Sabtu, 18 Mei 2013

Kompas Kebijakan


Terkadang kita memang harus disuruh berjalan lebih jauh, berputar-putar, kebingungan, lalu tersadarkan, bahwa “kompas kebijakan” akan membawa kita pulang, pulang ke asal, ah..bukan asal, tapi lebih seperti titik dimana kita memulai perjalanan...

Teman, ini bukan cerita serius. Mohon tidak perlu ditanggapi dengan isi kepala yang berlebihan, helaan nafas yang panjang, dan tetesan peluh yang ribuan. Cukup duduk manis, selipkan senyum simpul. Sudah itu saja. Terimakasih sebelumnya.

***

“Sudah, dimana Put posisi mu?”
“Sudah di tempat Nanan instruksikan tadi”
“Toilet umum yang bersebelahan dengan mushola?”
“Hha, iya Nan..”

***

Sore tadi, Putri menerima kiriman sebuah kain songket. Kain songket kesayangan ibu yang akan Ia kenakan di sebuah acara hari Minggu nanti. Kain songket yang sudah dititipkan ibu lewat Nanan dan Neno. Siapa Nanan dan Neno? Please, mereka bukan teman yang datang dari negeri Sakura. Kedua itu hanya panggilan sayang. Nanan artinya wak lanang dan Neno artinya wak betino

Putri, Nanan dan Neno sepakat untuk bertemu di taman kota, di dekat sebuah pasar kecil di muka kota. Setibanya di taman kota, Putri mulai menelusuri jalanan dari sebatang pohon yang daunnya begitu rindang. Sekali lagi, sebatang pohon yang daunnya begitu rindang.

Putri berjalan, menyusuri taman kota, menuju sebuah pasar kecil. Siapa tahu Nanan dan Neno ada disitu. Belum tahu, Nanan dan Neno ada dimana tepatnya. Tapi Putri tetap melangkah pasti, melanjutkan langkah kakinya, entah kemana. 

Sebuah keramaian. Senang sekali menyaksikan beragam wajah disini. Tidak perlu jauh-jauh pergi ke bioskop untuk menonton film. Cukup disini saja. Disini ada sebuah film kehidupan, yang nyata, bukan fiktif belaka. Mungkin sebagian orang tidak akan tertarik. Tapi disini, menyimpan banyak cerita. Jelas saja, disini, sebuah taman yang dipenuhi oleh ratusan pasang mata. Sebuah aktivitas rutin di pasar kecil ini. Ada yang berjualan dan ada juga yang membeli. Apa hanya diramaikan dua komponen ini? Iya sebuah pasar kecil di muka kota, sejatinya ada yang menjual dan ada yang membeli. Tapi masih ada komponen lain yang ikut nimbrung. Turut meramaikan cerita pasar kecil ini. Komponen ketiga adalah mafia-mafia terdidik oleh kerasnya kehidupan. Apalagi kalau bukan para pencopet.

Satu, dua, tiga orang sibuk menjajakan jualannya. Beberapa yang lain sibuk juga memilih barang apa yang hendak dibeli. Dan tak ketinggalan, komponen ketiga tadi, dengan tangan-tangan terlatih, merogoh kantong-kantong yang pemiliknya lengah. Putri sebagai penonton, malah ketakutan. Putri disini memang hanya jadi penonton. Penonton film kehidupan.

Tiba-tiba tersadar, bahwa kedatangannya kemari adalah untuk menemui Nanan dan Neno. Putri mengambil handphone dari sakunya, segera mencari kontak yang Ia namai “Nanaaaaaaaaan” dan segera menekan tombol call.

“Halo..halo..” terdengar suara dari seberang. Riuh. Suara yang tidak terdengar jelas ditutupi oleh suara bisingnya keramaian.
“Halo, Naaannn...”
“Iya..iya..dimana Put?”
“Sudah di pasar kecil dekat taman kota.”
“Iya, Nanan tidak jauh dari situ. Coba berjalan ke arah pinggir, cari pohon-pohon, Nanan ada dibawah pohon”
“Iya Nan, disana ada pohon. Apa Nanan disitu?”
“Iya.”
“Pohon kamboja ya.”
“Tutt.. Tutt” panggilan berakhir. Putus begitu saja.

