“Maaf,
ada panggilan masuk. Sebentar ya..” Ujar suara dari seberang
Aku
mengangguk.
Perbincangan
ringan yang telah beralangsung 52 menit 16 detik itu harus terhenti seketika.
Nada sibuk khas sang provider terdengar sumbang dari earphone. Aku melepas salah satu earphone yang tadi menempel di liang telinga kiri ku. Sembari
menunggu panggilan tadi masuk lagi, aku meraih buku bacaan yang kemarin aku
pinjam dari sahabat kecil, Your Job is
not Your Career. Aku melanjutkan bacaan ku.
Nada
sibuk ala sang provider cukup mengganggu konsentrasi ku. Aku melirik durasi
panggilan yang tertera di layar handphone,
1 jam 4 menit 8 detik. Sempat terpikir untuk menekan tombol akhiri
panggilan, namun niat itu aku urungkan. Mengapa? Ah, sebut saja ini keajaiban
pertama. Aku melanjutkan bacaan ku lagi. Hingga di durasi panggilan 1 jam 28
menit 17 detik, nada sibuk ala sang provider mendadak berubah. Sempat hening
sejenak, lalu terdengar suara seorang lelaki dewasa dari seberang. Suara yang asing bagiku, namun gaya berbicara
yang justru terasa tidak asing bagiku.
Aku
terdiam sejenak. Tangan ku meraih earphone
yang tadi aku lepas. Sekarang kedua earphone
terpasang mantap di kedua liang telinga ku. Aku mendengar kata demi kata. Lalu
suara lain lagi terdengar. Suara lelaki muda yang jelas tadi berbincang
denganku. Aku seolah mendengar perbincangan antara dua lelaki yang gaya
berbicaranya nyaris sama. Yang membedakan hanya, suara kebijakan, dari salah
satu suara itu terluncur kalimat-kalimat bijak, nasihat tanda kasih sayang. Ada
apa ini? Apakah aku terjebak dalam perbincangan antara ayah dan anak? Ah, sebut
saja ini keajaiban kedua.
Tidak
bisa dipungkiri, jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Jelas saja,
dalam perbincangan mereka, sesekali ada namaku disebut. Hipotesisku, telah
terjadi kesalahan teknis atau mungkin sebuah ketidaksengajaan. Lawan bicara ku
yang pertama tadi tanpa sadar menekan tombol conference. Mengapa bisa terjadi? Ah, sebut saja ini keajaiban
ketiga.
“Ayah,
ini sudah terhubung dengan Puri. Ayah bisa ngobrol langsung dengan dia.” Ujar
Lian dari seberang.
Ups..aku
mendadak panik. Benar. Ini memang keajaiban. Keajaiban yang diusahakan. Siapa yang
merencanakan? Siapa lagi kalau bukan Lian, yang pandai membuat aku takjub. Aku yang
tadi terdiam, sempat melamun beberapa saat terhanyut dengan perbincangan mereka
tiba-tiba mendadak kikuk.
Aku
berusaha menenangkan diri. Setidaknya membantuku agar tidak menjadi semakin
kikuk. Aku hanya membutuhkan waktu kurang dari satu menit saja untuk mengatur
irama nafas, termasuk detak jantung agar kembali normal. Ada apa ini? Ah, sebut
saja ini keajaiban keempat.
Suara
orang ketiga itu adalah suara ayah Lian. Awal perbincangan yang manis. Sederhana
namun mendalam. Ayah Lian becerita sekilas tentang Lian semasa kecil. Tentang
diri Lian yang sebenarnya sudah banyak diceritakannya sendiri namun kali ini
Ayah yang menegaskannya. Aku senang mendengarnya.
Hal
ini sungguh keajaiban. Ah, sebut saja ini keajaiban kelima. Aku dan Ayah berada
di kota yang sama, namun berbincang via telepon dengan diperantarai Lian yang
justru berada di seberang pulau.
“Puri,
Ayah sudah mengenalmu sejak dulu. Namamu tidak asing. Bahkan Ayah pernah
melihatmu menjadi pemandu acara perpisahan angkatan I”, suara Ayah terdengar
semakin tajam.
Aku
tersanjung. Ternyata Ayah Lian telah mengenal ku sejak remaja. Saat ini, usiaku
menginjak usia dewasa muda. Dipertemukan kembali dengan Lian dengan cerita yang
berbeda. Apakah sebenarnya maksud dari semua ini? Apakah ini juga keajaiban?
Ah, dengan berbesar hati aku menyebutnya ini keajaiban. Ya, keajaiban yang luar
biasa. Namun, aku tidak akan memberi label angka. Sebab pertemuan ini adalah induk dari semua
keajaiban.
Ayah
Lian mengungkapkan bahwa seorang Lian membutuhkan “Panitia Pengarah”. Istilah
yang sontak membuat aku dan Lian tertawa. Istilah yang sederhana namun memberi pemahaman
yang lebih. Terakhir, ayah berpesan bahwa segala sesuatu itu tergantung niat
awalnya. Jikalau niat kita baik, maka semua harapan-harapan baik itulah yang
menjadi tujuan.
“Untuk
Lian dan Puri, semakin munajatkan doa kalian, semangat untuk saling mengisi itu
juga semakin diperkokoh…”
“Iya
Ayah….”
***
Dalam hidup ini, ada
waktu kita diberi amanah. Istilah boleh jadi kiasan, namun dibalik itu tersimpan
pemahaman yang lebih. Ini tentang bagaimana senantiasa tulus mengingatkan
ketika lupa, menemani ketika sepi, mengobati ketika luka, menenangkan ketika
resah, dan bersinergi meraih semua mimpi.
Puri, Mengapa kau
menuliskan ini?
Aku hanya takut
keajaiban-keajaiban ini tersapu oleh debu, hilang diterpa angin….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar