Di suatu malam, ketika jarum jam menunjukkan pukul 23.00,
saya mulai merebahkan badan dan menarik selimut. Memanjakan sekujur tubuh yang
seharian beraktivitas. Selimut berwarna merah jambu di kamar jaga cukup
menghangatkan di kala desa Pasar Menjul di kaki Gunung Salak mempersembahkan
suhu andalannya, delapan belas derajat. Mata saya mulai terpejam, suasana
semakin hening dan saya seolah terhantar ke tidur yang damai nan dalam. Seperti
jatuh di alam mimpi, tiba-tiba keheningan itu pecah. Terdengar suara panggilan
adanya pasien. Seketika saya beranjak. Hanya dengan pakaian tidur tanpa jas
putih dan keadaan setengah sadar.
Di ruang pemeriksaan saya dapati seorang ibu yang tengah
menggendong anaknya. Adalah seorang anak perempuan mungil yang didekap hangat
oleh ibunya. Dari kedua tangan si ibu saya melihat terdapat simbahan darah yang
mengering. Lalu saya meminta si ibu untuk membaringkan anaknya sembari
menanyakan apa yang telah terjadi.
Anak perempuan itu mengalami perdarahan dari hidung
(epistaksis). Namun ketika tiba di klinik, perdarahan itu telah berhenti. Yang tersisa
adalah bekas darah yang telah mengering di kedua pipi hingga lehernya. Saya
memastikan beberapa hal, pertama perdarahannya memang benar benar telah
berhenti, kedua itu merupakan epistaksis anterior, dan ketiga memikirkan
beberapa kemungkinan penyebab perdarahan itu, seperti demam, tekanan darah,
kelainan darah, trauma ataupun memang si anak memiliki pembuluh darah yang
tipis.
Setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan, saya
simpulkan bahwa si anak memilik faktor risiko perdarahan dari hidung dikarenakan
oleh bisa jadi dasar pembuluh darahnya yang tipis ataupun kelainan darah. Mengingat
ini kasus berulang pada anak itu tanpa disertai demam dan juga tidak ada
riwayat trauma. Lalu saya membersihkan bekas perdarahan di wajah anak itu.
Wajahnya cantik, kulitnya putih, matanya bulat. Anak matanya
yang berwarna coklat, sesekali berputar memandangi saya dan sekitar. Rambutnya
yang lurus hitam sebahu saya rapikan ketika membersihkan darah di bagian
lehernya. Anak itu tersenyum. Ketika saya pandangi, Ia tersenyum lagi. Senyum sederhana
tanpa satu kata. Dalam hati saya bergumam, “kamu masih bisa tersenyum sayang….ibumu
menangis lho..”.
Setelah yakin perdarahan memang tidak ada lagi, saya
meresepkan beberapa obat yang membantu proses pembekuan darah. Setelah itu,
pandangan saya pindah ke titik lain. Saya mulai fokus ke kaki dan bagian tubuh
lainnya. Anak itu terlalu mungil, perkiraan saya usianya kisaran 2-3 tahun. Si
ibu menjelaskan bahwa anaknya kini berusia lima tahun, dengan berat sebelas
kilogram, belum bisa mengucapkan kata-kata, dan baru bisa menapakkan kaki di
usia empat tahun. Saya tersontak. Anak perempuan yang berada di depan saya
ternyata tidak bisa berkomunikasi. Mungkin karena itulah hanya senyum yang
terpancar dari wajahnya, sebab cara itulah Ia berkomunikasi. Si ibu meraih
anaknya lagi. Menggendong dan mendekapnya. Si ibu berkata, “beginilah dok
kondisi anak saya, ketika lahir dulu beratnya hanya 1,5 kilogram. Pertumbuhannya
sangat lambat, jadi saya harus sabar”. Saya terdiam beberapa detik. Memandangi
wajah perempuan paruh bayah itu. Perempuan itu terlalu kuat untuk menguatkan
dirinya. Lalu saya menguatkan beliau. Si ibu mengambil obat dan berpamitan
pulang dengan suara yang samar-samar terdengar ketika si ibu sudah berada di
muka pintu klinik.
Saya kembali ke kamar jaga, lama mengingat wajah anak
perempuan mungil itu. Senyumnya yang sederhana ketika dibelai, mungkin itulah
yang menguatkan ibunya. Aah, ini seakan mimpi yang hadir di tengah-tengah tidur
saya.
Keesokan harinya saya bercerita kepada seseorang tempat
saya menceritakan banyak hal tentang kisah pasien semalam. Ada satu hal yang selalu
terngiang di kepala saya hingga akhirnya saya torehkan disini.
“Sebenarnya setiap ibu diberikan Allah kesempatan untuk
menabung membeli tiket ke surga. Medianya adalah anak-anak mereka. Namun, untuk
ibu-ibu pilihan, mereka dibekali -Golden ticket to heaven-, yang
apabila senantiasa dijaga akan menghantarkan mereka ke surga-Nya”
M. Fathur Rohim
(dengan kemasan bahasa yang telah saya daur ulang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar