Kisah
ini bermula dari kebingungan saya yang mencari penjahit, yang murah, handal dan
bisa selesai cepat. Saya hanya punya waktu kurang lebih satu minggu lagi
menjelang pernikahan salah seorang sahabat saya. Akhirnya saya berkeliling kota
dengan naik kuda sambil bernyanyi-nyanyi, *ngayal*. Beberapa penjahit yang terkenal
dan posisinya mudah dikunjungin pada rame dan antrian pesanan banyak. Saya ga
ngerti deh, segitu ramenya ya orang mau nikah, makanya yang jahit kebaya juga
rame, loh emangnya urusan kita cin? Wkwk.
Kurang
lebih sudah enam penjahit yang saya datangi, akhirnya saya setengah putus asa,
maka saya putuskan untuk…… Pulang? Hah, bukan…saya putuskan untuk makan sate. Loh
kok makan sate, iyah..abisnya saya kelaperan, hehe. Selesai makan sate, saya
menghampiri seorang ibu penjual buah. Saya menanyakan dimana ada penjahit
terdekat, dan ibu itu menunjukkan pohon pinang, “nah..di bawah pohon pinang itu
ada penjahit..”. Hey, alangkah riangnya langkah saya menuju pohon pinang itu. Sesampainya
disana ada dua bapak tua yang menawari jasa jahit. Saya bingung, tapi akhirnya
saya memilih bapak tua yang posisinya sebelah kanan biar saya masuk surga. Haha,
apa maksudnya? Iya, bukannya kalo yang baik-baik itu sebelah kanan yaakk, hehe.
Dan bener, bapaknya baik. Menyambut saya dengan senyum hangatnya. Dan yang
paling penting, bisa selesai dalam waktu satu minggu dan harganya murah meriah.
Yippy….bahagia tingkat dewa ^^.
Di
ujung transaksi ini, ada hal mengejutkan.
“Mba
bukan orang sini kan, mba ini kalo bukan orang Palembang, orang Prabumulih..”
“Mba
seorang dokter umum yang kerja di rumah sakit kan….”
“Mba
pernah naik kereta sendirian kan, dengan memakai masker.”
“Mba
duduk di antara anak-anak kecil….”
“Mba
mengeluarkan cemilan..”
“Walau
saat itu mba pakai masker, tapi detail wajah mba, bapak ingat lho…”
Saya
terhenyak…segitu detailnya bapak penjahit ini mengingat saya. Saya membuka
lembaran file di memori saya. Ya, memang ada, saya pernah naik kereta pagi
sendirian, kereta ekonomi yang duduknya berhadap-hadapan dari Lubuk Linggau
menuju Prabumulih. Ya, memang benar ada saya pakai masker dan membawa cemilan.
Ya, memang benar ada saya duduk diantara anak-anak kecil yang waktu itu dibawa
neneknya untuk liburan. Tapi seingat saya, tidak ada seorang bapak tua yang
duduk di dekat saya saat itu. Dan tidak ada saya memperkenalkan diri kepada
siapapun, apalagi menyebutkan profesi dan tempat saya bekerja. Tapi si bapak
menegaskan, saat itu beliau ada duduk tak jauh dari saya. Dan saya hanya bisa tersenyum dalam rangka bingung, mikir
dan mikir lagi.
Dari
kisah ini ada beberapa hal yang kegaringannya bisa jadi catatan dan pelajaran,
hehe: (1) Itulah pengaturan Allah, ternyata saya harus berkeliling dan melewati
enam penjahit terlebih dahulu baru dipertemukan dengan bapak penjahit ini yang
tempatnya tidak terpikirkan, dan ternyata telah mengenal saya sebelumnya.
Alhasil, si bapak terlihat segitunya ingin membantu saya. (2) Usia
kadang-kadang bikin malu ya, kok si bapak yang jelas jauh lebih tua bisa segitu
detailnya mengingat saya, sedangkan saya, hehe. (3) Ini saran sih, kalo cari
penjahit ya, kadang kita ikutan yang rame kemana, kita ga pernah tahu kan
terkadang ada penjahit lain di pinggiran tapi bagus kerjanya, jadi lebih
telaten kerjanya karena orderan ga terlalu banyak dan selesai lebih cepat.
Bagi-bagi rezeki lah ya, hehe. (4) Jadi sebenernya bapak ini beneran ada ga sih
di kereta waktu itu…… ????