Rabu, 10 September 2014

Golden Ticket to Heaven



            Di suatu malam, ketika jarum jam menunjukkan pukul 23.00, saya mulai merebahkan badan dan menarik selimut. Memanjakan sekujur tubuh yang seharian beraktivitas. Selimut berwarna merah jambu di kamar jaga cukup menghangatkan di kala desa Pasar Menjul di kaki Gunung Salak mempersembahkan suhu andalannya, delapan belas derajat. Mata saya mulai terpejam, suasana semakin hening dan saya seolah terhantar ke tidur yang damai nan dalam. Seperti jatuh di alam mimpi, tiba-tiba keheningan itu pecah. Terdengar suara panggilan adanya pasien. Seketika saya beranjak. Hanya dengan pakaian tidur tanpa jas putih dan keadaan setengah sadar.

            Di ruang pemeriksaan saya dapati seorang ibu yang tengah menggendong anaknya. Adalah seorang anak perempuan mungil yang didekap hangat oleh ibunya. Dari kedua tangan si ibu saya melihat terdapat simbahan darah yang mengering. Lalu saya meminta si ibu untuk membaringkan anaknya sembari menanyakan apa yang telah terjadi.

            Anak perempuan itu mengalami perdarahan dari hidung (epistaksis). Namun ketika tiba di klinik, perdarahan itu telah berhenti. Yang tersisa adalah bekas darah yang telah mengering di kedua pipi hingga lehernya. Saya memastikan beberapa hal, pertama perdarahannya memang benar benar telah berhenti, kedua itu merupakan epistaksis anterior, dan ketiga memikirkan beberapa kemungkinan penyebab perdarahan itu, seperti demam, tekanan darah, kelainan darah, trauma ataupun memang si anak memiliki pembuluh darah yang tipis.

            Setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan, saya simpulkan bahwa si anak memilik faktor risiko perdarahan dari hidung dikarenakan oleh bisa jadi dasar pembuluh darahnya yang tipis ataupun kelainan darah. Mengingat ini kasus berulang pada anak itu tanpa disertai demam dan juga tidak ada riwayat trauma. Lalu saya membersihkan bekas perdarahan di wajah anak itu.

            Wajahnya cantik, kulitnya putih, matanya bulat. Anak matanya yang berwarna coklat, sesekali berputar memandangi saya dan sekitar. Rambutnya yang lurus hitam sebahu saya rapikan ketika membersihkan darah di bagian lehernya. Anak itu tersenyum. Ketika saya pandangi, Ia tersenyum lagi. Senyum sederhana tanpa satu kata. Dalam hati saya bergumam, “kamu masih bisa tersenyum sayang….ibumu menangis lho..”.

            Setelah yakin perdarahan memang tidak ada lagi, saya meresepkan beberapa obat yang membantu proses pembekuan darah. Setelah itu, pandangan saya pindah ke titik lain. Saya mulai fokus ke kaki dan bagian tubuh lainnya. Anak itu terlalu mungil, perkiraan saya usianya kisaran 2-3 tahun. Si ibu menjelaskan bahwa anaknya kini berusia lima tahun, dengan berat sebelas kilogram, belum bisa mengucapkan kata-kata, dan baru bisa menapakkan kaki di usia empat tahun. Saya tersontak. Anak perempuan yang berada di depan saya ternyata tidak bisa berkomunikasi. Mungkin karena itulah hanya senyum yang terpancar dari wajahnya, sebab cara itulah Ia berkomunikasi. Si ibu meraih anaknya lagi. Menggendong dan mendekapnya. Si ibu berkata, “beginilah dok kondisi anak saya, ketika lahir dulu beratnya hanya 1,5 kilogram. Pertumbuhannya sangat lambat, jadi saya harus sabar”. Saya terdiam beberapa detik. Memandangi wajah perempuan paruh bayah itu. Perempuan itu terlalu kuat untuk menguatkan dirinya. Lalu saya menguatkan beliau. Si ibu mengambil obat dan berpamitan pulang dengan suara yang samar-samar terdengar ketika si ibu sudah berada di muka pintu klinik.

            Saya kembali ke kamar jaga, lama mengingat wajah anak perempuan mungil itu. Senyumnya yang sederhana ketika dibelai, mungkin itulah yang menguatkan ibunya. Aah, ini seakan mimpi yang hadir di tengah-tengah tidur saya.

            Keesokan harinya saya bercerita kepada seseorang tempat saya menceritakan banyak hal tentang kisah pasien semalam. Ada satu hal yang selalu terngiang di kepala saya hingga akhirnya saya torehkan disini.

“Sebenarnya setiap ibu diberikan Allah kesempatan untuk menabung membeli tiket ke surga. Medianya adalah anak-anak mereka. Namun, untuk ibu-ibu pilihan, mereka dibekali -Golden ticket to heaven-, yang apabila senantiasa dijaga akan menghantarkan mereka ke surga-Nya”
M. Fathur Rohim
(dengan kemasan bahasa yang telah saya daur ulang)
           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar