Stase kedua yang saya jalani adalah Ilmu Kesehatan Anak. Panjang ceritanya bisa terdampar di stase anak. Hari pertama kami (Saya, Sisca, Haris, Kiki, dan Kak Karin) datang terlambat ke ruang konferensi di Departemen Ilmu Kesehatan Anak di lantai empat karena baru tahu dapet stase anak sekitar pukul tiga siang. Pembekalan untuk hari pertama tidak banyak kami dapatkan, tidak masalah karena masih ada satu minggu ke depan :).
Banyak
komentar atas rotasi stase kami yang aneh ini, jarang sekali dari stase mayor
ke mayor lagi, apalagi Penyakit Dalam dan Anak dikenal dua stase mayor yang
paling menguras energi. Lagi-lagi atas nasehat Dokter Budi, dari Penyakit Dalam
ke Anak berarti 50% sudah jadi dokter. Mungkin karena sudah melewati stase PDL
kami lebih percaya diri dan bisa dibilang lebih siap karena tugas dan gambaran
kedua stase ini beda-beda tipis. Okey kami siap berjuang!
Untuk saya
pribadi, awalnya saya agak aneh dari PDL ke Anak, dari yang pasiennya
besar-besar, eh sekarang kecil-kecil, dari awalnya stetoskopnya gede, eh
sekarang stetoskopnya kecil banget apalagi stetoskop untuk neonatus, dan masih
banyak lagi ke-jet-lag-an saya. Selain itu ketika melakukan pemeriksaan
terhadap pasien dewasa kita bisa bernegosiasi sedangkan dengan anak kecil kita
harus menggunakan jurus jitu supaya mereka mau diperiksa (ini yang awalnya buat
saya stres). Misalnya untuk mengukur suhu, anak kecil akan teriak
sekuat-kuatnya ketika termometer hendak diselipkan diketiak mereka padahal
tidak sakit sama sekali. Beruntung Kak Ervien menukar termometer saya dengan
termometer berkepala anjing apa kucing (entahlah), terimakasih ya lumayan
membantu,hehe pasiennya malah mau makan termometer saya.ahh...
Secara umum
tugas dokter muda di stase ini sama dengan stase PDL. Setiap dokter muda akan
dibagi pasien dan wajib di follow-up setiap pagi. Pasien-pasien tersebut
tergantung dengan boks yang sedang dilewati sesuai jadwal, menulis resep dan
tetek bengek ini itu sesuai apa yang direncanakan untuk pasien tersebut. Di
stase ini juga dokter muda bertugas jaga malam di bangsal dan IRD. Ada empat
bangsal yaitu:
- Sayap A yaitu bangsal kelas dengan jenis semua penyakit, pasiennya ga banyak, jaga disini enak, ada sofa empuk di counter perawatnya, koas bisa molor (hmm..maunya), hehe.
- Sayap B yaitu bangsal yang terdiri atas lima kamar, empat ruang ISO, dan satu ruang high care. Disini pasien yang dirawat adalah pasien gastro, neuro, respiro, gizi, dan infeksi imunologi. Jumlah pasien super duper banyak, kalo lagi banyak kabarnya bisa sampe koridor, kalo jaga disini jangan berharap bisa tidur sampai pagi, siapin kopi lima gelas, siapin juga balsem karena besoknya jadi ga enak badan, dan bawa sepatu roda buat mondar-mandir guna menghindari kaki kamu patah seribu :D.
- Sayap C yaitu bangsal yang terdiri atas lima kamar. Pasien yang dirawat adalah pasien Hemato, Nefro, dan Kardio. Pasien disini biasanya sudah lama dirawat (karena rata-rata penyakit yang diderita seumur hidup atau untuk menyembuhkannya butuh waktu yang lama) jadi keluarga pasien bahkan sudah hafal terapi yang biasa diberikan. Jaga disini agak lebih baik dibanding sayap B, kalau lagi sepi koas bisa tidur (tetep) hehe.
- Kamar Neonatus yaitu kamar yang isinya bayi semua, didalam kamar tersebuat ada lima ruangan, pengalaman saya pernah jaga sendirian, jumlah bayi bisa lebih dari tiga puluh, disini jangan harap bisa tidur nyenyak karena suara tangis bayi-bayi ini seperti orkestra saling bersaut-sautan satu sama lain.
