Bismillah..
Sudah
lama ya saya tidak menulis cerita, hehe. Blog ini sampe debuan fuh..fuh..*niupin
debuu*. Oke.. Ocin datang lagi dengan sebuah pengalaman menarik. Mau tahu
ceritanya? Beneran? Okedeh, cekibroot ^^
Dua
minggu lalu, Ocin tengah bertugas jaga di Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Jiwa. Ketika
baru usai dari visite pasien ke beberapa
bangsal bersama dokter jaga dan tiga rekan koas jaga lainnya, hujan deras
mewarnai suasana rumah sakit yang dipenuhi pasien sehat fisik namun sakit jiwa
(sayang sekali T,T), kami dikejutkan oleh panggilan bahwa ada pasien dengan
kecelakaan lalu lintas. Berhubung dokter jaga yaitu mbak Vini masih harus
menyelesaikan visite dua bangsal lagi
jadilah Ocin dan Vera berinisiatif duluan pergi ke UGD untuk menangani pasien
tersebut. Sesampainya di UGD kami mendapati tiga remaja lelaki yang tengah
tergolek lemah. Dua diantaranya baik-baik saja alias masih bisa ditanya-tanya. Sedangkan
yang satu lagi mengalami penurunan kesadaran, tampak gelisah dan ngigau gitu (baca:
delirium), wajah dipenuhi darah dan terlihat tampak sesak. Dari inspeksi
terlihat adanya jejas di dada depan. Aduhai, Ocin takut sekali kalau ada trauma
thoraks yang megakibatkan trauma organ vital di dalamnya. Trauma yang paling
berbahaya dibanding jenis trauma lainnya. Beberapa menit kemudian datanglah
mbak Vini, sebagai dokter jaga yang bertanggung jawab memberi pertolongan
terhadap pasien ini.
Setelah
dilakukan pemeriksaan lalu diberikan tatalaksana awal. Pasien ini dianjurkan
untuk dirujuk ke rumah sakit yang dapat memberikan pertolongan lebih. Sedangkan
dua pasien yang tadi cukup ditangani di UGD rumah sakit jiwa ini. Berangkatlah pasien,
keluarga pasien dengan didampingi perawat dan sopir ambulans. Terdengar suara
sayup-sayup, “Koas satu orang ikut yukk..”, spontan Ocin melompat memasuki
ruang belakang mobil ambulans. Ocin teriak, “ambubaaaaggg..” (maksudnya minta dibawain ambubag) namun apa daya
mobil ambulans sudah melaju dengan kencang.
Ya
Allah.. sungguh lahir dan matinya seorang manusia hanya Engkaulah yang maha
tahu. Untuk pengalaman pertama mendampingi pasien dalam kondisi kritis. Tangan
Ocin gemetar namun tetap berpegang pada pergelangan tangan kanan pasien. Memastikan
denyut nadi tetap ada, teratur dan kuat. Kondisi mobil ambulans yang melaju
dengan kencang ditambah remang-remang lampu dalam mobil ambulans, membuat Ocin
harus mengandalkan insting. Gerakan dada pasien tidak terlihat amat jelas,
apakah bergerak secara simetris, irama nafasnya apakah teratur. Hanya nadi, iya
hanya nadi yang bisa terpantau lewat indra peraba Ocin. Baru beberapa menit
meninggalkan rumah sakit jiwa, Ocin merasakan tidak ada lagi aliran halus dari
bawah kulit pasien. Lalu Ocin teriak, “Mbaaaakkkk… apa kita disini ada
ambubaaggg???” suster yang mendampingi duduk di sebelah sopir menoleh ke
belakang dari balik jendela kecil, “Tidaakk..”. Seharusnya ambulans sudah
dilengkapi perlengkapan yang dibutuhkan dalam situasi gawat darurat sehingga
kalau ada apa-apa pasiennya selama diperjalanan dapat dilakukan tindakan. “Nadi
lemaahh…” Ocin panik, seolah memberi kode kepada bapak sopir, ambulans tiba-tiba
berhenti, pak sopir nanya, “apakah sebaiknya kita bawa pasien balik lagi??”. Wuah,
sungguh itu ide konyol, tapi lebih konyol lagi kalau sampai pasien meninggal di
perjalanan. “Bapak..kita cari rumah sakit terdekat, rumah sakit swasta tidak
apa-apa”. Keluarga setuju mau dirujuk kemanapun yang penting pertolongan
tercepat. Ambulans melaju semakin kencang. Tetesan infus Ocin naikkan. Nadi
mulai kembali teraba. Alhamdulillah…
Setengah
perjalanan menuju rumah sakit swasta terdekat tersebut pasien muntah
menyemprot. Keluarlah darah beserta isi lambung. Muntah ini pas banget muncrat
nyaris membuyar di wajah Ocin. Ocin dan perawat magang memposisikan
miring si pasien agar muntahan tersebut tidak masuk ke jalan nafas. Daaannnnn muntah
sekali lagi. Kali ini mengenai baju Ocin. Hmm…masem khas sekali bau asam
lambung. Setelah muntah dua kali pasien kembali gelisah, kaki tangannya
bergerak kemana-mana. Pasien mengalami trauma kepala juga. Terbukti adanya muntah
menyemprot.
Ocin
memanggil mbak perawat lagi, memberitahu kalau sebaiknya langsung saja ke rumah
sakit tipe A. Ocin memperkirakan kemungkinan pasien bisa bertahan sampai ke
rumah sakit tipe A tersebut, tapi mbak perawat masih mengajak ke rumah sakit
swasta tersebut. Pengalaman sih, kalau kondisi pasien yang seperti ini biasanya
langsung dirujuk ke RS tipe A. jadi mending langsung aja. Daaaannn beneran
sesampainya di RS swasta tersebut, pasien belum boleh diturunkan dari ambulans, dokter
jaganya masih mau lihat kondisi pasien. Keputusannya pasien langsung aja dibawa
ke RS stipe A. okedeehh….dada dada dada beneran mending nggak usah mampir tadi,
luamayan hitungan detik ke rs tadi bisa bermanfaat kalau dipakai ambulans
waktunya buat melaju kencang guna cepat sampat di RS tipe A. :P
Mobil
ambulans melaju kenceeenng banget. Sama kencengnya dengan irama detak jantung
Ocin. Sesekali Ocin teriak, “Edoooo…bertahanlah..kalau nanti sampai di rs kamu
pasti ditolong secepatnya..” (sebut saja nama pasiennya EDO, hehe). Entah refleks atau apa, paniknya Ocin melebihi
bapak sama temen-temennya si pasien. Harusnya Ocin tetap tenang ya. Maklum kondisi
darurat dan ini pengalaman pertama.
Sesampainya
di RS tipe A, pasien diturunkan dan langsung diserbu tenaga medis yang ada
disana. Dari perawat, koas, sampai residen bedah. Well, kalau sudah sampai disini Ocin, mbak perawat dan petugas
lainnya sudah bisa narik nafas dalem-dalem. Hehe.
Ambulans
kembali pulang ke RS jiwa. Ocin diajak duduk di depan, tapi Ocin milih di belakang
duduk bareng sama adek perawat magang dan pak satpam. Tak terasa
keringet Ocin meleleh. Kaki tangan masih lemes bahkan nggak sanggup ngelap
keringet (lebay!). Ocin juga sebenernya jadi mual-mual akibat posisi duduk di mobil
ambulans yang miring. Selain itu aroma asam lambung pasien tadi mewarnai ujung-ujung
lubang hidung Ocin. Ocin melihat adek perawat magang yang duduk berhadapan sama
Ocin terkulai lemas. Dia nanya, “kakak sudah makan?”, Ocin mengangguk dan balik
tanya, “adek sudah makan?” dia menggeleng. Sabar ya dek, nanti kalau sudah
sampai kita bisa makan.
--Sabar ya dek, inilah pekerjaan kita..--
Sesampai di RS jiwa, Ocin cepat-cepat ke kamar
jaga koas, langsung mandi jebar jebur dan ganti pakaian yang tadi kena muntah. Alhasil, malam
itu Ocin tidak bisa makan bahkan sampai keesokan paginya. Kenapa? Aroma asam
lambung muntahan pasien itu masih teringet terus. Hiks..
Pesan
buat bocah-bocah: Aduh dek, janganlah bawa motor dulu kalo belum waktunya
secara legal. Kalau begini kan kasian sama orang tua. Kasian sama kamunya, jadi
terbaring di rumah sakit, mesti dirawat dan nggak bisa sekolah.
Pesan
buat ambulans: hey..alat-alatnya mohon dilengkapi, mungkin bisa secara bertahap.
Fasilitas yang cukup ini demi kebaikan pasien.
Pesan
buat Ocin: Cin, siapa suruh ikutan, koas jiwa mana boleh ikutan merujuk pasien
umum. Tapi dengan ikut, jadi tahu kan sensasinya bagaimana berkutat dengan
waktu ketika nyawa diujung tanduk. Ocin, inilah profesimu kelak, kehidupan realita
seorang dokter akan kamu hadapi. Dokter itu harus kejam, harus tetap bisa makan
walau dimuntahin pasien, tetep bisa makan walau dieekin pasien sekalipun. Sebab
esok hari harus nyiapin energi lagi buat ngadepin pasien lain lagi. Semangat
Ocin!
Pesan
buat kamu yang nggak sengaja baca: kalo pas di jalan ada ambulans lewat bunyi TUING TUING TUING (anggap aja bunyinya kayak itu yaa..), ya monggo
dikasih jalan. Mereka mengejar waktu, berjuang mempertahankan hidup seseorang,
hehe. Terimakasih mbakbro dan masbro sekalian :)