Sore
itu, ketika saya, Sindy dan si Bungsu Dela tengah asik guling-guling di kamar
mami sambil foto-foto selfie, tiba tiba
si Dela melompat dari tempat tidur. Posisi tubuhnya berdiri tepat di hadapan
hidung saya.
“Yuk
Uti…..”
“Iya….naon?”
“Yuk
Utiiiiiii……..”
“WHAATTTTTT????”
Mohon
maklum, adek saya yang bungsu ini orangnya agak atraktif. Di kepalanya penuh
berbagai macam ide dan kekonyolan. Bisa sewaktu-waktu diam dan bisa
sewaktu-waktu bertingkah aneh. Kali ini ada sesuatu yang ingin Ia ceritakan.
“Yuk
Uti…kemarin siang kami berantem dan dipanggil kepala sekolah”
“BAGUS….KEREEEEEENNNN….!!!!”
ujar saya dengan antusias. “Terus?”
“Ya,
kami berantem dengan temen kami yang namanya Ayu” jawabnya.
“Kok
bisa?” Tanya saya penasaran.
“Iyalah,
dia bilang kepala aku kepala batu, ish…waktu dia nonjok jidat aku, bukan jidat
aku dong yang lecet, yang ada malah tangannya yang berdarah. Ya iyalah, udah
tahu aku kepala batu masih berani dia nonjok.”, jelas Dela sambil mukanya agak
sinis menahan kesal.
“HAHAHA…terus?”,
saya semakin semangat mendengar kelanjutan cerita Dela.
“Lalu
kami disidang di ruang kepala sekolah, guru-guru memarahi kami. Ibunya Ayu juga
datang ke ruangan dan marah sama kami. Kata Ibu Ayu kami jangan
berantem-beranteman, kan nanti mau pisah-pisah juga. Nanti Ayu mau pindah yuk,
lulus SD ini Ayu akan melanjutkan sekolahnya ke Jakarta. Terus kami disuruh
salam-salaman tanda perdamaian. Ga sadar aja, kami udah nangis-nangisan,
sedih.” Dela mulai melankolis.
“Jadi
sekarang udah damai nih? Apa masih ada dongkol di hati?”
Dela
menggeleng.
“Jadi
beneran damai?”
Dela
mengangguk.
“Yaudah,
TOSS dulu sama Yuk Uti..”, saya menyodorkan telapak tangan kanan ke hadapan Dela.
Dela bingung, tapi tetap membalas telapak tangan saya dengan tepukan ringan
dari telapak tangannya.
“Ayuk
dulu juga waktu SD pernah berantem dan dipanggil ke ruang guru. Ayuk dan
temen-temen ayuk juga disidang. Bandelnya, setelah disidang kami bukan berdamai
tapi malah semakin hangat, pengen berantem jilid 2. Lulus dari SD kami
pisah-pisah, ketemu hanya sesekali. Bahkan ada yang ga ketemu lagi sampe
sekarang. Apa yang kami rasain? Nyesel udah berantem? Ga sama sekali. Ayuk
malah bangga pernah berantem waktu SD. Setidaknya menunjukkan eksistensi ayuk
jadi bocah keren angkatan 90an, haha. Lalu gimana pas ketemu temen-temen yang
dulu beranteman? Sama sekali ga nyisa dendam, ga ada edisi pengen berantem
jilid 3,4,5,6 dan seterusnyaaaaaa, yang ada malah jadi bahan lucu-lucuan.
Kadang ayuk kangen dengan temen-temen SD. Mikir, apakabar mereka sekarang. Udah
nikah belum, udah punya anak belum, anaknya berapa, dan lain-lain” saya
bercerita sambil memandangi langit-langit kamar mami. Terbayang masa SD yang
sudah lama itu. Membayangkan betapa dongkolnya saya dulu waktu lawan berantem
saya menaruh sepatunya di rok merah saya yang otomatis ngecap telapak sepatu
dia. Dan saya seperti kompor keluar bara api naga, pengen bales dengan menaruh
dua cap telapak sepatu saya. Tapi itu dulu, sekarang cuma jadi kenangan manis.
Saya tertawa sendiri…
“HOIYYYY…..kok
jadi melamun dan ketawa sendiri sih” Dela mengejutkan saya.
“Iya..iya…jadi
cerita Dela tadi sampe mana?” Saya balik nanya.
“Yaudah
sampe yang tadi aja, intinya kami sekarang berdamai”
“BAGUS!
Del, bahkan nanti kamu akan sangat merindukan temen kamu yang namanya Ayu itu.
Dua puluh tahun lagi ketika kalian bertemu bisa jadi penampilannya sudah
berubah, dan kalian akan saling mengenang betapa konyolnya kalian dulu”
Dela
tersenyum. Mengangguk. Memahami apa yang saya sampaikan.
“Eh,
ngemeng-ngemeng Yuk Uti boleh nyoba nonjok jidat kamu Del? Sekeras apa sih?”
Saya mencoba meraih kepalanya yang berjidat lebar.
“EITTSSS….”
Dela menghindar. Melompat menjauhi saya sambil tertawa terbahak-bahak. Dan saya
masih mencoba meraih jidatnya yang konon sekeras batu.
***
Dan
begitulah obrolan singkat antara duo Lika. Ga nyangka pengalaman Lika gede sama
kayak pengalaman Lika kecil. Kami berjarak tiga belas tahun. Kami berdua sama-sama
anak bapak yang diselipkan ‘Lika’ di akhir nama kami. Percaya atau tidak, suatu
kejadian bisa kita pahami maknanya setelah belasan atau puluhan tahun
setelahnya. Kali ini kisah Dela yang sudah saya rasakan tiga belas tahun silam.
Jadi, jikalau kita merasakan suatu kejadian apapun itu bentuknya. Kejadian yang
membuat emosi meluap-luap, nangis nangis banjir air mata, atau apapun bentuk
ekspresi emosi khususnya yang berhubungan sama temen. Yakinlah, nikmatin aja.
Bayangin dua puluh-tiga puluha tahun yang akan datang, ini hanya akan jadi
bahan lelucon. Iya, bahan lucu-lucuan ketika kumpul. So, enjoy this life, why so serious?
Lubuk
Linggau, 11 Mei 2015
Si Lika
(gede)