Jalan-jalan
sore. Naila bersama Amiq.
Mencari sisi
terindah sudut kota. Senja.
“mataharinya
bagus…” Naila membuka kaca mobil.
Amiq
mengeluarkan kameranya. Menghidupkan dan mengatur pembukaan lensa, pencahayaan
dan apasaja.
Amiq lebih paham semuanya.
Naila hanya bisa
memotret alakadarnya. Tapi cintanya dengan fotografi, cinta cinta sekali.
Amiq mengambil
foto matahari tenggelam.
“mataharinya
bagus..” Amiq.
“iya mataharinya
bagus..” Naila.
“matahari ga
hanya bagus tapi baik. Baik sekali..”
“oh ya?”
Amiq menarik
nafas. Matanya menatap jauh ke arah matahari yang mulai tenggelam. “matahari
selalu tepat janji. Sore ini Ia pergi, besok pasti datang lagi. Pasti”
“Matahari ga
pernah ngambek ya sama bumi. Seburuk apapun bumi. Makhluk-makhluk bumi
maksudnya, matahari ga pernah pergi”
Amiq mengangguk.
Amiq menoleh ke
arah Naila, “kalo ada soal pilihan ganda ditanya kamu mau jadi apa? a. bulan b.
bumi c. matahari”
“MATAHARI”
“yakin mau jadi
matahari?”
Naila
mengangguk.
“Aku ingin punya
hati yang luas, bisa tepat janji, selalu memaafkan dan selalu datang lagi lagi
dan lagi. Ga pernah pergi”
“yakin mau jadi
matahari?” Amiq bertanya lagi.
“ehh..tapi lebih
ingin lagi dicintai oleh matahari. Selalu ditepati janji, selalu dimaafkan, dan
selalu didatangi lagi lagi dan lagi. Ga pernah ditinggal pergi”
“Mataharinya
sudah hilang. Mari kita pulang. Besok matahari pasti datang lagi. Kita juga
datang lagi, mengambil foto matahari lagi. Kita sama-sama belajar jadi
matahari. Hmm.. besok mau nemenin aku ngambil foto matahari lagi?”
Naila
mengangguk. Setuju.
“janji mau
nemenin aku lagi?”
“Janji. Janji
matahari..” Naila mengikat dua kelingkingnya tanda berjanji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar