Terkadang kita memang harus
disuruh berjalan lebih jauh, berputar-putar, kebingungan, lalu tersadarkan,
bahwa “kompas kebijakan” akan membawa kita pulang, pulang ke asal, ah..bukan
asal, tapi lebih seperti titik dimana kita memulai perjalanan...
Teman, ini bukan
cerita serius. Mohon tidak perlu ditanggapi dengan isi kepala yang berlebihan,
helaan nafas yang panjang, dan tetesan peluh yang ribuan. Cukup duduk manis,
selipkan senyum simpul. Sudah itu saja. Terimakasih sebelumnya.
***
“Sudah, dimana
Put posisi mu?”
“Sudah di tempat
Nanan instruksikan tadi”
“Toilet umum
yang bersebelahan dengan mushola?”
“Hha, iya Nan..”
***
Sore
tadi, Putri menerima kiriman sebuah kain songket. Kain songket kesayangan ibu
yang akan Ia kenakan di sebuah acara hari Minggu nanti. Kain songket yang sudah
dititipkan ibu lewat Nanan dan Neno. Siapa Nanan dan Neno? Please, mereka bukan teman yang datang dari negeri Sakura. Kedua
itu hanya panggilan sayang. Nanan artinya wak
lanang dan Neno artinya wak betino.
Putri,
Nanan dan Neno sepakat untuk bertemu di taman kota, di dekat sebuah pasar kecil
di muka kota. Setibanya di taman kota, Putri mulai menelusuri jalanan dari
sebatang pohon yang daunnya begitu rindang. Sekali lagi, sebatang pohon yang
daunnya begitu rindang.
Putri
berjalan, menyusuri taman kota, menuju sebuah pasar kecil. Siapa tahu Nanan dan
Neno ada disitu. Belum tahu, Nanan dan Neno ada dimana tepatnya. Tapi Putri
tetap melangkah pasti, melanjutkan langkah kakinya, entah kemana.
Sebuah
keramaian. Senang sekali menyaksikan beragam wajah disini. Tidak perlu
jauh-jauh pergi ke bioskop untuk menonton film. Cukup disini saja. Disini ada
sebuah film kehidupan, yang nyata, bukan fiktif belaka. Mungkin sebagian orang
tidak akan tertarik. Tapi disini, menyimpan banyak cerita. Jelas saja, disini,
sebuah taman yang dipenuhi oleh ratusan pasang mata. Sebuah aktivitas rutin di
pasar kecil ini. Ada yang berjualan dan ada juga yang membeli. Apa hanya
diramaikan dua komponen ini? Iya sebuah pasar kecil di muka kota, sejatinya ada
yang menjual dan ada yang membeli. Tapi masih ada komponen lain yang ikut nimbrung. Turut meramaikan cerita pasar kecil ini. Komponen ketiga adalah
mafia-mafia terdidik oleh kerasnya kehidupan. Apalagi kalau bukan para
pencopet.
Satu,
dua, tiga orang sibuk menjajakan jualannya. Beberapa yang lain sibuk juga
memilih barang apa yang hendak dibeli. Dan tak ketinggalan, komponen ketiga
tadi, dengan tangan-tangan terlatih, merogoh kantong-kantong yang pemiliknya
lengah. Putri sebagai penonton, malah ketakutan. Putri disini memang hanya jadi
penonton. Penonton film kehidupan.
Tiba-tiba
tersadar, bahwa kedatangannya kemari adalah untuk menemui Nanan dan Neno. Putri
mengambil handphone dari sakunya,
segera mencari kontak yang Ia namai “Nanaaaaaaaaan” dan segera menekan tombol call.
“Halo..halo..”
terdengar suara dari seberang. Riuh. Suara yang tidak terdengar jelas ditutupi
oleh suara bisingnya keramaian.
“Halo,
Naaannn...”
“Iya..iya..dimana
Put?”
“Sudah
di pasar kecil dekat taman kota.”
“Iya,
Nanan tidak jauh dari situ. Coba berjalan ke arah pinggir, cari pohon-pohon,
Nanan ada dibawah pohon”
“Iya
Nan, disana ada pohon. Apa Nanan disitu?”
“Iya.”
“Pohon
kamboja ya.”
“Tutt..
Tutt” panggilan berakhir. Putus begitu saja.
Putri
berjalan menuju barisan pohon Kamboja di pinggiran pasar. Mencoba menerobos
keramaian pasar kecil. Setibanya di barisan pohon Kamboja, Nanan dan Neno tidak
ada. Ah, mungkin bukan di barisan ini. Putri memutar tubuhnya melangkah ke arah
berlawanan. Menuju barisan pohon Kamboja yang ada di seberang. Ternyata, disini
Nanan dan neno tidak ada juga. Putri menghapus peluh di dahinya.
Putri
mencoba menelpon ulang Nanan, tapi sayangnya nomor telepon yang dituju tidak
bisa dihubungi. Putri seperti ayam kehilangan induk. Di tengah keramaian kota,
Putri harus berputar-putar mengelilingi setiap sudut pasar kecil ini. Pasar
kecil yang dipenuhi oleh ratusan pasang mata.
Putri
mencoba menelpon ulang. Beruntungnya kali ini Putri bisa mendengar suara Nanan
diseberang, walau sayu-sayu.
“Putri
sudah menelusuri semua barisan pohon Kamboja. Nanan dimana?”
“Nanan
bukan di bawah pohon Kamboja Put, tapi dibawah pohon besar yang daunnya
rindang.”
Putri
melanjutkan langkahnya. Mencari pohon besar yang daunnya rindang. Tibalah
disebuah pohon. Tapi sepertinya bukan, mana mungkin Nanan berteduh di bawah
pohon yang disekelilingnya ditutupi pagar. Menandakan tidak boleh ada yang
duduk dibawahnya apalagi berjualan. Putri memutar arah lagi. Berjalan.
Langkahnya mulai gontai.
Putri
mencoba menelpon lagi.
“Kalau
terlalu sulit mencari pohon besar yang daunnya rindang. Putri ke mushola dekat
toilet umum saja, Nanan jemput disana.”
“Iya
Nan.”
Seperti
ada pencerahan, Putri bergegas mencari mushola/toilet yang dimaksud. Setibanya
disana.
“Sudah,
dimana Put posisi mu?”
“Sudah
di tempat Nanan instruksikan tadi”
“Toilet
umum yang bersebelahan dengan mushola?”
“Hha,
iya Nan..”
Nyatanya,
seorang wak dan kemenakan ini tidak saling berdekatan, tidak saling
berpunggungan, apalagi saling pandang. Sebenarnya, keduanya memang berjanjiam
untuk saling menemukan di depan toilet umum yang bersebelahan dengan mushola,
tetapi nyatanya mereka berada di tempat yang berbeda.
Putri
menelpon Nanan lagi.
“Nan,
Putri sudah berdiri dibawah tulisan TOILET/MUSHOLA”
“Nanan
sudah berdiri tepat di depan mushola juga Put.”
Putri
celingak-celinguk. Menoleh kanan
kiri. Aduhai, hatinya semakin cemas. Ia tidak mendapati seorang lelaki paruh
baya --yang Ia kenal sejak kecil-- di tempat yang sama. Lalu diamana?.
“Putri,
coba jalan ke arah mushola.”
“Iya
Nan, ini sudah tepat di depan mushola.”
Putri
mulai bingung. Mulai merasakan bahwa sebenarnya mereka berada di tempat
berbeda.
“Nan,
Putri berdiri di depan mushola sebelah utara taman kota. Nanan dimana?”
“Ah,
pantas saja. Nanan di depan mushola sebelah selatan taman kota.”
Putri
bergegas berlari menuju mushola sebelah selatan taman kota. Dari jarak kejauhan,
matanya sudah menangkap seorang lelaki paruh baya berdiri tepat di depan
mushola dengan wajah cemas. Haha, seolah melihat setitik cahaya, Putri langsung
tersenyum sumringah.
“Kamu
tidak apa-apa?” tanya Nanan mencemaskan.
“Haha,
santai Nan..lumayan jalan-jalan (alias melanglang buana) di sore hari.”
“Mari,
kita ke pohon itu, Neno sudah dari tadi menunggu disitu.” Nanan menunjuk sebuah
pohon besar yang daunnya rindang. Sekali lagi, pohon besar yang daunnya
rindang.
“Hha..pohon
itu, tadi Putri mulai berjalan dari bawah pohon itu Nan.” Putri menjelaskan
begitu semangat dan Nanan hanya bisa ketawa.
“Jadi,
tadi itu bisa jadi kita sudah saling membelakangi ya Nan, tapi memang Putri
disuruh keliling dulu,hehe” Celoteh Putri sambil ketawa cengengesan.
***
Seperti
sinetron ya. Entahlah. Saya beri judul tulisan ini “Kompas Kebijakan”, saya
sendiri bingung apa maksudnya. Tapi yang jelas, kompas kebijakan selalu pandai
menjawab. Iya, pandai sekali menjelaskan mengapa begini dan mengapa begitu.
18 Mei 2013;
02:04
Putri,
Yang tadi sore
kebingungan.