Sabtu, 26 Oktober 2013

Ada Ocin di Ambulans


Bismillah..
Sudah lama ya saya tidak menulis cerita, hehe. Blog ini sampe debuan fuh..fuh..*niupin debuu*. Oke.. Ocin datang lagi dengan sebuah pengalaman menarik. Mau tahu ceritanya? Beneran? Okedeh, cekibroot ^^
Dua minggu lalu, Ocin tengah bertugas jaga di Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Jiwa. Ketika baru usai dari visite pasien ke beberapa bangsal bersama dokter jaga dan tiga rekan koas jaga lainnya, hujan deras mewarnai suasana rumah sakit yang dipenuhi pasien sehat fisik namun sakit jiwa (sayang sekali T,T), kami dikejutkan oleh panggilan bahwa ada pasien dengan kecelakaan lalu lintas. Berhubung dokter jaga yaitu mbak Vini masih harus menyelesaikan visite dua bangsal lagi jadilah Ocin dan Vera berinisiatif duluan pergi ke UGD untuk menangani pasien tersebut. Sesampainya di UGD kami mendapati tiga remaja lelaki yang tengah tergolek lemah. Dua diantaranya baik-baik saja alias masih bisa ditanya-tanya. Sedangkan yang satu lagi mengalami penurunan kesadaran, tampak gelisah dan ngigau gitu (baca: delirium), wajah dipenuhi darah dan terlihat tampak sesak. Dari inspeksi terlihat adanya jejas di dada depan. Aduhai, Ocin takut sekali kalau ada trauma thoraks yang megakibatkan trauma organ vital di dalamnya. Trauma yang paling berbahaya dibanding jenis trauma lainnya. Beberapa menit kemudian datanglah mbak Vini, sebagai dokter jaga yang bertanggung jawab memberi pertolongan terhadap pasien ini. 
     Setelah dilakukan pemeriksaan lalu diberikan tatalaksana awal. Pasien ini dianjurkan untuk dirujuk ke rumah sakit yang dapat memberikan pertolongan lebih. Sedangkan dua pasien yang tadi cukup ditangani di UGD rumah sakit jiwa ini. Berangkatlah pasien, keluarga pasien dengan didampingi perawat dan sopir ambulans. Terdengar suara sayup-sayup, “Koas satu orang ikut yukk..”, spontan Ocin melompat memasuki ruang belakang mobil ambulans. Ocin teriak, “ambubaaaaggg..” (maksudnya minta dibawain ambubag) namun apa daya mobil ambulans sudah melaju dengan kencang. 
     Ya Allah.. sungguh lahir dan matinya seorang manusia hanya Engkaulah yang maha tahu. Untuk pengalaman pertama mendampingi pasien dalam kondisi kritis. Tangan Ocin gemetar namun tetap berpegang pada pergelangan tangan kanan pasien. Memastikan denyut nadi tetap ada, teratur dan kuat. Kondisi mobil ambulans yang melaju dengan kencang ditambah remang-remang lampu dalam mobil ambulans, membuat Ocin harus mengandalkan insting. Gerakan dada pasien tidak terlihat amat jelas, apakah bergerak secara simetris, irama nafasnya apakah teratur. Hanya nadi, iya hanya nadi yang bisa terpantau lewat indra peraba Ocin. Baru beberapa menit meninggalkan rumah sakit jiwa, Ocin merasakan tidak ada lagi aliran halus dari bawah kulit pasien. Lalu Ocin teriak, “Mbaaaakkkk… apa kita disini ada ambubaaggg???” suster yang mendampingi duduk di sebelah sopir menoleh ke belakang dari balik jendela kecil, “Tidaakk..”. Seharusnya ambulans sudah dilengkapi perlengkapan yang dibutuhkan dalam situasi gawat darurat sehingga kalau ada apa-apa pasiennya selama diperjalanan dapat dilakukan tindakan. “Nadi lemaahh…” Ocin panik, seolah memberi kode kepada bapak sopir, ambulans tiba-tiba berhenti, pak sopir nanya, “apakah sebaiknya kita bawa pasien balik lagi??”. Wuah, sungguh itu ide konyol, tapi lebih konyol lagi kalau sampai pasien meninggal di perjalanan. “Bapak..kita cari rumah sakit terdekat, rumah sakit swasta tidak apa-apa”. Keluarga setuju mau dirujuk kemanapun yang penting pertolongan tercepat. Ambulans melaju semakin kencang. Tetesan infus Ocin naikkan. Nadi mulai kembali teraba. Alhamdulillah…
     Setengah perjalanan menuju rumah sakit swasta terdekat tersebut pasien muntah menyemprot. Keluarlah darah beserta isi lambung. Muntah ini pas banget muncrat nyaris membuyar di wajah Ocin. Ocin dan perawat magang memposisikan miring si pasien agar muntahan tersebut tidak masuk ke jalan nafas. Daaannnnn muntah sekali lagi. Kali ini mengenai baju Ocin. Hmm…masem khas sekali bau asam lambung. Setelah muntah dua kali pasien kembali gelisah, kaki tangannya bergerak kemana-mana. Pasien mengalami trauma kepala juga. Terbukti adanya muntah menyemprot. 
     Ocin memanggil mbak perawat lagi, memberitahu kalau sebaiknya langsung saja ke rumah sakit tipe A. Ocin memperkirakan kemungkinan pasien bisa bertahan sampai ke rumah sakit tipe A tersebut, tapi mbak perawat masih mengajak ke rumah sakit swasta tersebut. Pengalaman sih, kalau kondisi pasien yang seperti ini biasanya langsung dirujuk ke RS tipe A. jadi mending langsung aja. Daaaannn beneran sesampainya di RS swasta tersebut, pasien belum boleh diturunkan dari ambulans, dokter jaganya masih mau lihat kondisi pasien. Keputusannya pasien langsung aja dibawa ke RS stipe A. okedeehh….dada dada dada beneran mending nggak usah mampir tadi, luamayan hitungan detik ke rs tadi bisa bermanfaat kalau dipakai ambulans waktunya buat melaju kencang guna cepat sampat di RS tipe A. :P
     Mobil ambulans melaju kenceeenng banget. Sama kencengnya dengan irama detak jantung Ocin. Sesekali Ocin teriak, “Edoooo…bertahanlah..kalau nanti sampai di rs kamu pasti ditolong secepatnya..” (sebut saja nama pasiennya EDO, hehe). Entah refleks atau apa, paniknya Ocin melebihi bapak sama temen-temennya si pasien. Harusnya Ocin tetap tenang ya. Maklum kondisi darurat dan ini pengalaman pertama. 
     Sesampainya di RS tipe A, pasien diturunkan dan langsung diserbu tenaga medis yang ada disana. Dari perawat, koas, sampai residen bedah. Well, kalau sudah sampai disini Ocin, mbak perawat dan petugas lainnya sudah bisa narik nafas dalem-dalem. Hehe.
     Ambulans kembali pulang ke RS jiwa. Ocin diajak duduk di depan, tapi Ocin milih di belakang duduk bareng sama adek perawat magang dan pak satpam. Tak terasa keringet Ocin meleleh. Kaki tangan masih lemes bahkan nggak sanggup ngelap keringet (lebay!). Ocin juga sebenernya jadi mual-mual akibat posisi duduk di mobil ambulans yang miring. Selain itu aroma asam lambung pasien tadi mewarnai ujung-ujung lubang hidung Ocin. Ocin melihat adek perawat magang yang duduk berhadapan sama Ocin terkulai lemas. Dia nanya, “kakak sudah makan?”, Ocin mengangguk dan balik tanya, “adek sudah makan?” dia menggeleng. Sabar ya dek, nanti kalau sudah sampai kita bisa makan. 
     --Sabar ya dek, inilah pekerjaan kita..--
      Sesampai di RS jiwa, Ocin cepat-cepat ke kamar jaga koas, langsung mandi jebar jebur dan ganti pakaian yang tadi kena muntah. Alhasil, malam itu Ocin tidak bisa makan bahkan sampai keesokan paginya. Kenapa? Aroma asam lambung muntahan pasien itu masih teringet terus. Hiks..
    
    Pesan buat bocah-bocah: Aduh dek, janganlah bawa motor dulu kalo belum waktunya secara legal. Kalau begini kan kasian sama orang tua. Kasian sama kamunya, jadi terbaring di rumah sakit, mesti dirawat dan nggak bisa sekolah.
     Pesan buat ambulans: hey..alat-alatnya mohon dilengkapi, mungkin bisa secara bertahap. Fasilitas yang cukup ini demi kebaikan pasien.
     Pesan buat Ocin: Cin, siapa suruh ikutan, koas jiwa mana boleh ikutan merujuk pasien umum. Tapi dengan ikut, jadi tahu kan sensasinya bagaimana berkutat dengan waktu ketika nyawa diujung tanduk. Ocin, inilah profesimu kelak, kehidupan realita seorang dokter akan kamu hadapi. Dokter itu harus kejam, harus tetap bisa makan walau dimuntahin pasien, tetep bisa makan walau dieekin pasien sekalipun. Sebab esok hari harus nyiapin energi lagi buat ngadepin pasien lain lagi. Semangat Ocin!
     Pesan buat kamu yang nggak sengaja baca: kalo pas di jalan ada ambulans lewat bunyi TUING TUING TUING (anggap aja bunyinya kayak itu yaa..), ya monggo dikasih jalan. Mereka mengejar waktu, berjuang mempertahankan hidup seseorang, hehe. Terimakasih mbakbro dan masbro sekalian :)
    




Tidak ada komentar:

Posting Komentar