Putri berjalan menuju barisan pohon Kamboja di pinggiran pasar. Mencoba menerobos keramaian pasar kecil. Setibanya di barisan pohon Kamboja, Nanan dan Neno tidak ada. Ah, mungkin bukan di barisan ini. Putri memutar tubuhnya melangkah ke arah berlawanan. Menuju barisan pohon Kamboja yang ada di seberang. Ternyata, disini Nanan dan neno tidak ada juga. Putri menghapus peluh di dahinya.

Putri mencoba menelpon ulang Nanan, tapi sayangnya nomor telepon yang dituju tidak bisa dihubungi. Putri seperti ayam kehilangan induk. Di tengah keramaian kota, Putri harus berputar-putar mengelilingi setiap sudut pasar kecil ini. Pasar kecil yang dipenuhi oleh ratusan pasang mata. 

Putri mencoba menelpon ulang. Beruntungnya kali ini Putri bisa mendengar suara Nanan diseberang, walau sayu-sayu.

“Putri sudah menelusuri semua barisan pohon Kamboja. Nanan dimana?”
“Nanan bukan di bawah pohon Kamboja Put, tapi dibawah pohon besar yang daunnya rindang.”

Putri melanjutkan langkahnya. Mencari pohon besar yang daunnya rindang. Tibalah disebuah pohon. Tapi sepertinya bukan, mana mungkin Nanan berteduh di bawah pohon yang disekelilingnya ditutupi pagar. Menandakan tidak boleh ada yang duduk dibawahnya apalagi berjualan. Putri memutar arah lagi. Berjalan. Langkahnya mulai gontai. 

Putri mencoba menelpon lagi.

“Kalau terlalu sulit mencari pohon besar yang daunnya rindang. Putri ke mushola dekat toilet umum saja, Nanan jemput disana.”
“Iya Nan.”

Seperti ada pencerahan, Putri bergegas mencari mushola/toilet yang dimaksud. Setibanya disana.

“Sudah, dimana Put posisi mu?”
“Sudah di tempat Nanan instruksikan tadi”
“Toilet umum yang bersebelahan dengan mushola?”
“Hha, iya Nan..”

Nyatanya, seorang wak dan kemenakan ini tidak saling berdekatan, tidak saling berpunggungan, apalagi saling pandang. Sebenarnya, keduanya memang berjanjiam untuk saling menemukan di depan toilet umum yang bersebelahan dengan mushola, tetapi nyatanya mereka berada di tempat yang berbeda. 

Putri menelpon Nanan lagi.

“Nan, Putri sudah berdiri dibawah tulisan TOILET/MUSHOLA”
“Nanan sudah berdiri tepat di depan mushola juga Put.”

Putri celingak-celinguk. Menoleh kanan kiri. Aduhai, hatinya semakin cemas. Ia tidak mendapati seorang lelaki paruh baya --yang Ia kenal sejak kecil-- di tempat yang sama. Lalu diamana?.
“Putri, coba jalan ke arah mushola.”
“Iya Nan, ini sudah tepat di depan mushola.”
Putri mulai bingung. Mulai merasakan bahwa sebenarnya mereka berada di tempat berbeda.
“Nan, Putri berdiri di depan mushola sebelah utara taman kota. Nanan dimana?”
“Ah, pantas saja. Nanan di depan mushola sebelah selatan taman kota.”

Putri bergegas berlari menuju mushola sebelah selatan taman kota. Dari jarak kejauhan, matanya sudah menangkap seorang lelaki paruh baya berdiri tepat di depan mushola dengan wajah cemas. Haha, seolah melihat setitik cahaya, Putri langsung tersenyum sumringah.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Nanan mencemaskan.
“Haha, santai Nan..lumayan jalan-jalan (alias melanglang buana) di sore hari.”
“Mari, kita ke pohon itu, Neno sudah dari tadi menunggu disitu.” Nanan menunjuk sebuah pohon besar yang daunnya rindang. Sekali lagi, pohon besar yang daunnya rindang.
“Hha..pohon itu, tadi Putri mulai berjalan dari bawah pohon itu Nan.” Putri menjelaskan begitu semangat dan Nanan hanya bisa ketawa.
“Jadi, tadi itu bisa jadi kita sudah saling membelakangi ya Nan, tapi memang Putri disuruh keliling dulu,hehe” Celoteh Putri sambil ketawa cengengesan.

***

Seperti sinetron ya. Entahlah. Saya beri judul tulisan ini “Kompas Kebijakan”, saya sendiri bingung apa maksudnya. Tapi yang jelas, kompas kebijakan selalu pandai menjawab. Iya, pandai sekali menjelaskan mengapa begini dan mengapa begitu.



18 Mei 2013; 02:04
Putri,
Yang tadi sore kebingungan.

Minggu, 05 Mei 2013

Ga ada judul!

"sedang apa kau Putri?"

"menulis.."

"berhentilah, hari sudah malam.."

"sebentar lagi, setelah menulis yang satu ini"

***

   Saya sudah mengantuk sebenarnya, tapi ada satu hal yang menunda saya tidur. Apa? apa? apa? tentang cerita ini. Jikalau saya terlelap dan bangun esok hari, siapa tahu saya tidur ngulet-ngulet hingga kepala saya membentur dinding lalu bangun dengan lupa ingatan. Lalu cerita ini hilang begitu saja. Sayang sekali. Saya sudah izin kepada mata saya untuk sabar sebentar,hehe

   Tadi sore, sepulang dari menjenguk adek saya, di dalam angkot saya bertemu dengan seorang perempuan paruh baya. Tidak ada yang spesial. Kami saling pandang dengan cara biasa saja. Namun, ketika saya lihat tangannya. Iya, tangannya tidak mampu menahan saya untuk tidak bertanya. Kalian tahu, tangan ibu itu melepuh. Kulitnya, mengelupas di semua sela-sela jari. Ada bagian luka terbuka dan kelihatan lembab. Jangankan ibu itu, saya yang melihat merasa ngilu. Oh, entahlah apa mungkin saya yang lebay.

   Saya berpikir, apalah pekerjaan ibu ini hingga tangannya begitu. Saya pikir ini pasti "Penyakit akibat kerja" hehe maklum abis lewat IKM. Waktu saya tanya benar! ibu ini adalah buruh cuci pakaian. Jadi melepuh dengan hebatnya kulit ini bisa jadi akibat deterjen. Akibat terpapar zat iritan berkali-kali, jadilah begini. Ternyata oh ternyata ibu ini merasa kalau dirinya kena penyakit diguna-guna. Dia juga merasa sedih karena anaknya kurang memperhatikannya. 

   Karena saya juga sering nyuci baju, dan pernah juga seperti itu, tapi cepat tertanggulangi karena saya mengenali agen iritannya. Lalu ibu ini tidak paham sama kulitnya. Jadi saya sarankan untuk mengenali deterjen mana yang tidak cocok terus cepat ganti.

   Sudah, ini saja. Pesan cerita ini adalah kalau punya bibi cuci di rumah coba liat tangannya siapa tahu mengelupas kayak gitu juga. Nah, apalagi kalau ternyata yang mencuci ibu sendiri. Termasuk saya sendiri, nanti kalau pulang mau liat telapak tangan ibu saya. Baiklah, semakin malam saya semakin ngeracau. Selamat malam!



HOAAAMMMM....NGANTUUKK...

Rahasia Malam Ini

Inspirasi aku bermimpi, ya dari sini!

Malam selalu menyimpan rahasia. Rahasia keindahan. Ah, mungkin aku saja yang terlalu, tapi sungguh, malam selalu menyimpan rahasia. Rahasia itu harus aku bocorkan pada malam ini. Iya, tentu saja malam ini. Mengapa malam ini? Ssstt..  ini kabar baik untuk kamu yang tidak tidur dan tetap terjaga bersama ku, malam ini.  

Malam ini, akan ada keajaiban. Keajaiban yang luar biasa. Keajaiban ini hanya aku yang tahu. Kabar baiknya, keajaiban ini bisa aku bagikan kepada orang lain dan bersama orang lain itu, aku bisa mengatur-ngatur bagaimana jalannya keajaiban ini. Namun sayang, kabar buruknya aku hanya bisa mengajak satu orang saja. Sekarang aku tanya, apakah kamu mau menjadi orang lain itu? 

Aku melihat mu tersenyum. Bolehkah aku menyimpulkan bahwa makna senyum mu adalah sebuah kesediaan. Kesediaan untuk tetap terjaga bersama ku malam ini. Baiklah, sebaiknya sekarang juga, mana tangan mu. Hmm..maaf ya, aku akan menggenggam erat tangan mu. Mari pejamkan mata.

Seketika sepasang anak manusia ini berubah menjadi sepasang kupu-kupu. Rahasia, ini adalah keajaiban pertama.

Haa, kita sekarang sudah berubah menjadi kupu-kupu teman. Lihatlah, begitu cantik warna sayap ku, merah jambu. Kamu, juga terlihat gagah dengan sayap berwarna biru. Ini bagus sekali. Dengan begini, kita tidak akan dikenali oleh manusia, kalau sebenarnya, kita adalah dua makhluk tadi yang sedang bercengkerama.  Tidak kah kamu bertanya, ada apa dengan perubahan ini? Teman, akan aku jelaskan, malam ini kita akan pergi ke sebuah planet yang belum pernah dikunjungi manusia. Hebatnya, kita berdua akan hidup seratus tahun disana, sedangkan manusia di bumi hanya akan merasakan sekitar tujuh hingga delapan jam saja. Ups, sebenarnya ini hanya rekayasa ku. Mengapa harus tujuh hingga delapan jam? Iya, karena itu waktu manusia tidur. Tanpa mereka sadari, waktu merangkak begitu lamban. Ketika mereka tidur, kita berkelana. Mari kita terbang sekarang juga....

Sepasang kupu-kupu ini terbang menuju planet itu. Melesat, melampaui kecepatan cahaya. Rahasia, ini adalah keajaiban kedua.   

Kita sudah sampai di planet yang aku maksud, teman. Planet ini biasa saja ya teman. Tidak ada yang spesial. Apakah kamu menyesal telah pergi bersama ku kemari? Ah, sudahlah! Kita sudah terlanjur kemari. Jangan sia-siakan sepotong waktu yang luar biasa ini. Planet ini dihuni oleh kupu-kupu. Ada seribu kupu-kupu disini dengan berbagai jenis. Kedatangan kita kemari membuat jumlahnya menjadi seribu dua. Tapi kupu-kupu disini tidak akan memperhatikan kita. Mereka sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Apa pekerjaan mereka?

Mari kesini! 

Nah, kita mulai perjalanan dari sudut sini. Pekerjaan kupu-kupu disini hanyalah bermetamorfosis dan terbang hilir mudik. Planet ini hanya bertahan seratus tahun. Sama dengan lama keberadaan kita disini. Ups, sebenarnya lagi-lagi ini hanya rekayasa ku. Biarkan hanya seratus tahun, agar sama abadinya seperti keberadaan kita disini.

Oh ya, untuk bermetamorfosis, mereka hanya butuh satu tahun. Tapi satu tahun itu mereka bekerja keras. Sungguh bekerja keras, agar metamorfosis ini menghasilkan keabadian. Iya, keabadian selama sembilan puluh sembilan tahun kedepan. Bagi kupu-kupu yang malas bermetamorfosis, maka mereka akan ditelan waktu. Ditelan begitu saja. Bahkan jejaknya tidak terlihat. Sedangkan kupu-kupu yang bekerja keras ketika bermetamorfosis, mereka akan bertahan hingga penghujung usia planet ini. Hebat. Luar biasa. Sayap mereka sungguh kokoh. Kokohnya bukan sekedar untuk terbang. Lebih dari itu, kokohnya mampu menopang kehidupan dan dikenang sepanjang masa. 

Sepasang kupu-kupu ini berjalan menelusuri planet itu. Menapaki setiap petak kehidupan. Sesekali mereka menemui kupu-kupu yang rapuh, lalu lenyap. Namun, ada juga yang terbang dengan gagahnya. Lalu bagaimana dengan sepasang kupu-kupu ini, apakah sayap mereka rapuh sebelum seratus tahun? Aduhai, sekali lagi, rahasia, ini adalah keajaiban ketiga.  

Perjalanan kita sudah sampai penghujung planet. Pun dengan usia planet ini, teman. Ternyata, hanya ada tujuh kupu-kupu saja yang abadi hingga penghujung usia palent ini. Sedih sekali. Apa yang salah dengan metamorfosis mereka? Entahlah. Mari teman, kita terbang lagi ke bumi. 

Sepasang kupu-kupu ini kembali ke bumi. Kembali dengan membawa sebuah cerita. Cerita untuk para manusia. Sesampainya di bumi, hari hampir pagi. Keduanya beubah kembali. Kembali menjadi manusia, sejati. Wajah mereka tetap muda. Tidak menua satu sel pun. Rahasia, ini adalah keajaiban keempat. 

Kita sudah kembali teman. Inilah rahasia malam ini. Planet itu spesial bukan? Spesial untuk kita pahami dengan pemahaman yang baik. Mungkin ada pelajaran yang bisa kita ceritakan kepada mereka yang pagi ini baru terbangun. Tapi, berjanjilah untuk satu hal. Berjanjilah untuk tidak menceritakan, kalau kita pernah menjadi kupu-kupu. Silahkan beristirahat. Kamu tampaknya lelah, berkelana semalaman. Selamat tinggal....

Ups, tunggu! Aku lupa mengucapkan sesuatu. Terimakasih ya, sudah menemani ku bermimpi, hahahahhahaa....

Sabtu, 04 Mei 2013

Kupu-kupu dan Sepasang Mata Itu

This picture from this!


Penghujung senja ini aku masih berdiri. Mencari sepasang mata sipit –yang telah aku kenal sejak tujuh belas tahun silam- untuk datang menghampiri ku. 

Di sini ada puluhan bahkan ratusan pasang mata. Mata yang berjuta warna. Tapi, aku tidak akan salah, bukan. Tidak akan salah mengenali sepasang mata –yang telah aku kenal sejak tujuh belas tahun silam- untuk ku tangkap lalu ku bawa pulang. 

Setelah lama, berdiri, menghitung-hitung dan tersenyum kecil. Apakah kamu berubah? Apakah aku tidak akan lagi mengenali mu? Bisa jadi, bisa juga tidak. Tapi satu hal, mata mu –yang telah aku kenal sejak tujuh belas tahun silam- tidak akan tertukar. Tetap aku kenali. 

Lalu kamu, apakah masih mengenali ku?

Dan tiba-tiba, sepasang mata itu keluar dari sebuah kerumunan. Berjalan pasti, menuju ke arah ku. Lalu aku, seketika menjadi gagap gempita. Melangkah, nanar menjadi hilang arah. Tapi maksudnya, menyambutnya menangkap sepasang mata itu. 

“Hey....”

Aku terkejut. Sorot matanya, aku kenal. Iya, aku kenal. Sepasang mata –yang telah aku kenal sejak tujuh belas tahun silam- masih sama.

Aku tersenyum kecil. Menahan-nahan laju pernafasan.

Aku dan sepasang mata itu berjalan. Sesekali Ia menggoda, sambil menarik puncak tas ransel kecil ku.

“Kamu tidak berubah, masih saja begini.” 

Aku terunduk. Malu menatap sepasang mata itu –yang telah aku kenal sejak tujuh belas tahun silam- walau sedetik. 

Dan memang, aku tidak berubah. Sama sekali tidak berubah. Aku masih suka ketawa cengengesan dan cerita belepotan. Oh ya, satu hal, aku masih tidak suka minum susu (walau sudah usaha).



03 Mei 2013; 17.51
Kupu-kupu kecil,
Hinggap di bandara


Repost from unspoken blog!

Kupu-kupu dalam Fragmen Waktu


This picture from this!


Sore ini ketika langit merangkak, temaram, mulai diserbu malam, aku masih berdiri. Menanti..

Aku telah berdiri dua jam atau seratus dua puluh menit atau tujuh ribu dua ratus detik. Coba tanyakan apakah ini masalah?

Ah, ini bukan masalah, bahkan jauh dari masalah. Kamu tahu? Aku pernah merasakan kehilangan. Kehilangan sepotong waktu. Tapi tidak diikuti kehilangan sepotong memori pun.  

Jika harus bermain dengan waktu, itu terlalu sederhana. Kamu dan dunia akan ku ajak menari diatas hebatnya semesta dengan “ke-konsistenan-nya”.  

Hari ini, lima tahun lebih enam hari ketika sebuah kenekatan menjadi cerita. 

Hari ini, enam tahun lebih satu hari dimana semesta pernah menyandingkan sepasang anak manusia, di sebuah lapangan hijau, berselempang kemenangan.  

Dan sebenarnya bukan itu saja..

Hari ini, entah-lebih-entah-kurang-sedikit dari tujuh belas tahun ketika aku berdiri, memandang sepasang mata sipit, dari sudut jendela.



03 Mei 2013; 17.50
Kupu-kupu kecil,
Hinggap di bandara.

Repost from unspoken blog!