- IRD yaitu Instalasi Rawat Darurat (ya iyalah, ini kepanjangannya) yang posisinya di IRD, punya ruang tersendiri, dingin dan tenang kalau lagi tidak ada pasien datang. Kalau lagi beruntung bisa tidur, ada sofa di sudut ruangan ini, tapi kalau lagi rame bisa lebih rempong dibanding jaga sayap-sayap di atas.
Untuk
kegiatan Ilmiah setiap dokter muda wajib mempresentasikan satu kasus di RSMH
dan satu kasus di rumah sakit jejaring, di daerah. Selain itu ada yang disebut Journal
Reading yang akan dikaji dan dipresentasikan sesuai di boks mana kita dapat
jadwalnya. Keuntungan dari adanya Journal Reading ini kita bisa
melatih critical thinking kita dan kembali mengulang pelajaran blok tiga
dulu.
Dari sepuluh
minggu yang dijadwalkan satu minggu pertama pembekalan jadi bebas jaga dan
bebas follow up (surga banget,ahhh..), dari minggu kedua hingga minggu
ke enam mengikuti rotasi boks A,B,C,D,E dan setiap sabtu ujian boks. Minggu ke
tujuh berangkat ke rumah sakit jejaring yaitu RSUD Kayu Agung, Rumah Sakit Bari
Palembang, dan RSUD Baturaja.
SAYANG ANAK!
SAYANG ANAK!
Kesan yang
saya dapatkan dari stase ini adalah "tidak ada ibu yang tidak sayang
kepada anaknya", mengapa demikian? jelas karena begitulah yang saya temui.
Di stase ini saya lebih banyak main perasaan (hapaahh..). Oke, ini cerita
ketika saya jaga sayap B.
Suatu malam
sekitar pukul satu, seorang anak dibawa ibunya datang dengan diare akut derajat
dehidrasi ringan sedang. Anaknya rewel tapi masih mau minum. Selain dianjurkan
banyak minum, teruskan ASI kalo masih ASI, dan yang pasti oralit. Karena
ditakutkan anak itu ga bisa minum maka akan dilakukan rehidrasi via infus
otomatis anak tersebut dirawat. Akhirnya dua mbak perawat dan satu kakak
perawat yang malam itu jaga bergegas membawa anak itu ke ruang tindakan untuk
dipasang infus. Disini anaknya teriak-teriak, ya iyalah setiap anak yang saya temuin
pasti nagis kalo mau dipasang infus, belum pernah ada yang ketawa sambil
nari-nari minta ditusuk. Sudah lebih dari sepuluh kali mencoba, mbak perawatnya
gagal mendapatkan pembuluh darah yang tepat, padahal sudah ngubek-ngubek
pembuluh darah disemua ekstrimitas. Mungkin karena sudah terlalu dehidrasi
alias jatuh ke dehidrasi derajat berat makanya pembuluh darah kolaps, anaknya
juga kali ini ga teriak lagi, nangis juga ga keluar air mata (buaya) lagi ketika ditusuk-tusuk, lemas
dan pasrah sambil bilang tusuk aja tusuk aja aku rela (oh..ga yang ini boong). Waktu
menunjukkan pukul tiga, anak itu semakin lemah karena dehidrasinya,
satu-satunya jalan rehidrasi adalah via oral, ya..anak itu diberi ASI dulu oleh
ibunya dan diberi oralit juga. Jangan bilang ibunya ngeluh haus terus bilang
susu saya kering, kalau sampe demikian tentu dengan jiwa heroik saya akan
membawakan ibu tersebut satu gentong air dan saya letakkan gentong itu
disamping si ibu sambil berkata “mari bu kita sama-sama berjuang, ibu nyusuin
si anak, saya nyentongin air ke mulut ibu, jangan ketuker saya nyusuin, ibu
nyentongin air kemulut saya, itu tidak mungkin”, ini lebay. Oke kembali lagi ke
cerita, si anak mau nyusu tapi dengan tampilan letoy-letoy (letargi.red) gitu, kebayang kan betapa
sedihnya si ibu melihat anaknya yang demikian, dan kisah ini latar tempatnya
adalah koridor depan kamar-kamar sayap B, sumpah saya pengen nangis dan
menghibur ibu itu dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, eh salah maksud saya
lagu Bunda-Melly Goeslow. ASI sudah diberikan tapi produksinya ga maksimal dan
anak itu harus dikasih oralit. Drama dimulai lagi karena ternyata oralit di ruang
tindakan habis atau sayanya aja yang ga ketemu nyari diseluruh kotak-kotak
persediaan. Saya lapor sama kakak residen yang jaga, alhasil saya disuruh nanya
sama semua emak-emak di kamar gastro yang anaknya diare, pastilah mereka punya persediaan,
minta satu atau dua bungkus dulu. Baiklah saya akan berjuang sambil berlari
menuju kamar gastro dan teriak, ”Auwwoooo....” (ups ini bukan hutan andwi!!! let back to normal).
“ibu-ibu.. di depan ada yang sakit diare juga, anaknya
belum bisa diinfus, sekarang butuh oralit, tolong bagi dulu bu, sebungkus atau
dua bungkus, kasian anaknya.” Tampang saya memelas berharap mereka akan memberi
oralit. Satu dua ada yang cuek aja, malah nerusin molornya, bahkan ada juga
yang malah nyumputin oralitnya, astagaaaa.. Tapi ada seorang ibu-ibu nyerahin
dua bungkus oralit, alhamdulillah terimakasih bu semoga dimudahkan rezeki dan
enteng jodoh, oh tidak mungkin, si ibu sudah bersuami.
Akhirnya anak itu dikasih oralit, sedikit-sedikit tapi
sering. Sudah habis oralit nyambung lagi ASI. Dilihat agak baikan, segera mbak
perawat memasang infus dan alhamdulillah kali ini berhasil. Si anak sudah bisa
dibawa ketempat tidurnya, infus jalan, nyusu juga jalan. Waktu menunjukkan
pukul lima subuh, si anak tidur pulas, tanda-tanda dehidrasi sudah berkurang,
perbaikan, alhamdulillah. Si ibu ga tidur sampe pagi, saya? Masih sempet tidur
dong sekitar dua puluh menitan, hehe lumayan. Terimakasih ya tante dokter, kata
si ibu. :) :) :)
PIPIS
DIKANTONG KRESEK
Masih ada
pengalaman lain yang ga kalah serunya, masih juga ketika jaga sayap B. Suatu
malam datang seorang anak perempuan usia lima tahun dibawa ibunya dengan TDBD
grade III, anaknya letoy, nadinya lemah tapi si anak masih sempet ngomel-ngomel
gara-gara kedua tangannya diinfus. Ya iya dong dek, kamu itu memang harus
diinfus, infusnya harus dua, kalo ga diinfus ntar pembuluh darahnya makin
bocor, isinya habis, nadinya ga bisa diraba lagi. Gawat kan! Nanti adek jadi
hantu, mau? Mau? Mau? Mata saya melotot. Oh tidak, saya ga sekejam itu kok sama
anak kecil.
Malam itu
saya harus sering-sering memantau (follow
up.red) adek ini setiap lima belas menit sekali untuk menilai keadaan umum
dan ngecek infusnya, memastikan jumlah tetesannya pas, jalan terus dan harus
diganti kalau sudah habis, dan satu lagi yang bikin saya repot ngitung pipis,
minum, dan infus yang masuk (diuresis.red).
Sebenernya ga repot kalau si adek bisa diajak negosiasi tapi yang terjadi
adalah si adek nahan pipisnya. Entah dia yang nahan pipis atau memang ga bakal
pipis-pipis. Kalo memang ga pipis, gawat kan, gagal ginjal akut pula ni adek,
kamu juga kan dek yang susah, kecil-kecil ginjalnya sudah rusak, saya bisa apa
coba? Bisa apa dek? Saya nangis sesunggukan, hiks..hiks..(saya boong!). Saya
lapor sama kakak residen yang jaga, instruksinya adalah pasang kateter.
Eng..Ing..Eng..saya yakin dan percaya pasti si adek meronta kagak mau, jelas!
Dipasang infus aja dia ngomel apalagi dipasang kateter. Lalu saya didampingi
mbak perawat memasang kateter si adek. Benar perkiraan saya si adek
meronta-ronta, jempalitan, salto-salto sampe kami ga bisa menghalau lagi
(ahh..boong lagi!). Tapi beneran si adek meronta-ronta. Lalu kakak residen datang,
ikut mendampingi. Karena si adek meronta-ronta, justru itu lebih bahaya, yang pertama
vaginanya ga bisa dibuka, yang kedua bisa ketuker kan mana lubang vagina mana
lubang uretra (danger.red), dan yang
ketiga kalo dalam keadaan tegang gitu mana bisa masuk kateternya, yang ada
malah melukai. Okeh pasang kateter dibatalkan sebagai gantinya si adek disuruh
pake pampes. Si adek boleh kencing sesuka hati deh, nanti kalo pampesnya udah
penuh dengan senang hati akan saya lepas lalu saya timbang, berapa jumlah urin
yang dikeluarkan. Dengan sigap saya ke lantai empat menuju ruang neonatus buat
minjem timbangan. Dan dan dan..lagi-lagi si adek ga mau pipis di pampes. Aduh
dek..kamu maunya apa? Mau saya mati gitu terus jadi hantu?iya, terus ngantuin
kamu? Mau?mau?mau?. “Mau” jawabnya, Nah lho saya bisa apa?.
Si adek mau
pipis kayak biasa tapi ga mau turun ke WC. Jadi apa? Ide cemerlang saya adalah
gimana kalo pipis di kantong kresek, adek ga perlu turun dari tempat tidur
nanti biar saya yang nampung. Waw.. si adek dengan senang hati mau pipis di
kantong kresek. Waw juga, saya lega akhirnya si adek mau pipis, sepertinya
perjuangan saya berbuah manis, alhamdulillah. Keliling lah saya mencari kantong
kresek sampe ke kamar ventri ujung sayap B.
Saya datang
lagi membawa kantong kresek. Ayo dek pipis, saya tampung nih pipisnya
(menyiapkan kresek yang menganga tepat dibawa vagina si adek).
Tes..Tes..Tes..si adek pipis,huaa..senangnya. Ibunya senang saya pun riang.
Hmm..tapi itu hanya sekejap, keriangan itu sirna ketika si adek tiba-tiba
berdiri. Hahh..kebayang kan anak perempuan yang ga punya titit (ya..iyalah)
pipis sambil berdiri, pipisnya meleber-leber tapi saya tetap harus
menampungnya. Otomatis kalo pipisnya meleber ke kaki kiri tangan saya dan
kresek ikut kekiri juga dan kalo pipisnya meleber ke kaki kanan tangan saya dan
kresek ikut ke kanan juga. Pipis tertampung dan tangan saya kena pipisnya dan
dengan manisnya si adek ketawa, dia terhibur, hhe terimakasih dek (nyengir
kuda).
Diuresis
bagus, infus jalan terus, nadi teraba reguler isi dan tegangan cukup, tensi
bagus, si adek tidur pulas, ibunya bahagia, dan saya merana :(.
NYOSOR!
Selain jaga
bangsal seperti saya jelaskan diatas, dokter muda juga bertugas menjaga kamar
neonatus yang isinya hasil perbuatan lelaki. Kalau jaga disini tugas dokter
muda mnghitung cairan, memantau keadaan umum, nimbang BB bayi, fototerapi, dan
lain-lain sesuai order. Nah kalo udah selesai tugas, kita santai-santai dan
waktunya bermain dengan adek bayi. Kembali lagi ke eek, disini dokter muda
sangat bersahabat dengan eek dan pipis juga. Ketika bayinya nangis ada tiga
kemungkinan, yang pertama mungkin bayinya laper, yang kedua mungkin popoknya
basah karena abis eek atau pipis, dan yang ketiga mungkin si bayi kangen sama
mamanya makanya nangis merintih sambil nyanyi, “mama..oh mama..aku ingin
pulang”. Nah kalo bayinya nangis karena popoknya basah ga tega kan kalo
dibiarin aja. Sebenernya ini tugas perawat, tapi ga salah juga kita yang
gantiin popoknya, itung-itung belajar pasang popok, kan mau jadi ibu :D. Tapi
kalo bayinya nangis karena mau nyusu, dokter muda ga berdaya karena dokter muda
belum produktif untuk yang satu ini...weew. Nah ini cerita saya tentang susu
menyusui. Di ruangan ini setiap tiga jam ibu-ibu si bayi dipanggil buat nyusuin
bayi mereka, kasian kalo yang ibunya ga dateng, jadilah si bayi disuapin susu
formula sama mbak perawat. Nah ada satu bayi, namanya bayi Iqbal, kasian si
Iqbal mamanya ga pernah datang jadi Iqbal nyusunya pake susu formula. Pernah
ketika saya gendong, ya ampun..entah kanji atau kelaperan atau kangen sama
mamanya, si Iqbal nyosor-nyosor ke ketek saya geser dikit ke dada. Matanya
berkaca-kaca, Kasian si Iqbal, saya sampaikan permohonan maaf saya kepada bayi
Iqbal karena saya belum waktunya menyusui :D.
