Senin, 13 Agustus 2012

Aisyah, #Bolu Hijau Cinta di Hari Raya Idul Fitri

Hari ini, satu hari menjelang Hari Raya Idul Fitri, tetap sama indahnya, sama ramainya, sama meriahnya, sama pikuknya seperti hari raya sebelum-sebelumnya. Remaja putri kesana kemari lalu lalang dengan selendang membalut kepala dan membawa tingkat, ada yang tiga tingkat, empat tingkat, bahkan ada yang lima tingkat. Jelas saja harus bertingkat-tingkat karena isinya haruslah beragam, ketupat, rendang, sambal kentang, dan tumis buncis. Kalau-kalau ada lebih beberapa macam juada bolehlah juga disisipkan. 

Remaja putri yang lalu lalang membawa tingkat tampak riang, banyak canda tawa dan saling sapa diantara mereka ketika saling berpapasan dijalan. Mengapa harus remaja putri yang mengantarkan tingkat? Lalu diantarkan kemana pula tingkat itu?. Jelas saja, remaja putri dianggap kembang yang ada di rumah, senyumnya dan sapanya membuat syahdu. Ini memang sudah jadi budaya, sehari menjelang hari raya setiap rumah akan mengirim utusan (anak gadis) mereka mengantarkan tingkat ke rumah sanak, dimulai dari petua kampung, lalu sanak-sanak yang usianya lebih tua, tentunya sanak saudara terdekat terlebih dahulu, tapi tidak menutup kemungkinan bukan keluarga namun besan atau calon besan yang nantinya juga akan jadi keluarga. Anak gadis yang diutus pun biasanya haruslah bersolek namun tak boleh mencolok. Sang Ibu akan mendandani anak gadis mereka dengan selendang tercantik yang ada di rumah mereka. Anak gadis dianggap kebanggaan, teramat siallah kalau ada rumah yang tidak memiliki anak gadis, tentu saja Ibu di rumah tersebut yang langsung akan turun dan pergi kerumah-rumah sanak untuk mengantarkan tingkat. Seorang ibu yang tidak memiliki anak gadis dianggap masih cantik sekalipun usianya menginjak lima puluhan, hal ini disebabkan paradigma masyarakat kampung jikalau tak punya anak gadis berarti kecantikan sang ibu tidak diturunkan, beda hal dengan seorang ibu yang punya lima anak gadis berarti kecantikannya diwariskan kepada lima anak gadisnya, paling banyak pada anak pertama, turun lagi ke anak yang kedua, dan seterusnya. Anak gadis boleh ikut mengantar tingkat ketika menginjak usia sekitar tiga belasan atau sejak mendapat datang bulan pertama kali, dianggap sangat cantik pada usia tujuh belasan dan berhenti ketika menginjak usia dua puluh satu.
Sudah jadi biasa kalau isi tingkat adalah ketupat, rendang, sambal kentang, dan tumis buncis. Tapi kali ini beda, untuk anak gadis satu ini beda, ada satu loyang bolu hijau yang selalu meyertai, bolu hijau cinta namanya.

 
Begitulah budaya yang masih hangat terjaga, disebuah kampung, Kampung Aruy namanya, di sisi perbukitan Andas.
***
Pagi ini suasana rumah sangat sibuk, mamak tampak sibuk dengan penggorengannya, goreng emping, kesukaan bapak. Aina, anak gadis ke dua dirumah ini tengah sibuk menyusun tingkat yang akan dikirim kerumah-rumah sanak, sedangkan Aliya anak gadis termuda di rumah ini sedang keluar mengantar tingkat kerumah sanak yang ada disebelah barat rumah. Kenapa harus Aliya yang mengantar tingkat kenapa tidak pula Aina? Jelas saja, sekarang usia Aliya delapan belas sedang cantiknya menurut warga kampung sedangkan Aina dua puluh lima, sudah pensiun mengantar tingkat sejak hari raya empat tahun silam. Lalu kemana anak gadis sulung di rumah ini? Tentu tidak sedang mengantar tingkat kan? Aisyah, anak sulung di rumah ini tidak sedang mengantar tingkat karena usianya kini dua puluh delapan, sudah pensiun sejak hari raya tujuh tahun silam. Tidak juga sedang sibuk mengerjakan sesuatu, tapi duduk termenung di balik kaca jendela kamar memandang halaman rumah, pohon-pohon diseberang, jalanan yang ramai, ramai dengan remaja putri lalu lalang.
Pagi ini Aisyah hanya duduk di pinggir jendela kamar. Mamak menyuruh Aisyah istirahat saja, mungkin saja lelah karena baru kemarin sore tiba dari kota Dung. Tapi sebenarnya Aisyah tidak begitu lelah, buktinya kemarin sore sesampainya di rumah Aisyah langsung membuat bolu hijau, bolu yang sudah tidak pernah dibuatnya sejak tujuh tahun silam. Entah kenapa tiba-tiba Aisyah ingin membuat bolu hijau yang diatasnya dilumuri keju dan disudutnya bertengger stroberi segar yang biasanya di petik dari kebun stroberi wak Ical di bukit Andas.
Suara mamak menyeruak, memecah keheningan kamar, ”Aisyah..bolu hijau belum dihiasi dengan buah stroberi, nanti kau berangkatlah ke bukit, minta buah stroberi sekalian betandang ke rumah wak Ical, ajaklah Aina, tak enak kalau besok lusa Burhan datang bolu yang kau tengah kan polos, kurang cantik”.
Aisyah senyum, “iya mak..”.
Mungkin dikira mamak bolu hijau ini untuk Burhan, pemuda yang akan datang dengan keluarga besarnya besok lusa, hari raya kedua. Mamak paham kalau Aisyah akan membuat bolu hijau hanya untuk anak bujang orang yang berhasil menarik hatinya. Tapi apa Burhan bisa? Entahlah sebenarnya mamak juga tidak tahu pasti.
Aisyah berangkat dari duduknya, menarik selendang merah mudanya, selendang yang selalu betah dikepalanya, selendang yang sering dikenakannya ketika masih disuruh mamak mengantar tingkat ke rumah sanak. Selendang itu tetap masih cantik, masih bagus karena memang itu selendang tercantik dan terbaik yang dimiliki mamak.
“Aina, temani kakak dulu ya ke bukit, kita betandang ke rumah Wak Ical minta buah stroberi, sepulangnya dari sana nanti kita bereskan tingkat-tingkat ini sekalian kita antarkan juga ke rumah sanak”, seru Aisyah begitu semangat.
“hha..apa pula kakak ini, apa kata tetangga kalau kita yang bawa tingkat, kita sudah habis masanya kak”, balas Aina. Keduanya saling tertawa seolah itu lelucon, padahal sama sekali bukan lelucon, mereka sudah terlalu tua untuk menjadi gadis, itu pandangan warga Kampung Aruy.
***
Hari ini ramadhan ke dua puluh tujuh, ketika Aisyah berumur delapan belas. Sore ini Aisyah akan pergi ke bukit ke rumah Wak Ical sekalian minta buah stroberi karena besok Aisyah akan membuat bolu hijau. Aisyah tidak ditemani Aina ataupun Aliya, Aisyah ditemani Faiz.
Alfarizi namanya tapi sejak kecil akrab dipanggil Faiz. Aisyah dan Faiz berteman sejak usia mereka enam belasan namun sudah saling kenal sejak usia enam tahun, menjelang masuk SD dan sering ngaji bersama di surau.
Sore ini Faiz pulang dari pasar kecamatan dengan sepeda motor bututnya. Faiz membeli keju untuk Aisyah, tapi kali ini Faiz telat setengah jam. Ini akan membuat Aisyah marah, “Faaaiizzzz....apa pula kau ini selalu datang terlambat kalau berjanji denganku” teriak Aisyah dari kejauhan, keduanya masih berjarak dua puluhan meter, tapi Aisyah sudah merangrang ingin marah.
Faiz menyerahkan kantong kecil berisi sebungkus keju yang dibelinya dari pasar kecamatan. Mengapa harus beli di pasar kecamatan? Jelas saja, Kampung Aruy tidak ada yang menjual keju, masih asing bagi warga kampung Aruy, rasa seperti susu tapi tidak berupa cair.
“Maaf aku datang terlambat”, Faiz merasa bersalah.
“Iya, aku sudah paham, seperti biasa kau akan datang terlambat”, Aisyah masih sebal dan tidak ingin meluncurkan senyum dari bibirnya, pelit sekali, terlalu berharga senyum untuk lelaki yang sering datang terlambat seperti Faiz.
“Iya, aku memang sengaja datang terlambat, aku ingin liat kau marah, aku bisa demam malam ini, kalau tak liat kau marah hari ini, karena kalau kau marah justru tampak cantik”,  Faiz menggoda Aisyah.
“aahh..apa pula kau ini Faiz, sudah bersalah masih saja ingin menggombal”, Aisyah memalingkan mukanya, senyum ditahan, malu kalau Faiz melihat senyumnya.
“Tapi kau masih akan membuatkan aku bolu hijau cinta kan?”, Faiz semakin menggoda, “aahh...ayo secepatnya kita ke bukit, nanti keburu Wak Ical pergi ke surau mumpung ini belum waktunya sholat Ashar”, Aisyah berlari-lari kecil menuju bukit, Faiz pun berlari-lari kecil mengejar Aisyah. Gadis cantik yang berkaki mungil ini kalau lari susah juga dikejar, Faiz susah sekali meraihnya, sama susahnya untuk meraih cintanya.
Begitulah Faiz dan Aisyah selalu ke bukit menjelang hari raya, terhitung sejak mereka berusia enam belasan, sejak Aisyah bisa membuat bolu hijau, dan terhenti ketika Aisyah berusia dua puluh dua. Mengapa berhenti? Jelas saja, masa anak gadis mengantar tingkat ke rumah sanak sudah habis, tapi bukan itu alasan pastinya. Entahlah semua Aisyah yang tahu. 
***
Aisyah dan Aina berangkat ke bukit. Aisyah dengan selendang merah muda, kata mamak Aisyah cantik dengan selendang merah muda, warna seperti jambu air di halaman rumah, manis rasanya tak begitu tajam, berair tapi tak begitu basah. Aina dengan selendang biru muda, juga cantik kata mamak seperti langit tanpa awan tanpa mendung, cerah. Sedangkan Aliya disana yang sedang kesana kemari kerumah sanak dengan selendang hijau muda, juga cantik kata mamak, seperti pucuk daun teh, sedang hijau-hijaunya sama dengan usianya yang delapan belas.
Keduanya meniti alur jalan menuju bukit, tidak begitu jauh cukup menghabiskan dua puluh menit. Diperjalanan menuju perkebunan Wak Ical, Aina mencoba mengajak berbincang kakaknya, perbincangan yang semalam sempat menggantung.
“Kakak ingin menyudahi masa lajang kakak bersama kak Burhan bukan karena Aina ingin melintasi kakak kan? Karena kakak benar mencintai Kak Burhan kan?”, pertanyaan Aina seolah  menembakkan anak panah tepat pada titik tengah, menancap tajam.
Aisyah sempat terdiam, memilih kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan adiknya.
Cerita singkat:
Aina sudah lulus kuliah dua tahun lalu dan bekerja di sebuah laboratorium klinik swasta di kota Dung. Aina sudah hendak dipinang tahun depan oleh teman lelakinya, sama kuliah dibidang sains di institut ternama di kota Dung. Aina akan dipinang oleh teman kuliahnya, sama-sama berusia dua puluh lima, sudah mapan sebab sejak kuliah teman lelakinya yang bernama Rully aktif mengikuti proyek ilmiah dari fakultas dan mengikuti berbagai riset yang didanai dengan jumlah yang lumayan, jelas saja kalau Aina menikah dalam waktu dekat sudah siap secara umur dan finansial. Rully mendesak Aina untuk menikah tahun depan karena Rully akan berangkat ke Jerman untuk melanjutkan kuliahnya, sekarang tengah mengurus beasiswa dan supervisornya. Lalu bagaimana dengan Aisyah? Aisyah sekarang berusia dua puluh delapan dan bekerja sebagai pimpinan di salah satu bank swasta ternama di kota Dung. Memang sederhana penampilannya tapi siapa sangka gadis berbalut selendang merah muda ini adalah seorang pimpinan sebuah bank. Aisyah dikenal cerdas dan dinamis oleh karena itulah sejak lulus kuliah dengan nilai cumlaude Aisyah diterima bekerja dan memiliki progres yang bagus. Dua tahun bekerja sudah diangkat sebagai pimpinan cabang dan setahun lalu diangkat sebagai pimpinan pusat di kota Dung. Namun semenjak lulus kuliah dan memutuskan hubungannya dengan Abi (saat itu Aisyah berusia dua puluh tiga), teman lelakinya satu kuliah di bidang ekonomi, Aisyah tidak menjalin hubungan dengan lelaki manapun, padahal banyak lelaki kaya dan tampan yang hendak melamar Aisyah, padahal mamak dan bapak juga sudah sering menyuruh secepatnya menikah karena ingin menimang cucu, padahal warga kampung sudah banyak yang berbisik sana-sini menyebutnya gadis tua. Entahlah semua itu seperti tidak diperdulikan oleh Aisyah. Namun mendadak dua hari menjelang kepulangannya ke kampung karena baru dapat cuti dari kantor, Aisyah meminta izin dengan bapak untuk menerima kedatangan Burhan dan keluarga besarnya ke rumah di hari raya ke dua. Untuk apa? Jelas saja, untuk melamar Aisyah. Siapa pula Burhan itu? Lelaki dewasa berusia tiga puluh tiga, pimpinan bank pusat ibukota yang sudah dua bulan terakhir berusaha meraih cinta Aisyah.
“Perempuan kodratnya dicintai Aina, lalu seiring waktu belajar untuk mencintai. Sebagaimana perasaan cinta itu datang tergantung kekuatan dan perjuangan sang lelaki. Kakak kenal Burhan lelaki baik-baik, seiman, pekerja keras, bertanggung jawab dan bisa membimbing kakak dunia dan akhirat. Itu saja cukup, biarkan waktu yang membuat kakak mencintai dia.” Jelas Aisyah tegas.
“Aina senang kalau kakak sudah bulat. Aina mengenal kakak, kakak belum pernah memiliki perasaan dan tekat yang bulat dengan seorang lelaki setelah kakak berpisah dengan Kak Faiz dan mengenal Kak Abi, lelaki ibukota itu. Aina juga takut kakak terdesak menerima lamaran Kak Burhan karena mendengar Aina akan dilamar oleh Rully”, Balas Aina yang merasa bersalah.”Dan Aina tidak akan menikah sebelum kakak menikah, tapi menikah dengan hati yang luas bukan dengan keterpaksaan”.
“Jangan Aina, kalau jodohmu sudah dekat itu karena Allah memang sudah merencanakannya, itu pasti yang terbaik. Tidak ada yang salah, ini hanya masalah budaya”, Aisyah berusaha membujuk adiknya.
Aina memeluk erat Aisyah, pelukan erat sang adik, sama eratnya ketika masih kecil setiap Aina ada masalah, namun pelukan ini memang sudah lama tidak ada sebab keduanya sudah sibuk dengan karir masing-masing.
Sampailah mereka di bukit Andas, dihalaman perkebunan stroberi wak Ical. Kebun ini masih indah, sama indahnya seperti dulu. Tapi untuk menuju kesini Aisyah tidak perlu dikejar-kejar oleh seorang lelaki, lelaki itu sudah lelah mengejar Aisyah, sama lelahnya menunggu cinta Aisyah.


***
 Hari menjelang senja, pukul lima sore sekarang, berarti satu jam lima belas menit lagi takbir akan dikumandangkan. Tidak salah lagi besoklah hari raya Idul Fitri dan lusa Burhan dan keluarga besarnya akan bertandang ke rumah menemui mamak dan bapak. Bolu hijau sudah terhias cantik, stroberi dari kebun Wak Ical sudah duduk manis disetiap sudut bolu hijau. Apalagi yang kurang, masih ada satu tingkat lagi yang belum diantar. Diantar kemana? Ke rumah Wak Aziz di sebelah timur rumah, itu adalah rumah Faiz, rumah yang sejak tujuh tahun silam tidak pernah lagi mendapat kiriman tambahan selain tingkat yang berisikan ketupat, rendang, sambal kentang dan tumis buncis. Tidak pernah lagi mendapat bolu hijau, bolu hijau cinta biatan gadis cantik, Aisyah.
“Mamak izinkan Aisyah mengantarkan tingkat ini ke rumah wak Aziz”, mata Aisyah berkaca-kaca meminta kepada Ibu yang melahirkannya, seolah ini permintaan besar.
“Jangan nak, apa kata warga melihat mu mengantar tingkat ini ke rumah Pak Aziz”, Mamak berusaha menahan Aisyah.
“Tolonglah mak, Aisyah minta mak..apapula dasar gadis seperti Aisyah tak boleh mengantar tingkat. Aisyah belum pernah dengar di Al-Qur’an maupun hadits, tolonglah mak..mungkin ini permintaan Aisyah yang terakhir, setelah itu Aisyah akan menikah mak, Aisyah tak akan ada mengantar-antar tingkat lagi kan?”, isak tangis Aisyah pilu membuat mamak tak tahan menolak, Aina dan Aisyah yang melihat saat itu terisak menahan tangis, melihat sang kakak membuncah meledakkan tangisnya yang sudah tertahan lama. Untung saja bapak sedang keluar pergi ke surau ketika azan ashar tadi, entah apa reaksi bapak kalau melihat Aisyah menentang budaya kampung yang bisa mempermalukan itu.  
Mamak membalut kepala Aisyah dengan selendang merah muda, selendang tercantik dan terbaik yang dimiliki mamak. Kali ini wajah Aisyah sayu, begitu sedih, berbeda ketika pertama kali mamak membalutkan selendang merah muda itu pertama kali ketika Aisyah berusia tiga belas, bgitu ceria, dan lebih ceria lagi ketika Aisyah berusia enam belas, ketika Aisyah baru bisa membuat bolu hijau, bolu hijau cinta.
Kali ini Aisyah akan pergi mengantar tingkat. Meski melawan janji kampung bahwa anak gadis lebih dari usia dua puluh satu tak boleh lagi mengantar tingkat, meski melawan janji Faiz,
“Berjanjilah untuk tidak mencari aku lagi”
***
Aisyah berusia dua puluh satu, sore ini akan mengantar tingkat ke rumah Wak Aziz, itu rumah Faiz. Wak Aziz adalah guru ngaji di surau sebelah timur rumah Aisyah. Masih kecil Aisyah juga sering belajar mengaji dengan Wak Aziz tentu bersama Faiz, Aina, dan anak-anak kampung lainnya. Saat itu mamak tengah mengandung Aliya.
Seperti biasa tingkat yang berisi ketupat, rendang, sambal kentang, dan tumis buncis, tak lupa ditambah seloyang bolu hijau, bolu hijau cinta. Tapi kali ini Aisyah tidak begitu riang seperti hari-hari raya idul fitri sebelumnya, ada yang beda tahun ini. Faiz dan Aisyah sudah jarang berkomunikasi, Faiz sibuk dengan studinya begitu pula dengan Aisyah. Namun itu tak jadi masalah, hal lain yang mengganjal adalah Aisyah tengah dipikat hatinya oleh pemuda ibukota, Abi namanya. Faiz yang saat itu bingung dengan permasalahan studinya, diperberat pula oleh Aisyah dekat dengan pria lain, merasa harus menyelesaikan permasalahannya satu persatu, sehingga menyudahi dulu hubungannya dengan Aisyah. Begitupun Aisyah yang tengah dekat dengan Abi, pemuda ibukota seolah ringan untuk berpisah dengan Faiz karena pesimis Faiz akan pergi ke luar negeri melanjutkan studinya, akan lebih susah melanjutkan hubungan mereka.
Sore itu Faiz masih bisa senyum menerima bolu hijau cinta dari Aisyah, namun tak seindah tahun-tahun sebelumnya.
“Kalau bolu hijau ini datang hanya untuk sebagai harapan palsu aku harap jangan ada lagi bolu hijau di hari-hari raya berikutnya. Bagaimana bisa aku menunggu seorang gadis yang disampingnya ada lelaki lain. Kalau memang lelaki itu jauh lebih baik semoga dia bisa menjaga mu disini dan aku harap jangan cari aku lagi, aku tak bisa menjadi sekedar teman biasa untuk mu, mana mungkin bolu hijau cinta ini bisa jadi bolu hijau biasa”, jelas Faiz, suaranya parau menahan sesak dikerongkongannya.
“Lalu bagaimana jika aku masih merindukanmu?”, tanya Aisyah dalam isak tangisnya. Faiz hanya diam menahan butiran yang menetes dari sudut matanya. Diam seribu bahasa. Aisyah tak tahan lalu berlari pulang, berlari dibawah rintikan hujan seolah menemani tangisnya. Selendang merah muda sejak saat itu tak pernah lagi dikenakannya, habis masanya mengantar tingkat, habis masanya membuat bolu hijau cinta, sepotong hatinya sudah ada pada Abi pemuda ibukota. Faiz yang begitu terekam jelas dimemorinya menghilang sejak saat itu, bahkan ketika hari raya tiba Faiz tidak pernah lagi pulang ke Kampung Aruy. Terdengar kabar Faiz mendapat beasiswa ke luar negeri, di negara mana wak Aziz tidak mau menyebutkan, katanya Faiz yang melarang mengumbar berita itu, bahkan kapan pulang pun Wak Aziz tidak mau menyebutkan. Mungkin Faiz akan pulang ke Kampung Aruy setelah Faiz sudah menikahi seorang perempuan dan akan diperkenalkan dengan keluarganya dan keindahan kampung Aruy.
***
Aisyah berlari dibawah rintikan hujan, berlari menuju rumah Wak aziz dengan membawa tingkat dan seloyang bolu hijau cinta, masih bolu hijau cinta tidak berubah menjadi bolu hijau biasa. Kalau dulu ketika berlari dibawah rintikan hujan, pulang dari mengantarkan tingkat dan bolu hijau cinta yang terakhir untuk Faiz boleh jadi dia bersedih dan pesimis tapi kali ini semangat membuncah di sudut hatinya, semangat yang diablut rindu, membeku selama tujuh tahun dan buyar saat ini, tak mampu ditahan lagi. Kalau-kalau Faiz pulang di hari raya idul fitri kali ini Aisyah akan sangat senang, lalu bagaimana kalau Faiz pulang justru membawa perempuan yang sudah dinikahinya atau bahkan disertai anak kecil hasil buah cinta mereka. Pikiran Aisyah melanglangbuana, tapi kali ini Aisyah tidak memperdulikan pikirannya itu. Tapi kalau memang itu yang terjadi setidaknya Aisyah mempersembahkan bolu hijau cintanya yang terakhir menjelang pernikahannya. Aisyah masih semangat, kakinya melangkah riang, sama riangnya ketika Aisyah berusia enam belas, baru bisa membuat bolu hijau cinta, untuk lelaki yang disayanginya, Alfarizi.
Sesampai di rumah Faiz, Aisyah terdiam, suasana tampak sepi. Ibu Faiz menyambut Aisyah dengan terheran-heran, melihat anak gadis yang dulu rajin mengantar tingkat dan bolu hijau cinta basah diguyur rintikan hujan.
“Masuklah Aisyah, kemari..biar ibu menghangatkan mu dengan handuk”, Ibu Faiz sama ramahnya seperti dulu, keibuan, membuat siapa saja akan merasa nyaman. Aisyah menangis sejadi-jadinya, memeluk erat ibu yang usianya menjelang enam puluhan itu.
“Faiz tidak pulang bu?”, tanya Aisyah dengan mata berkaca-kaca. Ibu Faiz menggeleng, tidak mampu berkata apapun. Aisyah masih dengan tangisannya, terbata-bata menjelaskan berita bahwa dia akan dilamar besok lusa.”Idul Fitri kedua Aisyah akan dilamar bu, lelaki itu adalah rekan kerja Aisyah, usianya lima tahun diatas Aisyah. Aisyah tidak begitu mencintainya, Aisyah masih menunggu Faiz, Aisyah harap Faiz tidak datang terlambat”.
“Ibu tidak bisa memastikan kapan Faiz pulang, karena memang Faiz akan pulang kalau studinya selesai dan karirnya sukses. Disana Faiz sedang merintis karirnya, ibu juga tidak paham dengan dunia sains, tapi ayahnya bilang ada banyak yang dikerjakannnya bersama timnya dan mungkin juga dia akan pulang beserta anak dan istrinya.” Jelas ibu Faiz. Aisyah terdiam, kalimat terakhir membuatnya sulit bernafas.
***
Aisyah pulang ke rumah dengan wajah lesu. Selendang merah muda dikepala juga lembab akibat dibasahi rintikan hujan. Aina dan Aliya hanya terdiam melihat suasana kakaknya yang demikian. Aisyah masuk ke ruang tengah, dilihatnya mamak dan Wak Ical tengah berbincang-bincang, aneh jarang-jarang wak Ical turun dari bukit. Aisyah mencoba menyapa walau suasana hatinya kacau, “Wak Ical, kok tiba-tiba ada disini, kalau ada perlu apa-apa sama mamak dan bapak kenapa tidak titip sama Aisyah dan Aina tadi, apa Wak tidak lelah bolak-balik naik turun bukit?”, ujar Aisyah sambil memijati pundak Wak Ical. Aisyah memang akrab denagn Wak Ical, sejak kecil sering diajak mamak ke bukit, bersama Aina dan Aliya juga sering bermain-main di bukit di kebun stroberi wak Ical.
“Tadi ketika wak masih di surau, ada seorang pemuda datang menitipkan sebungkus keju, keju dari pasar kecamatan katanya, karena wak tak ada jadilah keju ini dititipkannya dengan tukang kebun wak”, jelas Wak Ical. Mata Aisyah berbinar-binar, pikirannya tertuju kepada Faiz. “ahh...Faiz pulang..Faiz pulang”, ucap Aisyah dalam hati, riang.
“Apa tukang kebun tak menanyakan namanya?”, tanya mamak. “itulah, karena sibuk di kebun tak pula ditanyakannya, lelaki itu juga tampak buru-buru karena anak kecil yang dibawanya merengek ingin cepat pulang, itulah kata tukang kebun wak”, Jelas Wak Ical, kali ini membuat mata Aisyah meredup, “siapa pula anak kecil itu? berarti benar adanya kata Ibu Faiz, Ia akan pulang membawa anak istrinya, ahh..”.
“Mungkin sekarang masih bermain-main disekitar kaki bukit Andas, anak kecil itu minta diajak bermain disana, jadilah tukang kebun mengarahkan pemuda itu.”Jelas Wak Ical lagi. Tanpa basa-basi Aisyah langsung berlari menuju kaki bukit Andas, sisi yang paling menarik, tempat dimana Aisyah selalu menunggu Faiz untuk menuju bukit, meminta stroberi di perkebunan Wak Ical.
Sesampainya di kaki bukit Andas, Aisyah terdiam, masih menahan nafasnya yang terengah-engah, suasana sepi. Aisyah duduk dibawah pohon, matanya mulai basah. Tangisnya semakin jadi setelah sepuluh dua puluh menit dilihatnya tak nampak siapapun, “Faiz, aku sangat sebal dengan mu, kau selalu terlambat, besok lusa Faiz, besok lusa..” teriak Aisyah dalam tangisnya yang semakin jadi.
Tiba-tiba datang seorang pemuda dengan menggendong anak kecil, laki-laki, bermata sipit, kulit putih, rambut ikal berwarna hitam, usianya sekitar lima tahun. “Sudah lama aku tak mendengar kau marah, selama itu juga aku demam karena tak mendengar kau marah”, ujarnya memecah hening ditengah tangis Aisyah. Aisyah langsung menoleh, “Faiz...” Aisyah hanya mengeluarkan satu kata, sebuah nama panggilan akrab seorang lelaki yang lama tak dilihatnya. Iya, laki-laki dihadapannya benar Faiz, hanya saja matanya agak cekung, tubuhnya tidak seatletis dulu, lebih nampak kurus. Aisyah bangun dari duduknya dan melangkah menuju Faiz, “Siapa anak ini Faiz?”, Aisyah cepat bertanya, hatinya butuh jawaban. Faiz menyuruh anak itu mencium tangan Aisyah dan berkata,”ini anak ku Aisyah”. Aisyah terdiam tidak begitu terkejut, rupanya Aisyah sudah mempersiapkan kalau-kalau memang itu jawabannya.
Aisyah tersenyum manis dengan anak itu seraya berkata, “namamu siapa?”. Anak itu pintar menjawab dengan lancar, ”Rayhan Alfarizi, just call me Ray”. Faiz menurunkan anak itu dari gendongannya, berdiri tepat disampingnya. Aisyah tampak tertarik dengan Ray, ”Hmm..you are so smart, like your father” ujar Aisyah seolah lupa dengan kesedihan hatinya, semakin lupa akan kesedihannya ketika Ray membalas pujian Aisyah, “Ayah, bunda ini cantik”. Aisyah terkejut, terkejut ternyata anak ini pandai Bahasa Indonesia dan memanggilnya Bunda, kali ini Aisyah benar-benar tersanjung dibuat seorang anak kecil. Seolah sudah netral Aisyah bertanya kepada Faiz, “Ibunya mana?” Aisyah memutar-mutar kepalanya mencari sosok perempuan yang melahirkan Ray.
Faiz tersenyum, tertawa tapi masih ditahan, tidak mau terlihat menertawakan siapapun sebab tidak ada yang lucu. Siapa bilang tak ada yang lucu, melihat Aisyah memutar-mutar kepalanya mencari seorang perempuan yang melahirkan Ray. Itu hal lucu. “Hey..kau cari siapa?”, tanya Faiz. “Iya, aku mencari istrimu, mana tak kau ajak kemari Faiz?”, Aisyah masih penasaran. “haha..justru aku pulang kemari karena aku hendak menjemput ibu untuk Ray”, penjelasan Faiz semakin membuat Aisyah bingung.
“Apa kau masih seperti yang dulu?”, Faiz tiba-tiba mengajukan pertanyaan yang membuat Aisyah sejuta rasa. Aisyah diam, bingung harus menjawab apa, tapi jauh dilubuk hati Aisyah hendaklah Faiz mengerti tanpa harus bertanya, Aisyah malu mengutarakannya. Aisyah masih tersenyum malu-malu.
            “Ayolah kita pulang, ini hampir maghrib nanti keburu takbir hari raya dikumandangkan tak baik kalau kita masih disini, besok lusa aku akan melamarmu, menjadikan mu bunda untuk Faiz kecil ini”, jelas Faiz sembari mulai melangkahkan kaki meninggalkan kaki bukit Andas, Aisyah mengikuti langkah kaki Faiz. Kali ini Faiz tak perlu berlari-lari kecil demi mengejar Aisyah, malah Aisyah yang setia mengikuti Faiz, mengikuti langkah Faiz kemanapun.
***
Aisyah dan Faiz akhirnya menikah dihari raya ke enam, empat hari setelah lamaran dilangsungkan. Aisyah hanya butuh waktu dua minggu dari hari pernikahannya untuk mengurus pengunduran dirinya dari bank swasta tempatnya bekerja, setelah itu Aisyah diboyong oleh Faiz ke negeri Sakura. Ternyata selama tujuh tahun ini Faiz melanjutkan studi dan bekerja di negeri Sakura. Mereka hidup bahagia. Faiz kapan saja dapat minta dibuatkan bolu hijau cinta oleh istri tercinta, tidak mesti ketika hari raya idul fitri tiba.
Setahun kemudian Aina pula yang dilamar Rully. Mereka melangsungkan pernikahan di kampung Aruy. Aisyah juga langsung diboyong Rully ke Jerman. Kisah cinta mereka juga asik, tapi tak seasik kisah bolu hijau cinta tentunya. 
Kisah bolu hijau cinta jadi hangat dibincangkan warga kampung Aruy, wak Ical yang sibuk bercerita kesana kemari. Aisyah menitipkan resep bolu hijau cinta pada wak Ical, jadi remaja putri yang hendak belajar membuatnya tinggal minta resepnya dengan wak Ical. Sejak saat itu setiap anak gadis yang hendak mengantarkan tingkat ke rumah calon mertua tidak hanya tingkat yang berisi ketupat, rendang, sambal kentang, dan tumis buncis, tetapi disertai seloyang bolu hijau cinta yang dilumuri keju yang dibeli dari pasar kecamatan. Bagaimana dengan stroberinya? Untuk yang satu ini menjadi sumber rezeki wak Ical, menjelang hari raya idul fitri perkebunan stroberinya ramai dikunjungi para remaja putri.  


Ahh..ada yang kurang, masih ada bagian dari cerita ini yang menggantung bukan? Siapa sebenarnya Ray atau yang disebut Faiz kecil? Lalu bagaimana dengan rencana Burhan yang hendak melamar Aisyah di hari raya idul fitri kedua?
Ray adalah anak dari seorang pemuda bernama Alfarizi, namanya persis sama dengan Faiz. Teman Faiz sesama mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi ke negeri Sakura. Beruntungnya Alfarizi itu duluan menikah ketika Faiz berusia dua puluh dua namun tak beruntungnya istri Alfarizi itu meninggal saat melahirkan Ray. Alfarizi itu akhirnya memutuskan untuk tinggal serumah dengan Faiz dan menyewa jasa pengasuh untuk Ray, namun tak beruntungnya lagi Alfarizi itu mengalami kecelakaan hebat yang mengakibatkan kematian, tapi sebelum ajal menjemput Alfarizi itu sempat menitipkan Ray kepada Faiz, untuk dijadikan anaknya. Sekarang jelas bukan kalau Faiz belum menikahi perempuan manapun karena memang Faiz selalu menungggu cinta Aisyah. Lalu bagaimana dengan cerita Burhan. Burhan dan keluarganya tetap datang di hari raya kedua untuk melamar Aisyah, namun Aisyah menjelaskan semua yang telah terjadi. Burhan tidak marah ataupun kecewa. Aisyah sempat bingung melihat respon Burhan, sedangkan keluarga Burhan pun mengikut saja apa yang dirasa Burhan. Ternyata Burhan justru jatuh hati kepada Aliya tepat sesaat berjumpa Aliya pada siang itu. Mamak dan Bapak tersentak kaget, apapula baru bertemu bisa langsung jatuh hati. Mamak dan Bapak tak akan semudah itu menyerahkan Aliya, tapi semua kembali pada Aliya. Aliya belum bisa memutuskan tapi kalau mau bersilaturahmi terlebih dahulu tidak apalah.

Kisah cinta yang cukup aneh, tapi Allah maha pembolak-balik hati, yang manusia harus pahami adalah tak ada yang salah dengan perasaan....



Oleh: Andwi Putri Lika, 22 tahun, 24 Ramadhan 1433 H, 21:49 WIB.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar