“Wah
ternyata di telapak kaki kiri si Putri ada tahi lalat”
“Emang
apa maksudnya?”
“Tahi
lalat di telapak kaki menandakan kalo yang punya kaki, suatu saat akan
melangkahkan kakinya sendiri, dengan langkahnya sendiri dan tujuan atas dasar
pilihannya sendiri.”
“……….”
***
Hari ini tepat satu bulan saya
berada jauh dari rumah. Berbekal kepercayaan dari kedua orang tua dan semangat
luar biasa, saya mencoba berpetualang sambil menunggu jadwal penempatan
internsip. Mungkin beberapa teman ada yang bertanya-tanya, bagaimana saya bisa
berada disini. Saya bawa baju berapa banyak. Saya tinggal dimana. Bagaimana
saya bisa kesana kemari dan apa yang saya dapat. Hal ini terbukti ada beberapa
teman yang sengaja bertanya via line, bbm, dll. Baiklah, akan saya bagi
pengalaman saya lewat tulisan ini.
Adalah kebosanan yang kian lama terhitung
sejak selesai kepaniteraan Januari lalu. Ditambah lagi berbagai rangkaian ujian
kompetensi yang membuat galau. Selain itu proses administrasi yang menyusahkan,
tentu membuat isi kepala ingin pecah. Hari-hari kosong tanpa produktifitas.
Diusia dan kecukupan ilmu yang seharusnya sudah bisa bermanfaat untuk orang
banyak, terasa hampa jika diisi dengan kediaman belaka. Oleh karena itu, saya
mengambil sebuah langkah. Apakah itu? Yap, berpetualang!
Izin Orang Tua
Sebagai seorang anak perempuan,
pastilah sangat dikhawatirkan oleh kedua orang tuanya jika bepergian jauh dari
rumah untuk jangka waktu yang lama. Sendirian. Tanpa kejelasan. Hal ini yang
saya perjuangkan. Saya meminta izin dengan ayah dan ibu saya, dengan meyakinkan
mereka bahwa saya akan baik-baik saja. Saya hanya butuh kepercayaan dan sedikit
bekal uang jajan,hehe. Tapi ayah saya sempat menyangsikan. Oleh karena itu saya
membuat perjanjian tak tertulis dengan beliau. Pertama, cukup bekali saya
dengan uang 1 juta (500.000 untuk ongkos pesawat + 500.000 untuk bertahan hidup
entah bagaimanapun bentuknya), saya berjanji ayah tak akan mendengar rintihan
saya dari sini karena kelaparan ataupun tersesat. Kedua, bukankah proses
terbitnya STR dan penempatan internsip masih lama dan banyak berurusan di
Jakarta, tentu akan memudahkan saya dalam menyelesaikan ini semua. Ketiga, saya
menjanjikan bahwa sepulangnya saya nanti dari petualangan ini, akan banyak hal
yang saya dapatkan, saya selalu yakin itu. Tentang pengalaman hidup, mengenal
banyak orang, dan mengunjungi tempat-tempat yang asing bagi saya. Atas tiga alasan
inilah bapak mengizinkan saya.
Hidup dengan Satu Ransel
Sebelum berangkat ke Jakarta saya
bertanya kepada Kiki teman saya yang kebetulan sudah di Jakarta, mengabdikan
ilmunya di sebuah klinik di Tanggerang. Kiki menyarankan agar saya cukup
membawa satu ransel dengan 5 pasang baju kerja dan baju tidur. Perlengkapan
secukupnya. Serta buku yang bisa saya baca. Dengan semangat empat lima saya
menyiapkan perbekalan menuju ibukota. Sayangnya, ransel kesayangan saya sudah
tiada sejak musibah penghujung Mei lalu (hiks, ransel saya yang isinya kamera
dslr harus saya robek karena dijahilin orang di bus menuju Pekanbaru, dan
kamera dslr saya diganti dengan 2 botol air mineral 600cc). Jadilah saya
menggunakan tas jaga jaman masih koas. Tas baju gede warna biru dengan aksen
Mickey Mouse. Setibanya saya di Bandara Soekarno Hatta, saya dijemput oleh
sahabat saya Fathur dan Indra. Merekalah yang menghantarkan saya ke tempat
Kiki. Well, thank you so much. Ketika
tiba di Jakarta, kiki menyarankan saya untuk menukar tas Mickey Mouse saya yang
gede itu dengan tas ranselnya. Agar lebih mudah kesana kemari katanya. Okesip,
perjalananpun dimulai.
Senin, 11 Agustus 2014 pukul 09.00 pagi,
setelah perut saya terisi bubur ayam yang dibeliin Kiki, saya berangkat menuju
Cigombong (Kab. Bogor). Cigombong adalah tempat saya mengadu nasib dan
mengaplikasikan ilmu saya. Awalnya untuk menuju Bogor saya disarankan untuk
naik kereta. Namun kenyataannya beda, di jalan bersama mamang ojek rekomendasi
Kiki, saya diantar ke terminal bus jurusan Serpong-Bogor. Akhirnya dengan
sebuah bus butut yang isinya lumayan padat, saya berangkat menuju Bogor.
Ongkosnya 20.000 rupiah. Di Bogor saya turun di terminal Baranangsiang dan
lanjut menumpang sebuah travel jurusan Bogor-Sukabumi. Dengan travel inilah
saya menuju tempat yang asing bagi saya, Cigombong. Cigombong adalah sebuah
kecamatan di Kab. Bogor yang arahnya sudah menuju Sukabumi. Tempat yang saya
tuju tepatnya Kampung Pasir Jaya Desa Pasir Menjul di kaki Gunung Salak, sebuah
klinik sosial dibawah naungan yayasan Al-Azhar. Saya turun depan Stasiun
Cigombong dan dijemput oleh Kang Walid, pegawai klinik.
Hari pertama di Klinik Al-Azhar,
saya sudah menerima beberapa pasien. Sungguh mengesankan, karena saya harus
memahami bahasa sunda. Beberapa kosa kata yang menjadi keluhan utama harus saya
ingat benar, seperti “engap” artinya sesak, “atey” artinya gatel, hehe. Di klinik
ini berdasarkan kesepakatan saya mendapat kesempatan 3 hari kerja yaitu Rabu,
Kamis dan Jumat. Maka dari hari Sabtu, Minggu, Senin dan Selasa saya kemana? Inilah tantangannya. Saya
melompat lompat antar klinik mengisi hari-hari tersebut.
Untuk hari Sabtu dan Minggu saya
dapat kesempatan untuk jaga di sebuah klinik di daerah Bekasi Utara. Jam jaga
mulai pukul 09.00 pagi. Saya yang belum pernah ke kawasan Bekasi, mau naik apa,
sama siapa dan bagaimana. Dari Cigombong menuju Bekasi, baiknya berangkat jam
berapa agar tiba di Bekasi Utara kurang dari pukul 09.00. Alhamdulillah, seolah
sudah diatur oleh gusti Allah. Hari Jumat sore saya menerima pasien seorang
bapak tua, yang kerjanya dagang roti di daerah Bekasi. Waw..Waw..Waw…jadilah
saya minta ajarin sama si bapak gimana angkot dari Cigombong menuju Bekasi.
Gimana caranya: 1. Naik Bus jurusan Sukabumi-Bekasi (ongkos 16.000), 2. Naik
Bus jurusan Sukabumi-Kp. Rambutan (ongkos 10.000), nyambung lagi bus Kp.
Rambutan-Bekasi (ongkos 6.000), 3. Naik angkot Cicurug-Sukasari (ongkos 7.000)
terus nyambung angkot ke stasiun Bogor ( ongkos 2.500), lanjut naik kereta
dengan beli e-tiket. Baiklah diatas adalah 3 pilihan cara menuju Bekasi. Hari
Sabtu dini hari saya bangun pukul 04.00 subuh. Merebus air buat mandi, sholat
subuh dan lain-lain. Pukul 05.00 lewat dianter sama Mped (OB klinik) menuju
simpang Cigombong buat nunggu beberapa angkutan yang diajarkan pasien saya
kemaren. Ternyata, teori tak sesuai realisasi. Beberapa angkutan rekomendasi
itu tidak ada yang lewat, sedangkan saya harus tiba di Bekasi pukul 09.00.
Filosofi yang selalu saya pegang adalah, bergeraklah walau semili, itu lebih
baik daripada menanti pergerakan yang kencang namun tak kunjung datang. Akhirnya
saya naik angkot apa aja deh yang penting searah. Jadilah saya naik angkot
Cicurug yang turun di Ciawi (ongkos 6.000), lalu saya nyambung naik bus jurusan
Sukabumi-Kp. Rambutan (ongkos 10.000), nyambung lagi bus Kp. Rambutan-Bekasi (ongkos
6.000). Ternyata saya bergerak dengan opsi angkutan kedua, tapi dengan
perantara angkot Cicurug-Ciawi, haha, never
mind. Setibanya di terminal Bekasi saya naik ojek untuk menuju klinik
tempat saya jaga di Jl. perjuangan. Alhamdulillah, saya tiba pukul 08.35, jauh
lebih cepat dari harapan. Apa kata pegawai klinik disana, “Dok, cepet banget
tiba disini. Baru kali ini ada dokter yang datang lebih cepat dari jadwal jam
jaga…”. Huahahaha..yaiyalah..kamu ga tahu kan kalo buat berangkat kesini saya
bangun dari jam empat ((EEMMPAATTT)) *pake toa*.
Disini saya jaga untuk 2 x 24 jam. Jadi
kalo mulai jaga pukul 09.00 hari Sabtu, maka selesainya pukul 09.00 hari Senin.
Nah, bukankah hari Rabu saya baru jaga di Cigombong. Lalu bagaimana Senin malam
Selasa, kemanakah saya. Sebenernya sih saya bisa ke tempat Kiki atau sodara di
Tanggerang. Tapi jauh banget dari Bekasi. Okelah, saya menganggap seolah saya
ga tahu harus kemana lagi. Akhirnya saya membuka lowongan kerja dokter,
ternyata ada sebuah klinik yang membutuhkan dokter pengganti untuk hari Senin.
Klinik itu berada di daerah Cikarang. Tepat sekali, sesuai pencarian saya. Tempat
menyambung nyawa satu malam dan ga jauh dari Bekasi. Tapi saya keluar dari
klinik di Bekasi jam 09.00 pagi, sedangkan klinik di Cikarang meminta saya
untuk mulai jaga jam 09.00 pagi juga. Duh, gimana coba. Akhirnya saya
komunikasiin sama dokter yang minta gantiin jaga, dan si TS kasih kompensasi
saya telat (jam berapa aja yang penting gantiin dia, haha) dan si TS juga
ngajarin saya rute angkotnya.
Petualangan ke Cikarang kali ini
ditemani sebuah tas ransel di pundak dan amplop berisi honor dua hari jaga
kemaren *muka sumringah*. Dari klinik Bekasi saya naik angkot dengan kode 09
menuju Mega Mall Bekasi (ongkos 4.000), lalu nyambung naik angkot elef ke
Cikarang (ongkos 7.000). Turun depan Mall Lippo Cikarang. Nah, pas disini saya
ga tahu lagi naik angkot apa. Dan saya bingung mau nanya siapa. Tahukah kalian
apa langkah yang saya ambil?? Yaakk saya refreshing ke Mall Lippo Cikarang. Saya
baru inget kalo baju saya tinggal satu setel dan ga ada baju lagi buat besok. Masuklah saya ke dalam mall. Krik krik..pegawai
mall masih nyapu-nyapu, haha..yaiyalah orang mallnya baru buka. Setelah muter
muter ga jelas, saya baru nyadar saya kan mau lanjut cari klinik Cikarang buat
jaga. Akhirnya saya bertanya kepada Pak Satpam mall, dan naiklah saya angkot 17
Turki menuju klinik itu. Ternyata jauuuuuuuuuhhhh banget. Hingga saya turun di
depan Mega Regency, pundak saya rasanya mau lepas. Oh ya disini kayaknya saya
dibegoin mamang angkot, saya kasih 10.000 ga dikasih kembalian. Pas saya
pelototi, dikasih kembalian 2.000, jadi ongkosnya 8.000, lebih mahal dari
ongkos Kp. Rambutan-Bekasi. Haha, ga apa-apa deh, emang saya yang salah ga
survey harga dulu sebelum naik angkot. Dan saya dijemput oleh Robi (OB klinik
di Cikarang).
Saya tiba di klinik Cikarang pukul
11.00. Dua jam ngaretnya, hehe. Saya langsung mengeluarkan jas putih dan
stetoskop. Mumpung belum ada pasien saya merebahkan badan terlebih dahulu. Huu….saya
terharu, ga nyangka saya udah sampe Cikarang aja. Dan tiba-tiba pintu kamar
berbunyi…”tok..tok… dokter ada pasien”. Hap hap hap dengan semangat saya
menerima pasien tersebut. Tentang kedua klinik Bekasi dan Cikarang akan saya
ceritain lagi di bab khusus. Selanjutnya saya akan cerita tentang perjalanan
pulang.
Selasa, pukul 09.00 saya sudah
dipersilahkan selesai jaga. Tak lupa menerima amplop hasil jaga 24 jam, hehe
*senyum sumringah lagi*. Kali ini ga kagok lagi, saya hanya mengulangi rute
angkot pergi kemaren. Namun pas sampe Bekasi, saya baru celingukan nyari angkot
ke stasiun dan mau naik kereta untuk pertama kalinya. Bersama siapa saya naik
kereta? Tentu dengan tas ransel di pundak saya dong!
Saya ada urusan ke Konsil Kedokteran
Indonesia untuk urusan STR. Saya beli tiket kereta jurusan Jakarta Kota dan
turun di Cikini (ongkos 8.000, kalo ga salah lupa juga,hehe). Iya itu awalnya. Entah
kenapa, saya bengong dan yang pasti ga ngerti. Saya turun di stasiun Gondangdia.
Ketika keluar dari stasiun, e-tiket saya ditolak. Saya ga bisa keluar. Terus saya
panik dan bingung. Lalu saya digiring oleh Pak Satpam ke posnya. Sedih amat
yaakk, disana e-tiket saya dibaca, harusnya turun di Cikini tapi saya turun di
Gondangdia. Saya bilang aja saya pertama kali dan saya ga ngerti. Pak Satpam
ketawa dan tetap ngikutin prosedur untuk menarik e-tiket saya dan saya kena
pinalti 5.000. Hahaha, ada-ada saja. Tapi saya bahagia, dengan itu saya jadi
tahu. Untuk pulangnya, saya sudah paham dong. Jadi ga ada aksi diajak ke pos satpam
segala. Saya pulang dengan kereta jurusan Gondangdia-Bogor. Beneran turun di
Bogor, ga kemana-mana lagi. Yaiyalah, kan stasiun Bogor itu ujungnya
stasiun,hahaha. Lalu saya balik lagi ke Cigombong, ke kaki Gunung Salak lagi
dengan rute angkot yang sudah saya lewati. Ahh..bahagianya balik ke kaki gunung
lagi setelah 3 hari berpanas ria di Bekasi-Cikarang.
Single
Fighter in Cigombong
Awal kesepakatan saya hanya dapat 3
hari kerja, namun bertambah menjadi 5 hari kerja. Ternyata dokter lain selain
saya yang jaga disini belum bisa datang, alhasil saya jadi pemain tunggal. Jaga
klinik 7x24 jam, terus dan terus sampe saya internsip, hehe. Baiklah akan saya
utarakan betapa saya nyaman disini. Klinik sosial ini bukanlah klinik komersial
yang mencari keuntungan lewat pelayanan medis. Klinik ini murni menyalurkan
donasi para dermawan untuk para dhuafa yang telah memenuhi kriteria mereka.
Jadi pasien disini gratis. Beberapa ada yang pasien umum, namun dikenakan biaya
yang amat murah. Sistem seperti ini ada untung ruginya. Untungnya adalah, kita
sebagai dokter kerja ga ada beban. Waktu ngeresepin obat ya ngeresep aja,
karena gratis, ga perlu mikirin kantong pasien. Selain itu kita ga akan kena syndrome
kejar target yang pengennya pasien banyak datang supaya pendapatan besar.
Selain itu pasien-pasien disini ramah dan bersahabat. Kerugiannya ya kalo
jumlah pasien terlalu ramai, sedangkan honor kita dibayar flat. Tapi itu bukan jadi masalah, karena niatkan hanya karena
Allah. Bekerja akan lebih ringan dan menyenangkan, hehe. Gaji tambahannya ridho
Allah.
Klinik ini tepat di kaki Gunung
Salak. Hanya melangkahkan kaki dari muka klinik, saya bisa memandangi puncak Gunung
Salak. Di halaman depan terdapat lapangan hijau tempat anak-anak bermain bola.
Di halaman belakang terdapat pekarangan nan hijau tempat saya menjemur pakaian.
Dari sisi kiri klinik, ini sudut kesukaan saya, sudut dimana membuat hati orang
yang memandang menjadi tenang. Setiap pagi saya membuka jendela kamar, barisan
hijau pohon jati selalu menjadi pemandanga.
I do really love it.
Disini juga tersedia dapur dengan
peralatan masak yang lengkap dan juga mesin cuci. Suasana disini membuat saya
semakin nyaman karena pegawainya baik dan bersahabat banget. Kang Walid
(pegawai TU) yang berbaik hati menerima saya disini dan ngizinin kalo saya lagi
ada urusan keluar, hehe. Kang Dayat dan Mped (OB klinik) yang berbaik hati
mengantar saya kesana kemari dan ga bosan nanyain saya, “dok mau sarapan apa? Mau
makan siang apa? Makan malam apa?”, selain itu bersedia saya repotin setiap
pagi buat angkatin air anget yang saya rebus buat saya mandi, hehe. Teh Yully,
mitra kerja yang bersahabat, suka ngajarin kosa kata sunda dan setia nemenin di
dapur kalo lagi mau masak bareng.
Disini suasananya sepi dan amat
tenang. Baik untuk beristirahat dan menenangkan pikiran. Tapi kalo buat hidup
jangka panjang, mungkin bisa bosan. Lalu bagaimana untuk saya yang setiap hari
disini? Saya mengisi hari-hari saya dengan memasak, berbelanja ke pasar
tradisional Cigombong, mencuci, mengunjungi kebun jambu, membaca dan menulis
(iya termasuk menulis cerita ini,hehe).
Dan rasa sepi juga bekurang, karena
sesekali Kak Fathur datang mengunjungi saya, tak lupa membawakan buku-buku
bacaan untuk saya. Menikmati indahnya Cigombong bersama saya. Meniti jalan
menuju Gunung Salak yang lebih tinggi, namun nyatanya kami tersasar, haha. Meniti
jalanan Batutulis yang disana sini terdapat hamparan sawah yang menghijau.
Berbelanja ke pasar, lalu pulang lewat jalanan curam hanya karena penasaran
pengen memandang jarak dekat barisan sawah yang indah, yang kebetulan kami
lihat dari pasar Cigombong. Masak sama-sama dan ditutup makan sama-sama. It’s very wonderful day.
Dan begitulah hari-hari indah di Cigombong ini
akan saya nikmati hingga akhir September ini. Yap, karena awal Oktober saya
sudah berstatus sebagai dokter internsip.
Cicurug VS Cibedug
Ini kisah
ketika saya minta izin untuk keluar dulu dari klinik menuju Jakarta, tepatnya kawasan
Pasar Minggu untuk membuat rekening BRI yang merupakan salah satu syarat
internsip. Sepulang dari Pasar Minggu, ketika turun di stasiun Bogor saya ingin
mencoba naik angkot kecil bukan naik travel untuk ke Cigombong. Jadilah saya
naik angkot biru (ongkos 2.500) menuju Sukasari, lalu lanjut naik angkot
Cicurug (ongkos 7.500) yang kebetulan juga berwarna biru. “Punten a’, kalo mau kearah Cigombong abdi naik angkot mana a’?” Tanya saya, “Naik angkot depan aja teh,
angkot Cicurug”. Da sayapun bergegas, “Nuhun a’..”.
Yap, saya naik angkot biru, tapi
bukan yang berada tepat didepan angkot yang saya naikin tadi. Abisnya ngetem,
pasti lama, jadi saya memilih untuk naik angkot yang berada di depannya dan
langsung jalan. Saya kebagian kursi di depan, berdampingan ama aa sopirnya. Kaki
saya lurusin, dan saya bersandar sambil memeluk tas. Sesekali mata saya
terpejam dan kepala mengangguk-angguk. Ketika di Ciawi, saya agak heran karena
arah angkot yang saya tumpangin ini malah menjauh dari arah Sukabumi, justru kearah Cisarua. Saya ga ambil pusing karena bisa jadi ini jalan alternatif saya
pikir. Hingga diujung perjalanan angkot ini, saya baru sadar, ini daerah asing.
Lalu saya nanya sama aa sopirnya, “a’, kalo saya mau ke Cigombong ntar turun
dimana ya?”. Apa jawab sopir angkotnya, “wahh..teteh salah naik angkot,
harusnya angkot Cicurug, kalo ini angkot Cibedug”. Jeng Jeng Jeng….dan angkot
sudah menuju Tapos aja. Memang sih tempatnya indah, kayak bukit-bukit gitu. Beberapa
terdapat resort tempat orang-orang berlibur. Namun saya tak cukup bisa
menikmati pemandangan itu dengan baik, sebab saya teringat dengan pasien di
klinik Al-Azhar pasti lama nunggu kalo saya pulang kesorean. Lalu saya kirim sms untuk kang
Walid, buat kasih tahu kalo saya salah naik angkot. Apa coba jawabnya, “Ga
apa-apa dok, anggap aja jalan-jalan..”. Dan senada banget dengan guyonan sopir
angkot yang saya tumpangin, “Ga apa-apa teh, anggap aja teteh lagi jalan-jalan
ke Tapos”. Haha, it’s unforgettable experience.
Perjalanan ke Baduy
Setelah beberapa minggu jadi pemain
tunggal di klinik Al-Azhar, ada rasa bosan mendera. Kebetulan saya mendapat
tawaran dari temen buat ikut trip Bakrie Amanah ke Baduy hari Sabtu Minggu. Lalu
saya minta izin buat ga jaga di Al-Azhar dua hari karena pengen banget ikut ke
Baduy. Alhamdulillah, Kang Walid mengizinkan. Dan yaakk… kaki dokter Putri
beneran sampe ke Baduy. Ulasan tentang Baduy saya tulis disini. Perjalanan singkat itu membuat saya mengenal orang-orang
baru. Pak Wawan, Pak Har, Pak Didi, Pak Jufri, Asep, Mba Ria, Mba Tuti, Mba
Ida, Mba Riani, Mba Eko dan Mba Tri. How
lucky I am to know them, and stay in Baduy for two days with them. Alhamdulillah,
silaturahmi ini berlanjut. Pak Wawan mengajak kembali ke Baduy akhir September
ini, dan saya senang sekali karena saya ingin menindaklanjuti satu pasien
kemaren yang kakinya mengalami multiple abses. Selain itu, Pak Wawan juga
mengajak trip ke Garut untuk bakti sosial di desa tertinggal awal Oktober
mendatang. Aah, namun sayang sekali itu jadwal saya internsip.
Demikianlah
Catatan Kaki Dokter Putri.
Petualangan ini terjadi karena galau
menanti jadwal internsip yang seolah tak kunjung datang. Ternyata dengan
bergerak dinamis sesuatu hal yang ditunggu menjadi seolah tak ditunggu, justru
saya merasa…oh..saya sudah harus internsip ya, padahal sebelumnya, kapaaaaan
saya internsip, haha. Seperti yang saya tulis diawal bahwa,
“Bergeraklah walau semili, itu lebih baik
daripada menanti pergerakan yang kencang namun tak kunjung datang”.
Andwilika Putri