Mungkin
disinilah saya latihan jadi seorang ibu. Saya jadi sering gantiin popok. Kalo
ada bayi yang popoknya basah cepet-cepet saya ganti. Karena sudah terlatih saya
jadi lihai dan berhasil menciptakan beberapa gaya popok bayi, misalnya popok
gaya anak bebek, popok gaya orang utan, popok gaya pocong, popok gaya obama dan
masih banyak gaya-gaya lain (semuanya boong!). Suatu ketika ada ibu bayi yang
lain melihat saya pasang popok lalu bertanya, “dokter sudah menikah?”,
ahh..saya senyum-senyum,”belum bu, kenapa?” si ibu terkagum-kasum sama
saya,”iya, kirain dokter udah nikah, pinter banget pasang popoknya.” Saya agak
menangakkan kepala, pundak saya mengembang, ya iyalaah..gue gitu. Lalu si ibu
nanya lagi, “usia dokter berapa?” saya jawab dan nanya balik, “dua puluh dua,
ibu berapa?”, si ibu menjawab, “tujuh belas”.JLEB.. saya galau segalaunya,
bukan galau karena pengen nikah juga (hmm..padahal iya,wkwk) tapi usia saya
yang segini mungkin udah cocok punya dua atau tiga anak, kalo nikah muda.
"Seneng di gendong dokter ini, abisnya cantik" :D :D :D (Tuing..Tuing..) |
"Dokter..Iqbal galau, mama ga dateng-dateng padahal Iqbal laper, Iqbal mau nyucu, hiks.." |
GAYA KEJANG
Di sayap B
ada dua kamar yang isinya pasien neurologis semua. Paling banyak kasus kejang
demam, ensefalitis, dan meningitis. Gejala klinis yang tampak juga kebanyakan
kejang. Kadang-kadang anak-anak yang bukan pasien neurologis juga kalo demam
hati-hati bisa kejang juga, karena memang anak-anak usia enam bulan sampai lima
tahunan rentan kejang kalo suhunya naik. Nah, ada berbagai gaya kejang yang
pernah saya temuin. Sedih banget, pernah suatu ketika, pengalaman saya jaga
sayap B pertama kali masih kagok dengan ini itu. Tiba-tiba seorang ayah pasien
memanggil saya agar dilihat dulu anaknya, ketika saya mendatangi anaknya, si
ayah mengangkat anaknya yang lurus, kaku seperti mengangkat papan. Anak itu
spastik, squele dari penyakitnya.
Gaya kejang lain yang pernah saya temuin adalah ketika saya memeriksa pasien
bayi usia enam hari. Ketika masuk ke dalam ruangan bayi itu saya bingung karena
ruangani itu gelap. Lalu saya mulai memeriksa keadaan umum dimulai dari menilai
suhu bayi, saya letakkan termometer di ketiak bayi (axilla.red). Dan..dan..dan..si bayi tiba-tiba kejang, mulut
mencucut, dan sambil nangis. Nah yang satu ini memang jenis kejang yang
diprovokasi oleh rangsangan, yaitu tetanus nonatorum. Sedih ya, hari gini masih
ada tetanus neonatorum. Makanya sudah saya bilangin kan tempo hari, jangan
melahirkan sama dukun beranak, puser si bayi di kasih arang lah, rumput lah,
cabe lah, kunyit lah, tomat lah, jahe lah, daun singkong, bulu ketek domba,
semua-mua..hheehh..geram geram geram (versi upin ipin). Kebayang kan betapa
sedihnya si mama ga bisa memeluk, membelai, dan mencium si bayi karena ga bisa
kena rangsangan takut si bayi kejang. Untung aja si papa bayi mencoba
menenangkan si mama, “sabar ya ma, mungkin ini cobaan buat kita, kita jangan
putus asa, kita usaha lagi, kita buat lagi” (hmm..maunyaa). Gaya kejang yang
lain lagi, yaitu ketika ada seorang ibu (lagi-lagi) memanggil saya minta
diliatin anaknya kejang, hhoo..secepatnya saya mendatangi pasien itu, adek
kecil usia tujuh bulan demam dengan suhu tiga sembilan derajat, kakinya
goyang-goyang, tangannya goyang-goyang, kepalanya peang-peang, dan sambil
nangis tapi ga keluar air mata, keluar dikit-dikit aja. Pokoknya gayanya
seperti lagi jaipongan tapi versi guling-guling. Lalu saya lapor kakak residen
dan kami pun berdua mendatangi si adek.”Hmm..ini mah bukan kejang, semacam
pengen nendang-nendang aja, ini ga keras, ga ada tahanan, adeknya nangis juga
nih, kasih propiretik aja untuk menurunkan suhunya” kakak residennya
menjelaskan dan berlalu pulang. Adeknya sekarang diem, santai kayak ga ada
masalah, padahal tadi persis kayak kejang. Entah mungkin saya yang bego, yang
pasti itu semua karena saya panik duluan. Lalu saya mendekati si adek,
"dek..kamu ini mau bercanda ya? Mau jahilin saya ya? Kamu pikir ini lucu? Okeh,
saya doakan besar nanti kamu jadi pelawak!!!"
Begitulah
kejang, datang tak diundang pergi tak diantar. Kejang merupakan tampilan klinis
dari suatu penyakit. Terkadang antara teori diatas kertas berbeda dengan klinis
pasien yang kita temuin, makanya makin sering berinteraksi dengan pasien maka
makin banyak bentuk kejang yang kita temuin. Mungkin kalo antar pasien bisa
ngobrol mereka akan saling unjuk gaya kejang masing-masing. “coy, liat nih gaya
kejang aku” sambil kejang-kejang ala inul lagi ngebor, lalu teman sebelahnya
membalas seolah ga mau kalah, “ahh..cupu itu mah lokal, aku barusan ikut
pelatihan kejang internasional dua ribu dua belas” sambil kejang-kejang ala
Micheal Jackson. Maaf, maaf, maaf saya cuma bercanda. Ibu-ibu di rumah kalau
mendapati anaknya kejang jangan sambil bercanda juga ya, ibu-ibu lancarkan
jalan nafas, longgarkan apa saja yang sifatnya menekan, jangan dikasih makan
atau minum nanti kesedak, jangan juga mulutnya diganjel pake sendok, saputangan
apalagi pake batu gilingan karena bisa menghalangi jalan nafas, lalu secepatnya
bawa anaknya ke instalasi rawat darurat terdekat.
SEKOTAK ROTI
Kata orang,
kalau jadi dokter dan kerjanya di pedalaman atau perkampungan yang jauh dari
peradaban, ga akan aneh kalo nanti pasiennya bayar pake kelapa, pake beras,
pake pete ataupun jengkol. Hhe, tapi saya bukan mau cerita tentang pete ataupun
jengkol, ini kisah tentang sekotak roti.
Namanya
Luvya, anak perempuan berusia tiga tahun, lagi lucu-lucunya. Adek ini bertempat
tinggal di Lampung. Datang ke Palembang hanya untuk ikut mamanya berkunjung ke
rumah sodara. Malang nasibnya, satu hari di Palembang masih bermain-main
seperti biasa dan minta dibeliin es krim namun ketika malam harinya,
JLEB..Luvya demam tinggi. Luvya dibawa ke rumah sakit, ternyata dijalan Luvya
juga kejang. Sesampainya di rumah sakit Luvya mengalami penurunan kesadaran,
keadaannya memburuk. Luvya dirawat di PICU (Pediatric
Intensive Care Unit.red). Beberapa hari kemudian Luvya mengalami perbaikan
dan dipindahkan ke bangsal sayap B. Di sini saya bertemu dengan Luvya. Keadaannya
membaik tapi masih belum sadarkan diri. Saya harus memantau keadaan umum Luvya
setiap tiga puluh menit. Setiap suhunya agak panas mama Luvya memanggil saya
dan saya pun mendatangi Luvya. Karena keseringan saya jadi akrab dengan mamanya
dan anggota keluarganya yang lain. Walau ga dipanggil, saya seneng aja
ngunjungin Luvya, entah kenapa ada perasaan tersendiri untuk pasien yang satu
ini. Sedih melihatnya terkulai lemas di tempat tidur, saya yakin dan percaya
andai Luvya ga sakit kayak gini pasti Luvya anak yang lucu, pinter dan
nyenengin mama papanya. Hmm.. suatu malam sekitar pukul satu dini hari saya
datang ke kamar Luvya sekedar ingin
melihat keadaannya, mamanya tidur papanya tidur, Luvya juga tidur, takut malah
mengganggu saya diam-diam keluar lagi dan saya dikejutkan dengan suara yang
samar, “Dokter...!” saya menoleh dan ternyata papa Luvya bangun dan memberikan
sekotak roti kepada saya, “ahh..ga usah pak” saya mundur dan berat menerima
roti itu, “ga apa-apa dokter, dokter pasti bergadang kan, mungkin ini bisa jadi
cemilan” papa Luvya masih menyodorkan sekotak roti itu, akhirnya saya terima
sekotak roti itu, “ Terimakasih ya pak..”. Hhaahh..saya terhura dan sungguh
terhura. Saya tidak mengikuti lagi perkembangan Luvya karena keesokan harinya
saya harus berangkat ke Baturaja. Tiga minggu kemudian sepulangnya saya dari Baturaja,
pasien pertama yang saya cari adalah Luvya. Apa Luvya masih dirawat? Apa sudah
pulang dengan dinyatakan sembuh? Atau sebaliknya..ahhhh..saya sungguh
penasaran, saya cari di bangsal sayap B, Luvya sudah ga ada lagi. Rasanya saya
ingin mengubek-ubek rekam medis dan mencari rekam medisnya Luvya, gimana kisah
Luvya, tapi untuk mencari rekam medis bisa rempong urusannya, akhirnya saya
nanya-nanya sama salah satu ibu perawat yang sudah senior, berharap ibu perawat
ingat sama pasien satu ini, dan Alhamdulillah ternyata Luvya sudah pulang
sekitar dua minggu yang lalu dan sembuh. Ada rasa kangen yang luar biasa,
padahal sebelum berangkat ke Baturaja saya niatnya mau beli buku cerita untuk
Luvya dan minta alamat rumahnya karena mamanya Luvya berpesan nanti main ke
rumah Luvya, tapi karena terlalu sibuk nyiapin ini itu buat ke Baturaja saya
jadi lupa. Luvya oh Luvya semoga nanti kita bisa ketemu ya, entah kapan dan
dimana, semoga kamu jadi anak yang solehah, sehat terus dan pinter :).
BATURAJA
Minggu ke
tujuh para dokter muda berangkat ke daerah. Saya pilih RSUD Baturaja, ga punya
alasan yang ilmiah, yang jelas bersama teman-teman sejawat yang luar biasa
banyak ilmu dan pengalaman yang saya dapat. Berikut pengalaman yang saya dapat
disana...
EEKNYA
MUNCRAT..CRAT..CRAT..!
Namanya
Haikal, usianya lima bulan, kulitnya putih, tubuhnya gendut, mukanya cakep
(saya tunggu kamu dek dua puluh tahun lagi, nah lho) dan kalo tidur pantatnya
nungging-nungging (posisiwuenak.red).
Nah ada apa dengan Haikal? Biasa seperti anak-anak pada umumnya kalo baru ganti
susu formula biasanya mencret-mencret bahkan sampe muntah-muntah, ini namanya
alergi susu (intoleransi laktosa.red).
Derajat dehidrasi biasanya ringan sampe sedang, ga perlu dirawat cukup ganti
cairan yang hilang dengan (tetep) minum ASI, ganti susu formula yang rendah
laktosa, minum oralit, dan suplemen zink selama sepuluh hari. Tapi kebanyakan
si ibu cemas dan minta anaknya dirawat aja, padahal ini lebih berbahaya, anak
kecil kan masih rendah tuh sistem imunnya, kalo berada di rumah sakit justru
berpotensi terkena infeksi nosokomial. Kembali lagi ke Haikal tadi ya.. adek
ini adalah pasien saya waktu saya ngoas di RSUD Baturaja. Setiap pagi saya
semangat datang ke bangsal dan Haikal selalu jadi pasien yang pertama saya
kunjungin. Selain Haikalnya lucu, gendut, cakep, koperatif mamanya Haikal juga
ramah. Tapi pagi itu ketika saya datang Haikal lagi tidur pulas kayak kebo,
seperti biasa pantatnya nungging-nungging. “loh, kok pagi-pagi tidur nih
Haikal?” tanya saya sambil meraba nadi. “Iya tante dokter, Haikal semalam
bergadang kan ada pertandingan bola”, jawab
si mama. Ah keren banget kan Haikal kecil-kecil suka bola, buat saya
makin cinta. “Haikal nonton bola?” tanya saya penasaran. “Bukan, papanya yang
nonton”, jawab si mama santai. Ga
nyambung kan? Iya ga nyambung.
Hasil
anamnesis saya pagi ini adalah Haikal ga ada muntah lagi tapi masih eek encer
tiga kali dari kemaren sore. Hasil pemeriksaan fisik bagus. Tapi saya tidak
lantas begitu aja ninggalin Haikal, rasanya pengen lama-lama cubit-cubit
pipinya, gigit-gigit pantatnya. PANTAAATTT, hhah..ngomong-ngomong tentang
pantat, waktu saya nepuk-nepuk pantatnya yang indehoy, CRAATT..CRAATT..eek
Haikal muncrat mengenai rok dan baju koas saya. Saya pengen nangis bukan karena
sedih tapi terharu, konon katanya kalo anak kecil mau pipis atau eek deket kita
berarti anak itu nyaman sama kita. Tapi tetep aja saya sedih karena harus balik
ke kamar dan ganti baju. Hmm..yang namanya anak kecil ya, kita di-eek-in aja ga
marah kan, malah seneng, coba kalo kita, jangankan eek, kentut aja orang-orang
disekitar kita mau marah.
Eek..oh Eek.
Ternyata ketika saya ujian akhir di stase anak, saya dapat kasus diare. Saya
diuji oleh konsulen yang cantik, baik, pintar lagi tegas. Ketika ujian status
ada beberapa pertanyaan seputar eek pasien diare, dari frekuensi, jumlah,
konsistensi, warna, dan bau. Nah bau, dokternya nanya saya gimana aroma eek
bayi yang diare. Huaaaww..mulailah saya mencari file memori yang pernah
ditangkap oleh syaraf olfaktorius saya akan baunya eek Haikal waktu itu. Saya
nyengir dengan bangga karena saya pernah di-eek-in oleh Haikal, otomatis saya
tahu. Lalu dokternya nanya, “gimana aromanya?”. Saya menghayal aroma ayam
gureng ala ipin sambil berkata,”ayam gureeng...ayam gureeng..” Ups ini
menyimpang. Saya mencoba menjawab dengan percaya diri dan akhirnya saya nyegir
aja (gaya mahasiswa kalo lagi ditanya konsulen dan ga tahu apa jawabannya),
saya ga bisa mendeskripsikan aroma itu. Dokternya bilang ANYIR, ya anyir emang
anyir. Ujian saya selesai nilainya alhamdulillah, dan saya ucapkan terimakasih
Haikal. :) :)
"nama saya Haikal, kalo tidur saya suka nungging-nungging,hehehe"
"Haikal sempet digendong dokter sebelum pulang, Haikal sekarang SEHAT!" |
ohooo..ini sekilas pengalaman saya selama di stase anak, postingan yang lain bakal saya aplot foto-foto yang lain ^^.