Hari ini, satu hari
menjelang Hari Raya Idul Fitri, tetap sama indahnya, sama ramainya, sama
meriahnya, sama pikuknya seperti hari raya sebelum-sebelumnya. Remaja putri
kesana kemari lalu lalang dengan selendang membalut kepala dan membawa tingkat, ada yang tiga tingkat, empat tingkat,
bahkan ada yang lima tingkat. Jelas saja harus bertingkat-tingkat karena isinya
haruslah beragam, ketupat, rendang, sambal kentang, dan tumis buncis. Kalau-kalau
ada lebih beberapa macam juada bolehlah juga disisipkan.
Remaja putri yang
lalu lalang membawa tingkat tampak riang, banyak canda tawa dan saling sapa
diantara mereka ketika saling berpapasan dijalan. Mengapa harus remaja putri
yang mengantarkan tingkat? Lalu diantarkan kemana pula tingkat itu?. Jelas
saja, remaja putri dianggap kembang yang ada di rumah, senyumnya dan sapanya
membuat syahdu. Ini memang sudah jadi budaya, sehari menjelang hari raya setiap
rumah akan mengirim utusan (anak gadis) mereka mengantarkan tingkat ke rumah sanak,
dimulai dari petua kampung, lalu sanak-sanak yang usianya lebih tua, tentunya
sanak saudara terdekat terlebih dahulu, tapi tidak menutup kemungkinan bukan
keluarga namun besan atau calon besan
yang nantinya juga akan jadi keluarga. Anak gadis yang diutus pun biasanya
haruslah bersolek namun tak boleh mencolok. Sang Ibu akan mendandani anak gadis
mereka dengan selendang tercantik yang ada di rumah mereka. Anak gadis dianggap
kebanggaan, teramat siallah kalau ada rumah yang tidak memiliki anak gadis,
tentu saja Ibu di rumah tersebut yang langsung akan turun dan pergi
kerumah-rumah sanak untuk mengantarkan tingkat. Seorang ibu yang tidak memiliki
anak gadis dianggap masih cantik sekalipun usianya menginjak lima puluhan, hal
ini disebabkan paradigma masyarakat kampung jikalau tak punya anak gadis
berarti kecantikan sang ibu tidak diturunkan, beda hal dengan seorang ibu yang
punya lima anak gadis berarti kecantikannya diwariskan kepada lima anak
gadisnya, paling banyak pada anak pertama, turun lagi ke anak yang kedua, dan
seterusnya. Anak gadis boleh ikut mengantar tingkat ketika menginjak usia
sekitar tiga belasan atau sejak mendapat datang bulan pertama kali, dianggap
sangat cantik pada usia tujuh belasan dan berhenti ketika menginjak usia dua
puluh satu.
Sudah jadi biasa
kalau isi tingkat adalah ketupat, rendang, sambal kentang, dan tumis buncis. Tapi kali ini beda, untuk anak gadis satu
ini beda, ada satu loyang bolu hijau yang selalu meyertai, bolu hijau cinta
namanya.
Begitulah budaya yang
masih hangat terjaga, disebuah kampung, Kampung Aruy namanya, di sisi
perbukitan Andas.
***
Pagi ini suasana
rumah sangat sibuk, mamak tampak sibuk dengan penggorengannya, goreng emping,
kesukaan bapak. Aina, anak gadis ke dua dirumah ini tengah sibuk menyusun
tingkat yang akan dikirim kerumah-rumah sanak, sedangkan Aliya anak gadis
termuda di rumah ini sedang keluar mengantar tingkat kerumah sanak yang ada
disebelah barat rumah. Kenapa harus Aliya yang mengantar tingkat kenapa tidak
pula Aina? Jelas saja, sekarang usia Aliya delapan belas sedang cantiknya
menurut warga kampung sedangkan Aina dua puluh lima, sudah pensiun mengantar
tingkat sejak hari raya empat tahun silam. Lalu kemana anak gadis sulung di
rumah ini? Tentu tidak sedang mengantar tingkat kan? Aisyah, anak sulung di
rumah ini tidak sedang mengantar tingkat karena usianya kini dua puluh delapan,
sudah pensiun sejak hari raya tujuh tahun silam. Tidak juga sedang sibuk
mengerjakan sesuatu, tapi duduk termenung di balik kaca jendela kamar memandang
halaman rumah, pohon-pohon diseberang, jalanan yang ramai, ramai dengan remaja
putri lalu lalang.
Pagi ini Aisyah hanya
duduk di pinggir jendela kamar. Mamak menyuruh Aisyah istirahat saja, mungkin
saja lelah karena baru kemarin sore tiba dari kota Dung. Tapi sebenarnya Aisyah
tidak begitu lelah, buktinya kemarin sore sesampainya di rumah Aisyah langsung
membuat bolu hijau, bolu yang sudah tidak pernah dibuatnya sejak tujuh tahun
silam. Entah kenapa tiba-tiba Aisyah ingin membuat bolu hijau yang diatasnya
dilumuri keju dan disudutnya bertengger stroberi segar yang biasanya di petik
dari kebun stroberi wak Ical di bukit Andas.
Suara mamak
menyeruak, memecah keheningan kamar, ”Aisyah..bolu hijau belum dihiasi dengan
buah stroberi, nanti kau berangkatlah ke bukit, minta buah stroberi sekalian
betandang ke rumah wak Ical, ajaklah Aina, tak enak kalau besok lusa Burhan
datang bolu yang kau tengah kan polos, kurang cantik”.
Aisyah senyum, “iya
mak..”.
Mungkin dikira mamak
bolu hijau ini untuk Burhan, pemuda yang akan datang dengan keluarga besarnya
besok lusa, hari raya kedua. Mamak paham kalau Aisyah akan membuat bolu hijau hanya
untuk anak bujang orang yang berhasil menarik hatinya. Tapi apa Burhan bisa?
Entahlah sebenarnya mamak juga tidak tahu pasti.
Aisyah berangkat dari
duduknya, menarik selendang merah mudanya, selendang yang selalu betah
dikepalanya, selendang yang sering dikenakannya ketika masih disuruh mamak
mengantar tingkat ke rumah sanak. Selendang itu tetap masih cantik, masih bagus
karena memang itu selendang tercantik dan terbaik yang dimiliki mamak.
“Aina, temani kakak
dulu ya ke bukit, kita betandang ke rumah Wak Ical minta buah stroberi,
sepulangnya dari sana nanti kita bereskan tingkat-tingkat ini sekalian kita
antarkan juga ke rumah sanak”, seru Aisyah begitu semangat.
“hha..apa pula kakak ini,
apa kata tetangga kalau kita yang bawa tingkat, kita sudah habis masanya kak”,
balas Aina. Keduanya saling tertawa seolah itu lelucon, padahal sama sekali
bukan lelucon, mereka sudah terlalu tua untuk menjadi gadis, itu pandangan
warga Kampung Aruy.
***
Hari ini ramadhan ke
dua puluh tujuh, ketika Aisyah berumur delapan belas. Sore ini Aisyah akan
pergi ke bukit ke rumah Wak Ical sekalian minta buah stroberi karena besok
Aisyah akan membuat bolu hijau. Aisyah tidak ditemani Aina ataupun Aliya,
Aisyah ditemani Faiz.
Alfarizi namanya tapi
sejak kecil akrab dipanggil Faiz. Aisyah dan Faiz berteman sejak usia mereka
enam belasan namun sudah saling kenal sejak usia enam tahun, menjelang masuk SD
dan sering ngaji bersama di surau.
Sore ini Faiz pulang
dari pasar kecamatan dengan sepeda motor bututnya. Faiz membeli keju untuk
Aisyah, tapi kali ini Faiz telat setengah jam. Ini akan membuat Aisyah marah,
“Faaaiizzzz....apa pula kau ini selalu datang terlambat kalau berjanji
denganku” teriak Aisyah dari kejauhan, keduanya masih berjarak dua puluhan
meter, tapi Aisyah sudah merangrang ingin marah.
Faiz menyerahkan
kantong kecil berisi sebungkus keju yang dibelinya dari pasar kecamatan.
Mengapa harus beli di pasar kecamatan? Jelas saja, Kampung Aruy tidak ada yang menjual
keju, masih asing bagi warga kampung Aruy, rasa seperti susu tapi tidak berupa
cair.
“Maaf aku datang
terlambat”, Faiz merasa bersalah.
“Iya, aku sudah
paham, seperti biasa kau akan datang terlambat”, Aisyah masih sebal dan tidak
ingin meluncurkan senyum dari bibirnya, pelit sekali, terlalu berharga senyum
untuk lelaki yang sering datang terlambat seperti Faiz.
“Iya, aku memang
sengaja datang terlambat, aku ingin liat kau marah, aku bisa demam malam ini,
kalau tak liat kau marah hari ini, karena kalau kau marah justru tampak
cantik”, Faiz menggoda Aisyah.
“aahh..apa pula kau
ini Faiz, sudah bersalah masih saja ingin menggombal”, Aisyah memalingkan
mukanya, senyum ditahan, malu kalau Faiz melihat senyumnya.
“Tapi kau masih akan
membuatkan aku bolu hijau cinta kan?”, Faiz semakin menggoda, “aahh...ayo
secepatnya kita ke bukit, nanti keburu Wak Ical pergi ke surau mumpung ini
belum waktunya sholat Ashar”, Aisyah berlari-lari kecil menuju bukit, Faiz pun
berlari-lari kecil mengejar Aisyah. Gadis cantik yang berkaki mungil ini kalau
lari susah juga dikejar, Faiz susah sekali meraihnya, sama susahnya untuk
meraih cintanya.
Begitulah Faiz dan
Aisyah selalu ke bukit menjelang hari raya, terhitung sejak mereka berusia enam
belasan, sejak Aisyah bisa membuat bolu hijau, dan terhenti ketika Aisyah
berusia dua puluh dua. Mengapa berhenti? Jelas saja, masa anak gadis mengantar
tingkat ke rumah sanak sudah habis, tapi bukan itu alasan pastinya. Entahlah
semua Aisyah yang tahu.
***
Aisyah dan Aina
berangkat ke bukit. Aisyah dengan selendang merah muda, kata mamak Aisyah
cantik dengan selendang merah muda, warna seperti jambu air di halaman rumah,
manis rasanya tak begitu tajam, berair tapi tak begitu basah. Aina dengan
selendang biru muda, juga cantik kata mamak seperti langit tanpa awan tanpa
mendung, cerah. Sedangkan Aliya disana yang sedang kesana kemari kerumah sanak
dengan selendang hijau muda, juga cantik kata mamak, seperti pucuk daun teh,
sedang hijau-hijaunya sama dengan usianya yang delapan belas.
Keduanya meniti alur
jalan menuju bukit, tidak begitu jauh cukup menghabiskan dua puluh menit.
Diperjalanan menuju perkebunan Wak Ical, Aina mencoba mengajak berbincang
kakaknya, perbincangan yang semalam sempat menggantung.
“Kakak ingin
menyudahi masa lajang kakak bersama kak Burhan bukan karena Aina ingin
melintasi kakak kan? Karena kakak benar mencintai Kak Burhan kan?”, pertanyaan
Aina seolah menembakkan anak panah tepat
pada titik tengah, menancap tajam.
Aisyah sempat
terdiam, memilih kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan adiknya.
Cerita singkat:
Aina sudah lulus
kuliah dua tahun lalu dan bekerja di sebuah laboratorium klinik swasta di kota
Dung. Aina sudah hendak dipinang tahun depan oleh teman lelakinya, sama kuliah
dibidang sains di institut ternama di kota Dung. Aina akan dipinang oleh teman
kuliahnya, sama-sama berusia dua puluh lima, sudah mapan sebab sejak kuliah
teman lelakinya yang bernama Rully aktif mengikuti proyek ilmiah dari fakultas
dan mengikuti berbagai riset yang didanai dengan jumlah yang lumayan, jelas
saja kalau Aina menikah dalam waktu dekat sudah siap secara umur dan finansial.
Rully mendesak Aina untuk menikah tahun depan karena Rully akan berangkat ke
Jerman untuk melanjutkan kuliahnya, sekarang tengah mengurus beasiswa dan supervisornya.
Lalu bagaimana dengan Aisyah? Aisyah sekarang berusia dua puluh delapan dan
bekerja sebagai pimpinan di salah satu bank swasta ternama di kota Dung. Memang
sederhana penampilannya tapi siapa sangka gadis berbalut selendang merah muda
ini adalah seorang pimpinan sebuah bank. Aisyah dikenal cerdas dan dinamis oleh
karena itulah sejak lulus kuliah dengan nilai cumlaude Aisyah diterima bekerja
dan memiliki progres yang bagus. Dua tahun bekerja sudah diangkat sebagai
pimpinan cabang dan setahun lalu diangkat sebagai pimpinan pusat di kota Dung.
Namun semenjak lulus kuliah dan memutuskan hubungannya dengan Abi (saat itu
Aisyah berusia dua puluh tiga), teman lelakinya satu kuliah di bidang ekonomi,
Aisyah tidak menjalin hubungan dengan lelaki manapun, padahal banyak lelaki
kaya dan tampan yang hendak melamar Aisyah, padahal mamak dan bapak juga sudah
sering menyuruh secepatnya menikah karena ingin menimang cucu, padahal warga
kampung sudah banyak yang berbisik sana-sini menyebutnya gadis tua. Entahlah semua
itu seperti tidak diperdulikan oleh Aisyah. Namun mendadak dua hari menjelang
kepulangannya ke kampung karena baru dapat cuti dari kantor, Aisyah meminta
izin dengan bapak untuk menerima kedatangan Burhan dan keluarga besarnya ke
rumah di hari raya ke dua. Untuk apa? Jelas saja, untuk melamar Aisyah. Siapa
pula Burhan itu? Lelaki dewasa berusia tiga puluh tiga, pimpinan bank pusat
ibukota yang sudah dua bulan terakhir berusaha meraih cinta Aisyah.
“Perempuan kodratnya
dicintai Aina, lalu seiring waktu belajar untuk mencintai. Sebagaimana perasaan
cinta itu datang tergantung kekuatan dan perjuangan sang lelaki. Kakak kenal
Burhan lelaki baik-baik, seiman, pekerja keras, bertanggung jawab dan bisa
membimbing kakak dunia dan akhirat. Itu saja cukup, biarkan waktu yang membuat
kakak mencintai dia.” Jelas Aisyah tegas.
“Aina senang kalau
kakak sudah bulat. Aina mengenal kakak, kakak belum pernah memiliki perasaan
dan tekat yang bulat dengan seorang lelaki setelah kakak berpisah dengan Kak
Faiz dan mengenal Kak Abi, lelaki ibukota itu. Aina juga takut kakak terdesak
menerima lamaran Kak Burhan karena mendengar Aina akan dilamar oleh Rully”,
Balas Aina yang merasa bersalah.”Dan Aina tidak akan menikah sebelum kakak
menikah, tapi menikah dengan hati yang luas bukan dengan keterpaksaan”.
“Jangan Aina, kalau
jodohmu sudah dekat itu karena Allah memang sudah merencanakannya, itu pasti
yang terbaik. Tidak ada yang salah, ini hanya masalah budaya”, Aisyah berusaha
membujuk adiknya.
Aina memeluk erat
Aisyah, pelukan erat sang adik, sama eratnya ketika masih kecil setiap Aina ada
masalah, namun pelukan ini memang sudah lama tidak ada sebab keduanya sudah
sibuk dengan karir masing-masing.
Sampailah mereka di
bukit Andas, dihalaman perkebunan stroberi wak Ical. Kebun ini masih indah,
sama indahnya seperti dulu. Tapi untuk menuju kesini Aisyah tidak perlu
dikejar-kejar oleh seorang lelaki, lelaki itu sudah lelah mengejar Aisyah, sama
lelahnya menunggu cinta Aisyah.
***
Hari menjelang senja, pukul lima sore
sekarang, berarti satu jam lima belas menit lagi takbir akan dikumandangkan.
Tidak salah lagi besoklah hari raya Idul Fitri dan lusa Burhan dan keluarga
besarnya akan bertandang ke rumah menemui mamak dan bapak. Bolu hijau sudah
terhias cantik, stroberi dari kebun Wak Ical sudah duduk manis disetiap sudut
bolu hijau. Apalagi yang kurang, masih ada satu tingkat lagi yang belum
diantar. Diantar kemana? Ke rumah Wak Aziz di sebelah timur rumah, itu adalah
rumah Faiz, rumah yang sejak tujuh tahun silam tidak pernah lagi mendapat
kiriman tambahan selain tingkat yang berisikan ketupat, rendang, sambal kentang
dan tumis buncis. Tidak pernah lagi mendapat bolu hijau, bolu hijau cinta
biatan gadis cantik, Aisyah.
“Mamak izinkan Aisyah
mengantarkan tingkat ini ke rumah wak Aziz”, mata Aisyah berkaca-kaca meminta
kepada Ibu yang melahirkannya, seolah ini permintaan besar.
“Jangan nak, apa kata
warga melihat mu mengantar tingkat ini ke rumah Pak Aziz”, Mamak berusaha
menahan Aisyah.
“Tolonglah mak,
Aisyah minta mak..apapula dasar gadis seperti Aisyah tak boleh mengantar
tingkat. Aisyah belum pernah dengar di Al-Qur’an maupun hadits, tolonglah
mak..mungkin ini permintaan Aisyah yang terakhir, setelah itu Aisyah akan
menikah mak, Aisyah tak akan ada mengantar-antar tingkat lagi kan?”, isak tangis
Aisyah pilu membuat mamak tak tahan menolak, Aina dan Aisyah yang melihat saat
itu terisak menahan tangis, melihat sang kakak membuncah meledakkan tangisnya
yang sudah tertahan lama. Untung saja bapak sedang keluar pergi ke surau ketika
azan ashar tadi, entah apa reaksi bapak kalau melihat Aisyah menentang budaya
kampung yang bisa mempermalukan itu.
Mamak membalut kepala
Aisyah dengan selendang merah muda, selendang tercantik dan terbaik yang
dimiliki mamak. Kali ini wajah Aisyah sayu, begitu sedih, berbeda ketika
pertama kali mamak membalutkan selendang merah muda itu pertama kali ketika
Aisyah berusia tiga belas, bgitu ceria, dan lebih ceria lagi ketika Aisyah
berusia enam belas, ketika Aisyah baru bisa membuat bolu hijau, bolu hijau
cinta.
Kali ini Aisyah akan
pergi mengantar tingkat. Meski melawan janji kampung bahwa anak gadis lebih
dari usia dua puluh satu tak boleh lagi mengantar tingkat, meski melawan janji
Faiz,
“Berjanjilah untuk tidak mencari aku lagi”
***
Aisyah berusia dua
puluh satu, sore ini akan mengantar tingkat ke rumah Wak Aziz, itu rumah Faiz.
Wak Aziz adalah guru ngaji di surau sebelah timur rumah Aisyah. Masih kecil
Aisyah juga sering belajar mengaji dengan Wak Aziz tentu bersama Faiz, Aina,
dan anak-anak kampung lainnya. Saat itu mamak tengah mengandung Aliya.
Seperti biasa tingkat
yang berisi ketupat, rendang, sambal kentang, dan tumis buncis, tak lupa
ditambah seloyang bolu hijau, bolu hijau cinta. Tapi kali ini Aisyah tidak
begitu riang seperti hari-hari raya idul fitri sebelumnya, ada yang beda tahun
ini. Faiz dan Aisyah sudah jarang berkomunikasi, Faiz sibuk dengan studinya
begitu pula dengan Aisyah. Namun itu tak jadi masalah, hal lain yang mengganjal
adalah Aisyah tengah dipikat hatinya oleh pemuda ibukota, Abi namanya. Faiz
yang saat itu bingung dengan permasalahan studinya, diperberat pula oleh Aisyah
dekat dengan pria lain, merasa harus menyelesaikan permasalahannya satu
persatu, sehingga menyudahi dulu hubungannya dengan Aisyah. Begitupun Aisyah
yang tengah dekat dengan Abi, pemuda ibukota seolah ringan untuk berpisah
dengan Faiz karena pesimis Faiz akan pergi ke luar negeri melanjutkan studinya,
akan lebih susah melanjutkan hubungan mereka.
Sore itu Faiz masih
bisa senyum menerima bolu hijau cinta dari Aisyah, namun tak seindah
tahun-tahun sebelumnya.
“Kalau bolu hijau ini
datang hanya untuk sebagai harapan palsu aku harap jangan ada lagi bolu hijau
di hari-hari raya berikutnya. Bagaimana bisa aku menunggu seorang gadis yang
disampingnya ada lelaki lain. Kalau memang lelaki itu jauh lebih baik semoga
dia bisa menjaga mu disini dan aku harap jangan cari aku lagi, aku tak bisa
menjadi sekedar teman biasa untuk mu, mana mungkin bolu hijau cinta ini bisa jadi
bolu hijau biasa”, jelas Faiz, suaranya parau menahan sesak dikerongkongannya.
“Lalu bagaimana jika
aku masih merindukanmu?”, tanya Aisyah dalam isak tangisnya. Faiz hanya diam
menahan butiran yang menetes dari sudut matanya. Diam seribu bahasa. Aisyah tak
tahan lalu berlari pulang, berlari dibawah rintikan hujan seolah menemani
tangisnya. Selendang merah muda sejak saat itu tak pernah lagi dikenakannya,
habis masanya mengantar tingkat, habis masanya membuat bolu hijau cinta,
sepotong hatinya sudah ada pada Abi pemuda ibukota. Faiz yang begitu terekam
jelas dimemorinya menghilang sejak saat itu, bahkan ketika hari raya tiba Faiz
tidak pernah lagi pulang ke Kampung Aruy. Terdengar kabar Faiz mendapat
beasiswa ke luar negeri, di negara mana wak Aziz tidak mau menyebutkan, katanya
Faiz yang melarang mengumbar berita itu, bahkan kapan pulang pun Wak Aziz tidak
mau menyebutkan. Mungkin Faiz akan pulang ke Kampung Aruy setelah Faiz sudah
menikahi seorang perempuan dan akan diperkenalkan dengan keluarganya dan
keindahan kampung Aruy.
***
Aisyah berlari
dibawah rintikan hujan, berlari menuju rumah Wak aziz dengan membawa tingkat
dan seloyang bolu hijau cinta, masih bolu hijau cinta tidak berubah menjadi
bolu hijau biasa. Kalau dulu ketika berlari dibawah rintikan hujan, pulang dari
mengantarkan tingkat dan bolu hijau cinta yang terakhir untuk Faiz boleh jadi
dia bersedih dan pesimis tapi kali ini semangat membuncah di sudut hatinya,
semangat yang diablut rindu, membeku selama tujuh tahun dan buyar saat ini, tak
mampu ditahan lagi. Kalau-kalau Faiz pulang di hari raya idul fitri kali ini
Aisyah akan sangat senang, lalu bagaimana kalau Faiz pulang justru membawa
perempuan yang sudah dinikahinya atau bahkan disertai anak kecil hasil buah
cinta mereka. Pikiran Aisyah melanglangbuana, tapi kali ini Aisyah tidak
memperdulikan pikirannya itu. Tapi kalau memang itu yang terjadi setidaknya
Aisyah mempersembahkan bolu hijau cintanya yang terakhir menjelang
pernikahannya. Aisyah masih semangat, kakinya melangkah riang, sama riangnya
ketika Aisyah berusia enam belas, baru bisa membuat bolu hijau cinta, untuk
lelaki yang disayanginya, Alfarizi.
Sesampai di rumah
Faiz, Aisyah terdiam, suasana tampak sepi. Ibu Faiz menyambut Aisyah dengan
terheran-heran, melihat anak gadis yang dulu rajin mengantar tingkat dan bolu
hijau cinta basah diguyur rintikan hujan.
“Masuklah Aisyah,
kemari..biar ibu menghangatkan mu dengan handuk”, Ibu Faiz sama ramahnya
seperti dulu, keibuan, membuat siapa saja akan merasa nyaman. Aisyah menangis
sejadi-jadinya, memeluk erat ibu yang usianya menjelang enam puluhan itu.
“Faiz tidak pulang
bu?”, tanya Aisyah dengan mata berkaca-kaca. Ibu Faiz menggeleng, tidak mampu
berkata apapun. Aisyah masih dengan tangisannya, terbata-bata menjelaskan
berita bahwa dia akan dilamar besok lusa.”Idul Fitri kedua Aisyah akan dilamar
bu, lelaki itu adalah rekan kerja Aisyah, usianya lima tahun diatas Aisyah. Aisyah
tidak begitu mencintainya, Aisyah masih menunggu Faiz, Aisyah harap Faiz tidak
datang terlambat”.
“Ibu tidak bisa
memastikan kapan Faiz pulang, karena memang Faiz akan pulang kalau studinya
selesai dan karirnya sukses. Disana Faiz sedang merintis karirnya, ibu juga
tidak paham dengan dunia sains, tapi ayahnya bilang ada banyak yang
dikerjakannnya bersama timnya dan mungkin juga dia akan pulang beserta anak dan
istrinya.” Jelas ibu Faiz. Aisyah terdiam, kalimat terakhir membuatnya sulit
bernafas.
***
Aisyah pulang ke
rumah dengan wajah lesu. Selendang merah muda dikepala juga lembab akibat
dibasahi rintikan hujan. Aina dan Aliya hanya terdiam melihat suasana kakaknya
yang demikian. Aisyah masuk ke ruang tengah, dilihatnya mamak dan Wak Ical
tengah berbincang-bincang, aneh jarang-jarang wak Ical turun dari bukit. Aisyah
mencoba menyapa walau suasana hatinya kacau, “Wak Ical, kok tiba-tiba ada
disini, kalau ada perlu apa-apa sama mamak dan bapak kenapa tidak titip sama
Aisyah dan Aina tadi, apa Wak tidak lelah bolak-balik naik turun bukit?”, ujar
Aisyah sambil memijati pundak Wak Ical. Aisyah memang akrab denagn Wak Ical, sejak
kecil sering diajak mamak ke bukit, bersama Aina dan Aliya juga sering
bermain-main di bukit di kebun stroberi wak Ical.
“Tadi ketika wak
masih di surau, ada seorang pemuda datang menitipkan sebungkus keju, keju dari
pasar kecamatan katanya, karena wak tak ada jadilah keju ini dititipkannya
dengan tukang kebun wak”, jelas Wak Ical. Mata Aisyah berbinar-binar,
pikirannya tertuju kepada Faiz. “ahh...Faiz pulang..Faiz pulang”, ucap Aisyah
dalam hati, riang.
“Apa tukang kebun tak
menanyakan namanya?”, tanya mamak. “itulah, karena sibuk di kebun tak pula
ditanyakannya, lelaki itu juga tampak buru-buru karena anak kecil yang
dibawanya merengek ingin cepat pulang, itulah kata tukang kebun wak”, Jelas Wak
Ical, kali ini membuat mata Aisyah meredup, “siapa pula anak kecil itu? berarti
benar adanya kata Ibu Faiz, Ia akan pulang membawa anak istrinya, ahh..”.
“Mungkin sekarang
masih bermain-main disekitar kaki bukit Andas, anak kecil itu minta diajak
bermain disana, jadilah tukang kebun mengarahkan pemuda itu.”Jelas Wak Ical
lagi. Tanpa basa-basi Aisyah langsung berlari menuju kaki bukit Andas, sisi
yang paling menarik, tempat dimana Aisyah selalu menunggu Faiz untuk menuju
bukit, meminta stroberi di perkebunan Wak Ical.
Sesampainya di kaki
bukit Andas, Aisyah terdiam, masih menahan nafasnya yang terengah-engah,
suasana sepi. Aisyah duduk dibawah pohon, matanya mulai basah. Tangisnya
semakin jadi setelah sepuluh dua puluh menit dilihatnya tak nampak siapapun,
“Faiz, aku sangat sebal dengan mu, kau selalu terlambat, besok lusa Faiz, besok
lusa..” teriak Aisyah dalam tangisnya yang semakin jadi.
Tiba-tiba datang
seorang pemuda dengan menggendong anak kecil, laki-laki, bermata sipit, kulit
putih, rambut ikal berwarna hitam, usianya sekitar lima tahun. “Sudah lama aku
tak mendengar kau marah, selama itu juga aku demam karena tak mendengar kau
marah”, ujarnya memecah hening ditengah tangis Aisyah. Aisyah langsung menoleh,
“Faiz...” Aisyah hanya mengeluarkan satu kata, sebuah nama panggilan akrab
seorang lelaki yang lama tak dilihatnya. Iya, laki-laki dihadapannya benar
Faiz, hanya saja matanya agak cekung, tubuhnya tidak seatletis dulu, lebih
nampak kurus. Aisyah bangun dari duduknya dan melangkah menuju Faiz, “Siapa
anak ini Faiz?”, Aisyah cepat bertanya, hatinya butuh jawaban. Faiz menyuruh
anak itu mencium tangan Aisyah dan berkata,”ini anak ku Aisyah”. Aisyah terdiam
tidak begitu terkejut, rupanya Aisyah sudah mempersiapkan kalau-kalau memang
itu jawabannya.
Aisyah tersenyum
manis dengan anak itu seraya berkata, “namamu siapa?”. Anak itu pintar menjawab
dengan lancar, ”Rayhan Alfarizi, just call me Ray”. Faiz menurunkan anak itu
dari gendongannya, berdiri tepat disampingnya. Aisyah tampak tertarik dengan
Ray, ”Hmm..you are so smart, like your father” ujar Aisyah seolah lupa dengan
kesedihan hatinya, semakin lupa akan kesedihannya ketika Ray membalas pujian
Aisyah, “Ayah, bunda ini cantik”. Aisyah terkejut, terkejut ternyata anak ini
pandai Bahasa Indonesia dan memanggilnya Bunda, kali ini Aisyah benar-benar
tersanjung dibuat seorang anak kecil. Seolah sudah netral Aisyah bertanya kepada
Faiz, “Ibunya mana?” Aisyah memutar-mutar kepalanya mencari sosok perempuan yang
melahirkan Ray.
Faiz tersenyum,
tertawa tapi masih ditahan, tidak mau terlihat menertawakan siapapun sebab
tidak ada yang lucu. Siapa bilang tak ada yang lucu, melihat Aisyah
memutar-mutar kepalanya mencari seorang perempuan yang melahirkan Ray. Itu hal
lucu. “Hey..kau cari siapa?”, tanya Faiz. “Iya, aku mencari istrimu, mana tak
kau ajak kemari Faiz?”, Aisyah masih penasaran. “haha..justru aku pulang kemari
karena aku hendak menjemput ibu untuk Ray”, penjelasan Faiz semakin membuat
Aisyah bingung.
“Apa kau masih
seperti yang dulu?”, Faiz tiba-tiba mengajukan pertanyaan yang membuat Aisyah
sejuta rasa. Aisyah diam, bingung harus menjawab apa, tapi jauh dilubuk hati
Aisyah hendaklah Faiz mengerti tanpa harus bertanya, Aisyah malu
mengutarakannya. Aisyah masih tersenyum malu-malu.
“Ayolah
kita pulang, ini hampir maghrib nanti keburu takbir hari raya dikumandangkan
tak baik kalau kita masih disini, besok lusa aku akan melamarmu, menjadikan mu
bunda untuk Faiz kecil ini”, jelas Faiz sembari mulai melangkahkan kaki
meninggalkan kaki bukit Andas, Aisyah mengikuti langkah kaki Faiz. Kali ini Faiz
tak perlu berlari-lari kecil demi mengejar Aisyah, malah Aisyah yang setia
mengikuti Faiz, mengikuti langkah Faiz kemanapun.
***
Aisyah dan Faiz
akhirnya menikah dihari raya ke enam, empat hari setelah lamaran dilangsungkan.
Aisyah hanya butuh waktu dua minggu dari hari pernikahannya untuk mengurus
pengunduran dirinya dari bank swasta tempatnya bekerja, setelah itu Aisyah diboyong
oleh Faiz ke negeri Sakura. Ternyata selama tujuh tahun ini Faiz melanjutkan
studi dan bekerja di negeri Sakura. Mereka hidup bahagia. Faiz kapan saja dapat
minta dibuatkan bolu hijau cinta oleh istri tercinta, tidak mesti ketika hari
raya idul fitri tiba.
Setahun kemudian Aina
pula yang dilamar Rully. Mereka melangsungkan pernikahan di kampung Aruy.
Aisyah juga langsung diboyong Rully ke Jerman. Kisah cinta mereka juga asik,
tapi tak seasik kisah bolu hijau cinta tentunya.
Kisah bolu hijau
cinta jadi hangat dibincangkan warga kampung Aruy, wak Ical yang sibuk
bercerita kesana kemari. Aisyah menitipkan resep bolu hijau cinta pada wak
Ical, jadi remaja putri yang hendak belajar membuatnya tinggal minta resepnya
dengan wak Ical. Sejak saat itu setiap anak gadis yang hendak mengantarkan
tingkat ke rumah calon mertua tidak hanya tingkat yang berisi ketupat, rendang,
sambal kentang, dan tumis buncis, tetapi disertai seloyang bolu hijau cinta
yang dilumuri keju yang dibeli dari pasar kecamatan. Bagaimana dengan
stroberinya? Untuk yang satu ini menjadi sumber rezeki wak Ical, menjelang hari
raya idul fitri perkebunan stroberinya ramai dikunjungi para remaja putri.
Ahh..ada yang kurang,
masih ada bagian dari cerita ini yang menggantung bukan? Siapa sebenarnya Ray
atau yang disebut Faiz kecil? Lalu bagaimana dengan rencana Burhan yang hendak
melamar Aisyah di hari raya idul fitri kedua?
Ray adalah anak dari
seorang pemuda bernama Alfarizi, namanya persis sama dengan Faiz. Teman Faiz sesama
mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi ke negeri Sakura. Beruntungnya
Alfarizi itu duluan menikah ketika Faiz berusia dua puluh dua namun tak
beruntungnya istri Alfarizi itu meninggal saat melahirkan Ray. Alfarizi itu
akhirnya memutuskan untuk tinggal serumah dengan Faiz dan menyewa jasa pengasuh
untuk Ray, namun tak beruntungnya lagi Alfarizi itu mengalami kecelakaan hebat
yang mengakibatkan kematian, tapi sebelum ajal menjemput Alfarizi itu sempat
menitipkan Ray kepada Faiz, untuk dijadikan anaknya. Sekarang jelas bukan kalau
Faiz belum menikahi perempuan manapun karena memang Faiz selalu menungggu cinta
Aisyah. Lalu bagaimana dengan cerita Burhan. Burhan dan keluarganya tetap
datang di hari raya kedua untuk melamar Aisyah, namun Aisyah menjelaskan semua
yang telah terjadi. Burhan tidak marah ataupun kecewa. Aisyah sempat bingung
melihat respon Burhan, sedangkan keluarga Burhan pun mengikut saja apa yang
dirasa Burhan. Ternyata Burhan justru jatuh hati kepada Aliya tepat sesaat
berjumpa Aliya pada siang itu. Mamak dan Bapak tersentak kaget, apapula baru
bertemu bisa langsung jatuh hati. Mamak dan Bapak tak akan semudah itu
menyerahkan Aliya, tapi semua kembali pada Aliya. Aliya belum bisa memutuskan
tapi kalau mau bersilaturahmi terlebih dahulu tidak apalah.
Kisah cinta yang cukup aneh, tapi Allah maha pembolak-balik hati, yang
manusia harus pahami adalah tak ada yang salah dengan perasaan....
Oleh: Andwi Putri Lika, 22 tahun, 24 Ramadhan 1433 H, 21:49 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar