Pagi
ini aku harus segera berangkat. Semua keperluan telah disusun rapi oleh ibu
dalam sebuah tas ransel. Tak lupa pula ibu menyisipkan sebungkus sambal tempe
kering andalannya. Kata ibu, sambal tempe itu selalu bisa menjadi obat, kalau
tidak obat rindu ya jadi obat lapar. Oh ya satu lagi, bisa juga menjadi obat
kantong kering kalau aku dalam keadaan lapar tapi tak punya uang.
“Syahdan…sebelum
berangkat, jangan lupa mampir ke rumah Kakek Aruy. Orang tua itu jangan kau
lupakan, mungkin ada hal-hal yang bisa kau jadikan bekal…”, ujar ibu sambil
menyerahkan tas ransel dan jaket
kepadaku, lalu mencium dahiku. Wajah ibu masih sembab, setelah semalaman
menangis karena keberatan atas keputusanku dan akhirnya berani melepaskan aku
untuk pergi merantau. Aku memeluk ibu, erat. Pelukan hangat inilah yang pasti
sangat aku rindukan, selain sambal tempe kering andalannya. Aku membalas
kecupan ibu. Ku balas berkali-kali malah.
“Anak
keras kepala, jaga diri baik-baik…”
Itulah
pesan dari ibu. Usai pamitan dengan ibu, aku segera melangkahkan kaki. Aku tahu
hingga jarak puluhan meter, sejauh mata ibu masih bisa memandangku, ibu pasti
masih berdiri di bibir pintu. Aku sama sekali tidak menoleh. Ibu terlalu aku
sayangi, mana mungkin aku kuat melihat wanita yang paling aku sayangi menangis.
Lalu
aku singgah di sebuah rumah tua sederhana. Aku disambut oleh rerumputan yang
hijau, pohon mangga dan jambu air yang secara kompak tengah berbuah. Tiba-tiba
aku dikejutkan oleh suara dari atas pohon.
“Hey
anak muda!”
Aku
terkejut, ternyata kakek Aruy yang lagi bertengger di salah satu cabang pohon
mangga.
“Sambut
ini!” seraya melempar tiga buah mangga secara bertubi-tubi. Dengan sigap aku
menyambutnya. Orang tua itu turun dengan lincah, seolah usianya tak lagi tua.
Baiklah,
akan aku ceritakan sekilas tentang sosok Kakek Aruy. Saat aku baru lahir, Kakek
Aruy berusia enam puluh. Kakek Aruy baru pulang naik haji. Ketika orang sibuk
menyambut beliau, di rumahku sedang ramai menyambut kelahiranku. Jadilah
kampung kami berbahagia, menyambut yang pulang haji dan yang baru lahir. Kakek
Aruy yang memberikan nama untukku, Syahdan. Sejak naik haji Kakek Aruy menetap
di kampung dan menghabiskan masa tuanya disini. Jadi, kalau ditanya sudah
berapa lama Kakek Aruy menghabiskan masa tuanya disini, ya kurang lebih
seusiaku, tujuh belas. Bahkan hingga beliau menutup mata. Itu janji beliau.
Kakek
Aruy meletakkan pisau di meja, menyiapkan sebuah piring. Jadilah aku dan Kakek
Aruy menyantap mangga segar yang baru Ia petik tadi. Kakek Aruy tersenyum lebar
melihatku dengan membawa tas dan jaket. Kakek Aruy pasti tahu sekali aku akan
kemana.
“Ibumu
pasti tahu, kakek tua ini yang meracunimu kan anak muda?” Tanya beliau sambil
terkekeh. Aku tesenyum, mengangguk.
“Tapi
ibumu tetap akan menurut kalau racun itu datangnya dari kakek tua ini…haha”
Aku
mengupas mangga dan mengirisnya menjadi bagian kecil. Manis. Mangga ini yang
katanya ditanam tepat waktu aku lahir, jadi usianya sama dengan usiaku.
“Anak
muda, bagaimana tadi waktu ibumu melepasmu?”
“Aku
masih dibilang anak keras kepala, tapi ibu masih memelukku dan membekaliku
sambal tempe kering andalannya.” Aku menjawab lugas
“Haha..ya
begitulah seorang ibu, terkadang kita bingung mana marahnya dan mana kasih
sayangnya. Tapi tenanglah Syahdan, wanita itulah yang akan memudahkan langkahmu
kelak. Kau baik-baik saja disana, doa ibumulah yang nanti akan memberikan
kejutan-kejutan. Kau bisa disebutnya anak keras kepala, tapi setelah itu
bibirnya tak henti mengucap semua kebaikanmu dan untuk kebaikanmu.”
Aku
terdiam. Masih terbayang wajah ibu yang tadi aku tinggalkan. Aku seperti egois,
meninggalkan ibu sendirian di rumah, di kampung ini, sedangkan aku ingin pergi
merantau. Menguji coba nyali. Mencari peraduan nasib di ibu kota. Tapi tak bisa
dipungkiri, tentang kisah petualangan anak muda yang diceritakan Kakek Aruy
minggu lalu begitu meracuni aku. Membecutku sehingga ingin melangkahkan kaki
juga.
“Anak
muda, selain bekal sambal tempe kering andalan ibumu, kakek tua ini juga punya
bekal untukmu. Hanya bekal berupa ocehan-ocehan yang semoga ada sisi yang dapat
kau pikirkan, kau jadikan pemahaman hidup yang sederhana. Kau akan menemui
banyak orang, menemui banyak hal. Itu yang akan membuatmu kaya. Hidup itu amat
sederhana, kita manusialah yang kadang membuatnya rumit. Kau jalani saja
baik-baik hidupmu, ini prinsip, jika kau tidak bisa memberi minimal tidak
meminta. Jika tidak menjadi bagian terdepan untuk memperbaiki minimal tidak
menjadi barisan yang merusak. Lebih banyaklah mendengar daripada berbicara.
Menjawablah apa yang ditanyakan. Dan yang paling penting jangan pernah
mengambil yang bukan porsi kehidupanmu. Beranilah berkata tidak untuk hal yang
kau yakini benar. Selalu pahami, bahwa selalu ada alasan mengapa begini dan
mengapa begitu. Mungkin nanti seiring bertambah usiamu, ada banyak hal yang
sudah kau raih, Syahdan. Tapi tetaplah, pencapaian yang melekat erat dalam diri
kamu yang terpenting. Yang tidak bisa direbut orang, yang tidak bisa disita
negara, yang tidak habis dimakan waktu. Apa itu? Semua ada di kepala dan dalam
hatimu, Syahdan. Tentang pemahaman hidup yang baik.”
Aku
terdiam. Menyerap semua kalimat Kakek Aruy. Aku masih belum terbayang. Kakek
Aruy sepertinya paham dengan melihat ekspresi wajahku.
“Ah,
kau pasti masih bingung. Haha, tidak apa Syahdan. Mungkin bukan hari ini, tapi
esok lusa kau pasti akan paham.”
Masih
ada satu pertanyaan lagi yang masih ingin aku tanyakan, tapi aku ragu-ragu.
“Hmm..kakek,
boleh aku bertanya?”
“Ya,
silahkan…” Mata Kakek Aruy memicing. Menyelidik, seolah tahu arah pertanyaanku.
“Siapa
anak muda yang berpetualang menemani kakek yang kakek maksud itu?”
Seolah
aku membidik anak panah dan kali ini tepat sasaran. Kakek Aruy, mengusap
rambutnya yang memutih. Lalu, jemarinya erat saling menggenggam satu sama lain.
“Aku
sudah menunggu pertanyaan ini anak muda!”
Aku
tersenyum. Memang sejak Kakek menceritakan kisah petualangan itu, sosok itu
membuat aku penasaran. Aku sangat ingin mengetahui siapa sosok itu.
“Dialah
ayah dari ibumu, Syahdan. Dialah yang menemani petualanganku, hingga akhirnya
dia meninggal dunia. Benar adanya jasadnya tidak kami temukan, ah..bukan, tidak
kami temukan tapi kami persembahkan untuk laut yang kami arungi. Orang-orang
kampung mengira dia mati dimakan binatang buas di hutan. Bahkan ibumu saja
tidak mengetahui ini. Ini janji ku dengannya dan dialah meminta kisah ini hanya
boleh diceritakan kepada keturunannya. Oleh karena itulah, ketika kau lahir,
sepulang haji aku langsung datang ke rumahmu. Syahdan itu titipan nama dari
kakekmu.”
Aku
terhenyak. Aku tidak menyangka sosok yang aku kagumi. Yang diceritakan Kakek
Aruy minggu lalu adalah kakekku sendiri. Kematiannya yang disembunyikan seolah
menjawab semua pertanyaanku selama ini.
“Terimakasih
Kakek Aruy.”
“Ya,
Syahdan..sudah waktunya kau berangkat.”
Aku
bangun dari kursi rotan di pekarangan rumah Kakek Aruy. Kakek Aruy memelukku
dan menepuk pundakku.
“Berpetualanglah
anak muda!”
Aku
tersenyum.
Tiba-tiba
Kakek Aruy melepas pelukannya, dan bertanya, “Hey, apakah sudah ada gadis yang
membuatmu jatuh cinta?”
Aku
terkejut.
“Ah
sudahlah, itu tidak penting. Yang terpenting adalah dimanapun kau berada,
jangan pernah membuat hati seorang perempuan terluka, jangan pernah membuat
golongan ini menangis. Pemahaman hidup yang baik yang aku maksud tadi sepaket
dengan tidak membuat golongan ini menangis. Karena dari golongan inilah asal
muasal kehidupan dan Tuhan juga menganugerahkan surga lewat golongan ini.”
Aku
mengangguk. Dengan masih membayangkan wajah ibu.
Aku
berangkat. Kakek Aruy yang melepasku dan memberi energi yang luar biasa.
***