Kamis, 22 Januari 2015

Misteri Bapak Tukang Jahit




 Kisah ini bermula dari kebingungan saya yang mencari penjahit, yang murah, handal dan bisa selesai cepat. Saya hanya punya waktu kurang lebih satu minggu lagi menjelang pernikahan salah seorang sahabat saya. Akhirnya saya berkeliling kota dengan naik kuda sambil bernyanyi-nyanyi, *ngayal*. Beberapa penjahit yang terkenal dan posisinya mudah dikunjungin pada rame dan antrian pesanan banyak. Saya ga ngerti deh, segitu ramenya ya orang mau nikah, makanya yang jahit kebaya juga rame, loh emangnya urusan kita cin? Wkwk.

Kurang lebih sudah enam penjahit yang saya datangi, akhirnya saya setengah putus asa, maka saya putuskan untuk…… Pulang? Hah, bukan…saya putuskan untuk makan sate. Loh kok makan sate, iyah..abisnya saya kelaperan, hehe. Selesai makan sate, saya menghampiri seorang ibu penjual buah. Saya menanyakan dimana ada penjahit terdekat, dan ibu itu menunjukkan pohon pinang, “nah..di bawah pohon pinang itu ada penjahit..”. Hey, alangkah riangnya langkah saya menuju pohon pinang itu. Sesampainya disana ada dua bapak tua yang menawari jasa jahit. Saya bingung, tapi akhirnya saya memilih bapak tua yang posisinya sebelah kanan biar saya masuk surga. Haha, apa maksudnya? Iya, bukannya kalo yang baik-baik itu sebelah kanan yaakk, hehe. Dan bener, bapaknya baik. Menyambut saya dengan senyum hangatnya. Dan yang paling penting, bisa selesai dalam waktu satu minggu dan harganya murah meriah. Yippy….bahagia tingkat dewa ^^.

Di ujung transaksi ini, ada hal mengejutkan.

“Mba bukan orang sini kan, mba ini kalo bukan orang Palembang, orang Prabumulih..”
“Mba seorang dokter umum yang kerja di rumah sakit kan….”
“Mba pernah naik kereta sendirian kan, dengan memakai masker.”
“Mba duduk di antara anak-anak kecil….”
“Mba mengeluarkan cemilan..”
“Walau saat itu mba pakai masker, tapi detail wajah mba, bapak ingat lho…”

Saya terhenyak…segitu detailnya bapak penjahit ini mengingat saya. Saya membuka lembaran file di memori saya. Ya, memang ada, saya pernah naik kereta pagi sendirian, kereta ekonomi yang duduknya berhadap-hadapan dari Lubuk Linggau menuju Prabumulih. Ya, memang benar ada saya pakai masker dan membawa cemilan. Ya, memang benar ada saya duduk diantara anak-anak kecil yang waktu itu dibawa neneknya untuk liburan. Tapi seingat saya, tidak ada seorang bapak tua yang duduk di dekat saya saat itu. Dan tidak ada saya memperkenalkan diri kepada siapapun, apalagi menyebutkan profesi dan tempat saya bekerja. Tapi si bapak menegaskan, saat itu beliau ada duduk tak jauh dari saya. Dan saya hanya  bisa tersenyum dalam rangka bingung, mikir dan mikir lagi.

Dari kisah ini ada beberapa hal yang kegaringannya bisa jadi catatan dan pelajaran, hehe: (1) Itulah pengaturan Allah, ternyata saya harus berkeliling dan melewati enam penjahit terlebih dahulu baru dipertemukan dengan bapak penjahit ini yang tempatnya tidak terpikirkan, dan ternyata telah mengenal saya sebelumnya. Alhasil, si bapak terlihat segitunya ingin membantu saya. (2) Usia kadang-kadang bikin malu ya, kok si bapak yang jelas jauh lebih tua bisa segitu detailnya mengingat saya, sedangkan saya, hehe. (3) Ini saran sih, kalo cari penjahit ya, kadang kita ikutan yang rame kemana, kita ga pernah tahu kan terkadang ada penjahit lain di pinggiran tapi bagus kerjanya, jadi lebih telaten kerjanya karena orderan ga terlalu banyak dan selesai lebih cepat. Bagi-bagi rezeki lah ya, hehe. (4) Jadi sebenernya bapak ini beneran ada ga sih di kereta waktu itu…… ????


Tidak ada komentar:

Posting Komentar