku sendiri. Kematiannya yang disembunyikan seolah menjawab semua pertanyaanku selama ini.
“Terimakasih Kakek Aruy.”
“Ya, Syahdan..sudah waktunya kau berangkat.”
Aku bangun dari kursi rotan di pekarangan rumah Kakek Aruy. Kakek Aruy memelukku dan menepuk pundakku.
“Berpetualanglah anak muda!”
Aku tersenyum.
Tiba-tiba Kakek Aruy melepas pelukannya, dan bertanya, “Hey, apakah sudah ada gadis yang membuatmu jatuh cinta?”
Aku terkejut.
“Ah sudahlah, itu tidak penting. Yang terpenting adalah dimanapun kau berada, jangan pernah membuat hati seorang perempuan terluka, jangan pernah membuat golongan ini menangis. Pemahaman hidup yang baik yang aku maksud tadi sepaket dengan tidak membuat golongan ini menangis. Karena dari golongan inilah asal muasal kehidupan dan Tuhan juga menganugerahkan surga lewat golongan ini.”
Aku mengangguk. Dengan masih membayangkan wajah ibu.
Aku berangkat. Kakek Aruy yang melepasku dan memberi energi yang luar biasa.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar